Kisah Bandung Lautan Api: Sikap Nasution Menolak Tunduk Bikin Inggris Marah

(Dok: ©Liputan6.com)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Peristiwa Bandung Lautan Api 24 Maret 1946 menjadi salah satu bentuk Revolusi Masyarakat Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan bangsa dari ancaman Sekutu. Di balik peristiwa tersebut, ada inisiatif Kolonel A.H. Nasution yang menggerakkan para perwira untuk membumihanguskan Bandung Selatan sebelum ditinggalkan.

Dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas Jilid I, dijelaskan bagaimana A.H Nasution menyayangkan upaya pemerintah yang menjunjung tinggi upaya diplomasi sebagai tindakan rasional dengan mengatakan bahwa musuh tidak dapat diusir dengan kekuatan militer.

“Jika seandainya kita gunakan kesempatan pada bulan-bulan pertama setelah Proklamasi, lawan belum banyak. Dengan satu strategi yang menyeluruh, maka kita dapat membuntukan musuh, bahkan membuat Ambarawa baru," ucap Nasution dikutip merdeka.com.

Bandung Lautan Api pada Maret 1946 menjadi peristiwa yang tidak terelakan. Peristiwa ini bermula ketika Inggris sedang gencar-gencarnya menuntut pengambilalihan pasukan-pasukan Jepang yang ada di Lembang dan Sukabumi. Tuntutan tersebut secara logis dipenuhi pemerintah pusat. Tetapi tidak bisa diterima oleh para pemuka rakyat dan TKR yang berada di wilayah tersebut.

Panglima Komandemen memerintahkan upaya pengadangan terhadap tentara Inggris yang melewati daerah Divisi III (Puncak-Bandung). Akan tetapi, mobil dari Panglima Komandemen terjebak di antara kawanan tentara Inggris. Sehingga A.H. Nasution pun dipanggil ke Purwakarta untuk meningkatkan upaya pengadangan.

Nasution menetapkan beberapa jalur seperti Puncak-Cianjur dan Ciranjang-Rajamandala-Padalarang (area pegunungan). Jika konvoi tersebut gagal, rakyat harus segera menebang pohon. Sementara itu, wilayah kota dan perkampungan tidak dijadikan sebagai tempat pengadangan. Karena sering kali balasan serangan musuh membabi buta dan khawatir akan menimbulkan korban jiwa.

Musuh diperkirakan melakukan serangan balik dengan menyerang basis-basis pertahanan TKR. Strategi pertahanan pun dipersiapkan di Bandung Selatan. Termasuk tembakan mortir ke markas musuh seperti Gedung Sate ataupun DVO akan dipersiapkan oleh kompi mortir dari Batalyon Beruang Merah dan peleton mortir dari Batalyon Sukanda di Lembang.

Pada tanggal 8 Maret 1946 Panglima Inggris Jenderal Hawthorn berpidato melalui radio.

"Ribuan interniran tentara Belanda dan Jepang telah dibunuh oleh ekstremis-ekstremis Indonesia. Divisinya telah bertindak di Semarang dan Surabaya untuk menyelamatkan interniran itu. Korban Tentara Sekutu-Inggris sudah 1.200 orang, jumlah yang lebih besar daripada korbannya medan perang Imphal dahulu melawan Jepang."

Serangan dari Pihak Inggris

Pada 10 Maret 1946, satu batalyon tentara Inggris dengan pesawat-pesawatnya menyerang Lembang. Mereka menerobos ke Cianjur dan mengambil alih para interniran AL Jepang di bawah pimpinan Laksamana Maeda secara paksa. Ini jelas tidak dapat dicegah Batalyon Sukanda.

 

Serangan juga dilakukan Inggris di sepanjang Bogor hingga Sukabumi untuk mengambil interniran Jepang, khususnya di wilayah Ubrug.

Dalam serangan tersebut, tentara Inggris mendapat perlawanan sengit dari pihak Resimen 3 di bawah pimpinan Letnan Kolonel Edy Sukardi.

Dampak dari serangan tersebut bagi pihak Inggris adalah hilangnya 9 truk dan 2 jeep, kemudian 2 perwira serta 26 tamtama gugur. Sementara itu, di pihak Indonesia korban mencapai 60 orang.

