Kepiawaian DN Aidit Mencuri Hati Mahasiswi Kedokteran

(Dok:D.N. Aidit dan Istrinya. ©2022 Merdeka.com)

JAKARTA (Surya24.com) - Nama D.N. Aidit tak asing di sebagian besar telinga rakyat Indonesia. Lelaki dengan nama lengkap Dipa Nusantara Aidit ini yang dicap rezim Orde Baru sebagai dalang Peristiwa G30S. Saat itu Aidit menjadi tokoh penting karena posisinya sebagai Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia (CC PKI).

 

Di bawah kepemimpinannya PKI menjadi Partai Komunis terbesar ketiga di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok. Siapa sangka sosok yang meninggal secara tragis ini memiliki kisah percintaan yang unik.

Dikisahkan dalam buku G30S/PKI dan Peran Aidit, dikutip dari laman merdeka.com, suatu hari di awal tahun 1946, dua gadis mengunjungi kantor majalah dua bulanan Bintang Merah di Jalan Purnosari, Solo. Keduanya disambut dua redaktur yang sedang bertugas kala itu, yakni Hasan Raid dan Dipa Nusantara Aidit. Dua gadis tersebut merupakan mahasiswi tingkat tiga Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten.

Salah seorang dari mahasiswi tersebut Bernama Soetanti yang biasa disapa 'Bolletje' (dalam bahasa Belanda yang artinya bundar). Karena perawakannya yang agak gemuk dan pipinya bulat. Mereka datang atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia.

Soetanti mengundang Aidit selaku Ketua Departemen Agitasi dan Propoganda Partai Komunis Indonesia Solo untuk memberikan 'kuliah' terkait politik dan keorganisasian.

Organisasi membuat Soetanti kerap bolak-balik Klaten-Solo. Kunjungan berikutnya dilakukan ke kantor PKI yang beralamat di Jalan Boemi 29. Dari pertemuan yang cukup intens, Aidit dan Soetanti kian akrab. Walaupun keduanya memiliki kepribadian yang bertolak belakang.

Boleh dikatakan latar belakang keduanya pun cukup kontras. Soetanti merupakan keturunan Bupati Tuban (seorang Ningrat Mangkunegaran). Bolletje sosok mudah akrab. Tak heran memiliki banyak kenalan dan cenderung ceplas-ceplos.

Sementara Aidit, merupakan anak seorang mantri kehutanan dari Belitung. Seseorang yang sangat serius dan tidak pandai berkelakar. Aidit hanya peduli pada persoalan-persoalan politik, revolusi dan patriotisme.

Akan tetapi, hal inilah yang membuat Soetanti terpikat. Dalam setiap orasi, Aidit begitu fasih mengutip filsafat Marxisme, mengurai revolusi Prancis dan Rusia, juga soal-soal politik mutakhir dan Si Bolletje pasti duduk di barisan paling depan.

Meminang Lewat Sepucuk Surat

Meski Aidit dan Tanti akrab, tetapi keduanya tidak pernah tertangkap basah sedang berduaan. Tidak pernah sekalipun terlihat jalan berduaan, layaknya orang pacaran.

"Lebih-lebih lagi jika menginap di Kantor PKI, Tanti datang beramai-ramai," ujar Hasan Raid dalam buku G30S/PKI dan Peran Aidit.

Satu waktu, seusai pidato, Aidit menghampiri Tanti sembari menyerahkan sepucuk surat yang ditujukan kepada Bapak Moedigdo, ayah Tanti (seorang kepala polisi Semarang yang aktif di Partai Sosialis Indonesia). Surat tersebut ternyata sebuah lamaran yang ditujukan Aidit kepada Soetanti. Lamaran tersebut langsung disetujui Moedigdo.

Awal tahun 1948, keduanya menikah secara Islam. Tanpa pesta di rumah K.H. Raden Dasuki, sesepuh PKI Solo yang bertindak sebagai penghulu. Kala itu Aidit berusia 25 tahun dan Soetanti berusia 24 tahun secara resmi menikah.

Acara tersebut dihadiri oleh Moedigdo (Ayah Soetanti), Aminah (Ibunda Soetanti), dan empat adiknya Soetanti, sedangkan dari pihak Aidit hanya dihadiri oleh Murad dan Sobron yang merupakan adiknya.

Aidit Antipoligami

Pasca aksi PKI di Madiun tahun 1948, Aidit ditangkap dan buron ke Jakarta. Sementara Tanti kala itu bersedih karena ayahnya yang merupakan penyokong setia Amir Sjarifuddin, tewas ditembak. Di Jakarta Aidit jarang berada di rumah. Soetanti hanya ditemani adik-adik Aidit. Putri pertama mereka lahir pada 23 November 1949.

Suami-istri tersebut jarang terlihat bersamaan. Hal ini disebabkan karena kesibukan Aidit di Partai. Meskipun begitu, Aidit terkenal sebagai sosok yang antipoligami. Pernah suatu ketika pada tahun 1950-an, Aidit dengan guyon menyatakan kekagumannya pada seorang perempuan anggota konstituante, yakni Ismiyati. Gadis tersebut merupakan kembang parlemen dan banyak disukai kaum lelaki. Akan tetapi, kekaguman tersebut hanya sebatas mengagumi kecantikan saja.

Pernah dalam suatu riwayat Aidit memarahi Njoto (Wakil Ketua II Comite Central PKI) yang hendak menikah lagi dengan seorang penerjemah asal Rusia. Selama masa kepemimpinan Aidit, sikap antipoligami juga menjadi garis PKI, banyak anggota PKI yang diskors karena ketahuan memacari istri orang lain.***