Perjalanan H.Yan Faisal di Thailand Bersama Rombongan Dunia Melayu Dunia Islam

PERJALAN ini di awali dengan perjalanan singkat ke Melaka, Malaysia menuju Kelantan dan ingin memasuki daerah perbatasan Malaysia – Thailand hingga mengunjungi daerah Yala Selatan Thailand.

Sesampainya di Air Batu Narathiwat dan di sambut oleh masyarakat dengan penuh kasih dan kegembiraan, dalam maal Hijriah 1444 H tepatnya di masjid yang pernah di bom 18 tahun lalu saat pergerakan merdeka di Pattani.

Rombongan Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) Provinsi Riau di sambut dengan hangat oleh orang-orang Melayu Pattani. Perjalanan yang di lalui singkat namun sangat berarti, Thailand bukanlah sekedar Thailand.

Thailand khususnya Pattani memiliki dan menyimpan banyak sejarah dan memberikan pengetahuan serta pengalaman yang sangat berarti.

Perjalanan tanggal 26 sampai dengan 29 Agustus 2022 yang telah di lalui mengisahkan kenangan indah dan sepanjang masa wilayah ini adalah bekas Kerajaan Melayu Pattani yang telah di taklukkan oleh kerajaan Siam (Thailand) Profil Pattani, Thailand.

Sejarah singkat Pattani

Provinsi Pattani (bahasa Thai: ???????; pengucapan [pàt.t??.n??], diserap dari bahasa Sanskerta: ??????, translit. Pa??ani) merupakan salah satu provinsi (changwat) di selatan Thailand. Provinsi-provinsi yang bertetangga (dari arah selatan tenggara searah jarum jam) adalah Narathiwat (Menara), Yala (Jala) dan Songkhla (Senggora).

Masyarakat Melayu setempat menyebut provinsi mereka, Patani Darussalam atau Patani Raya.

Sejarah Singkat Pattani, Thailand

Pada awalnya, Pattani merupakan sebuah kerajaan Melayu Islam yang berdaulat, mempunyai kesultanan dan perlembagaan yang tersendiri. Patani adalah sebagian dari ‘Tanah Melayu’. Namun pada pertengahan abad ke-19 Patani telah menjadi korban penaklukan Kerajaan Siam.

Pada tahun 1826, penaklukan Siam terhadap Patani mendapat pengakuan Britania Raya. Dalam usahanya untuk mengokohkan kedudukannya di Pattani, pada tahun 1902 Kerajaan Siam melaksanakan undang-Undang Thesaphiban.

Dengan itu, sistem pemerintahan kesultanan Melayu telah dihapuskan. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bangkok pada tahun 1909, Pattani telah diakui oleh Britania sebagai bagian dari jajahan Siam walaupun tanpa mempertimbangkan keinginan penduduk asli Melayu Patani.

Sejak penghapusan pemerintahan Kesultanan Melayu Pattani, masyarakat Melayu-Pattani berada dalam posisi tertekan dan lemah . Seperti yang diungkap oleh W.A.R

W.A.R. Wood, Konsul Britania di Songkhla, penduduk Melayu telah menjadi mangsa sebuah pemerintahan yang tidak diperintah dengan baik.

Justru akibat pemaksaan inilah kekacauan sering terjadi di Pattani. Pada tahun 1923, Tengku Abdul Kadir Kamaruddin, mantan Raja Melayu Patani, dengan dukungan pejuang-pejuang Turki, memimpin gerakan pembebasan.

Semangat anti-Siam menjadi lebih hebat saat Kerajaan Pibul Songgram (1939-44) mencoba mengasimilasikan kaum minoritas Melayu ke dalam masyarakat Siam melalui Undang-Undang Rathaniyom.

Keterlibatan Siam dalam Perang Dunia Kedua di pihak Jepang telah memberikan harapan kepada orang-orang Melayu Pattani untuk membebaskan tanah air mereka dari penjajahan Siam.

Tengku Mahmood Mahyideen, putra mantan Raja Melayu Patani juga seorang pegawai berpangkat Mayor dalam pasukan Force 136, telah mengajukan proposal kepada pihak berkuasa Britania di India supaya mengambil alih Pattani dan wilayah sekitarnya serta digabungkan dengan Tanah Melayu.

Proposal Tengku Mahmud itu selaras dengan proposal Pejabat Tanah Jajahan Britania dalam mengkaji kedudukan tanah ismus Kra dari sudut kepentingan keamanan Tanah Melayu setelah perang nanti.

Harapan itu semakin terbuka saat pihak sekutu, dalam Perjanjian San Francisco pada bulan April 1945, menerima prinsip hak menentukan nasib sendiri (self-determination) sebagai usaha membebaskan tanah jajahan dari belenggu penjajahan.

Atas semangat itu, pada 1 November 1945, sekumpulan pemimpin Melayu Patani dipimpin oleh Tengku Abdul Jalal, bekas wakil rakyat wilayah Narathiwat, telah mengemukakan petisi kepada Kerajaan Britania dengan tujuan membujuk agar empat wilayah di Selatan Siam dibebaskan dari kekuasaan Pemerintahan Siam dan digabungkan dengan Semenanjung Tanah Melayu. Namun sudut pandang Britania terhadap Siam berubah saat Peperangan Pasifik selesai.
Keselamatan tanah jajahan dan kepentingan British di Asia Tenggara menjadi pertimbangan utama kerajaan Britania dalam perbincangannya dengan Siam maupun Pattani.

Kerajaan Britania memerlukan kerjasama Siam untuk mendapatkan stok beras untuk keperluan tanah jajahannya. Tidak kurang pentingnya, kerajaan Britania terpaksa menyesuaikan perundangannya terhadap Siam dengan tuntutan Amerika Serikat yang ingin menetapkan wilayah Siam seperti pada tahun 1941.

Kebangkitan Komunis di Asia Tenggara, khususnya di Tanah Melayu pada tahun 1948, menjadi faktor pertimbangan Britania dalam menentukan keputusannya. Kerajaan Britania menganggap Siam sebagai negara benteng terhadap ancaman Komunis China. Karena itu Kerajaan Britania ingin memastikan Siam terus stabil dan memihak kepada Barat dalam persaingan dengan Negara-Negara Komunis. Kerajaan Britania memerlukan kerjasama kerajaan Siam untuk menghapuskan kegiatan teror Komunis di perbatasan Tanah Melayu-Siam.

Kebetulan kerajaan Siam telah memberi jaminan untuk memperkenalkan reformasi di Pattani untuk mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat Melayu. Oleh kerana itu, isu Pattani yang awalnya dianggap kurang penting malah kembali dibangkitkan akan memperkuat hubungan dengan Siam.

Setelah Persidangan Songkla pada awal Januari 1949, pihak berkuasa Britania di Tanah Melayu atas tuntutan pihak Siam mulai mengambil tindakan terhadap pemimpin-pemimpin pejuangan Pattani. GEMPAR juga telah dilarang. Tengku Mahmood Mahyideen ditekan, sementara Haji Sulung dihukum penjara. Pergerakan politik Pattani semakin lemah dengan kematian Tengku Mahmood Mahyideen dan Haji Sulung pada tahun 1954.

Penulis: H Yan Faisal
Editor: Ridwan Safri