Seputar Polemik Piala Dunia U20 dan Pemahaman Konstitusi secara Dangkal...

JAKARTA (SURYA24.COM)- Gagalnya langkah Indonesia menggelar piala dunia U-20 sebagai tuan rumah menjadi pembicaraan hangat. Pasalnya, kegiatan level dunia ini tinggal di depan mata. Paling tidak seperti direncankan drawing dilaksanakan 31 Maret di Bali. Selanjutnya 20 Mei lazimnya diturnamen sepakbola tuan rumah didapun menjadi partai pembuka.

Akan tepati seperti dikutip dari kompas.com, langkah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang secara tiba-tiba menolak kehadiran Israel dalam Piala Dunia U20 menuai sorotan. Pasalnya, penolakan Israel tersebut berujung pada pencopotan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2023 yang akan berlangsung kurang dari dua bulan.

Bukan hanya status tuan rumah, mimpi para punggawa timnas Indonesia untuk berlaga di turnamen tertinggi sepak bola pun seketika sirna. Bagi PDI-P, penolakan keikutsertaan Israel di Piala Dunia U20 ini merupakan amanat konstitusi yang harus tetap dipegang.

Meski berlandaskan konstitusi, tetapi penolakan itu melukai hati para pemain dan pencinta sepak bola Indonesia. Apalagi, persiapan Piala Dunia U20 sudah menghabiskan anggaran besar. 

Membaca konstitusi yang tidak sederhana 

Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Wahyudi mengatakan, konstitusi secara tegas menolak adanya penjajahan dan mendukung kemerdekaan yang menjadi hak segala bangsa. Namun, 'merdeka' atau 'kemerdekaan' memiliki pengertian yang tak bisa disederhanakan. Begitu halnya dengan praktik dan pengertian penjajahan, termasuk gagasan tentang struktur kolonial yang sulit untuk disederhanakan.

Agus menilai, menyederhanakan dua terminologi itu justru berpotensi menjerumuskan pada kesalahan langkah yang merugikan diri sendiri dan orang lain. "Sebab, dalam praktik penjajahan dan hakikat struktur kolonial yang harus dihapus itu, tidak mungkin dilihat sebagai sesuatu yang pasti (fixed) dan menetap (given), terutama terkait dengan para pelaku atau aktor yang terlibat," kata Agus kepada Kompas.com, Jumat (31/3/2023). 

Ia menjelaskan, realitas ontologi politik menunjukkan, pihak yang dijajah dalam prosesnya bisa berubah wajah menjadi penjajah. Begitu pun sebaliknya. Dalam konteks Palestina-Israel, Agus menyebut ontologi politik membawa pada suatu keadaan yang rumit, sehingga kategori biner tak pernah memadai untuk membaca realitas.

 "Tidak bisa lagi digunakan hanya dua kata sederhana yang saling berlawanan antara baik dan buruk, salah dan benar, mulia dan jahat untuk melabel salah satu atau keduanya," jelas dia.

Pemahaman konstitusi yang kasar

Bagi Agus, penolakan PDI-P atas kehadiran Israel dan Piala Dunia U20 dengan alasan menegakkan konstitusi, justru mencerminkan cara berpikir yang mengacaukan realitas ontologi politik yang kompleks, terutama hubungan berbeda antara politik dan olahraga.

Lebih dari itu, langkah tersebut juga menunjukkan pemahaman yang terlalu kasar pada semangat dan mandat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menurutnya, olahraga bertujuan untuk mempererat hubungan antarbangsa. 

Dengan demikian, selalu ada keharusan moral untuk memisahkan hak dan kesejahteraan para individu manusia dalam membuktikan prestasi dan pencapaiannya dari kepentingan politik negara-bangsa.

 "Langkah penolakan PDI-P itu berpotensi menyalahpahami tujuan konstitusi untuk menghapuskan penjajahan di atas dunia," ujarnya. 

"Karena memberi makna yang sangat "binary" pada semangat konstitusi yang tak pernah biner dalam semangatnya," sambungnya.

 Agus juga mengingatkan, ada mandat lain dalam konstitusi yang bisa menjadi bahan pertimbangan di samping kewajiban negara untuk menciptakan ketertiban dunia, yakni 'perikemanusiaan' dan 'perikeadilan'.

Menolak bentuk penafsiran dangkal 

Ia menyatakan, semua bentuk kata dalam konstitusi Indonesia sarat dengan makna. Karena itu, semua orang harus menolak bentuk penafsiran yang dangkal dan sederhana, ketika ada pihak yang berusaha menghubungkannya dengan realitas politik.

Agus menegaskan, para pelaku olahraga seharusnya tidak dianggap sebagai representasi politik yang juga mewakili kategori moral baik dan jahat.

 "Benar bahwa dalam politik apa pun mungkin bisa terjadi, namun menjadi jelas sebelum berpolitik adalah penting jika kita ingin mewujudkan tujuan politik sesuai dengan konstitusi kita," kata dia. 

"Konstitusi tidak akan memberikan bantuan yang bermanfaat pada kita sebagai generasi baru yang menjalani hidup di alam kemerdekaan, jika cara berpikir mengalami pendangkalan," tutupnya.***