Inggris terus menembaki jalanan Cibadak-Sukabumi. Sementara itu, Panglima Inggris mengeluarkan ultimatum. "Hentikan pertempuran dalam 48 jam”. Perdana Menteri Sjahrir tidak dapat menolak permintaan tersebut. Perundingan terjadi antara pihak Indonesia dan Inggris.

Tetapi langkah itu tidak dapat menghentikan pertempuran. Pertempuran berlanjut dengan mundurnya Inggris ke Cianjur. Pihak Inggris meminta bantuan dari Bogor dan Bandung. Sehingga sepanjang Bogor sampai Bandung terjadi pertempuran.

Secara berangsur, Inggris membersihkan jalan raya di daerah Cianjur untuk pengamanan jalan Puncak-Cianjur. Sementara upaya menduduki kota Sukabumi, dibatalkan. Kegiatan pasukan Inggris difokuskan pada daerah Rajamandala dan Padalarang. Sementara Cianjur diduduki oleh satu batalyon pasukan Inggris. Upaya tersebut terus diganggu TRI dan rakyat. Di sisi lain, Inggris berusaha mengamankan operasi dalam waktu 2 minggu.

Pada tanggal 17 Maret 1946 Panglima Besar Inggris mengundang pemerintahan RI di Jakarta untuk berunding. Terutama yang berhubungan dengan kegagalan rencana Sekutu dalam mengambil alih pasukan Jepang di wilayah Ubrug dan dalam pertempuran tersebut korban dari pihak Inggris cukup banyak yang berjatuhan.

Inggris Minta TRI Kosongkan Bandung Selatan

Belajar dari pertempuran yang telah terjadi. Pihak Inggris terus memperketat penjagaan. Di lain sisi, tentara Indonesia memanfaatkan kondisi clash di kalangan Batalyon Punjab untuk menyerang wilayah Bandung Utara. Khususnya Gedung Sate dan DVO yang menjadi markas besar Divisi XXIII Inggris.

Serangan dari pihak Indonesia ternyata belum mumpuni dan mengenai permukiman orang-orang Belanda sekitar Jaarbeurs dan APWI di Jalan Riau. Kondisi ini memancing kemarahan Inggris.

Divisi XXIII menanggapi serangan tersebut dengan tembakan selama 20 menit ke arah Bandung Selatan dengan sasaran asrama Batalyon Sumarsono di Tegalega. Akan tetapi, tembakan tersebut sebagian besar mengenai komplek PTT dan memakan 30 orang korban.

Ketika tembakan-tembakan tersebut dilepaskan, Nasution dan anggota Divisi III sedang berada di posko Regentsweg. Dalam kejadian itu, Kepala Staf yang sedang berada di kamar kecil tanpa sadar keluar tanpa ingat keadaannya. Perlu diketahui, dalam posko tersebut terdapat beberapa juru ketik wanita, hal ini jelas membuat mereka tertawa terbahak-bahak.

Pada mulanya mereka memperkirakan akan ada serbuan. Namun, Markas Besar Inggris di Jakarta justru mengoper permasalahan dengan mengultimatum pemerintah RI. Isinya supaya Bandung Selatan dikosongkan oleh TRI sejauh 10-11 kilometer radius, pemerintah sipil RI boleh tetap dalam kota, dan dilarang bumi hangus.

Pimpinan Divisi XXIII mengajak Nasution untuk bertemu. Tetapi selalu ditolak. Nasution tahu bahwa pimpinan Inggris itu sering bertemu dengan gubernur, residen, wali kota, dan pimpinan API. Walikota Sjamsuridjal pernah melaporkan, bahwa Jenderal Hawthorn tidak memercayai Nasution dengan berkata: "I don’t trust Colonel Nasution".

Ada beberapa hal yang ingin dibicarakan pihak Inggris dengan Nasution. Misalnya pengembalian regu-regu India yang membelot ke pihak RI, beserta alat dan persenjataan yang telah disita oleh pihak RI. Selain itu, permintaan untuk menjual bahan makanan kepada penduduk Belanda yang ada di Bandung Utara.

PM Sjahrir yang berada di Jakarta memutuskan untuk memenuhi permintaan Inggris dengan pertimbangan bahwa Divisi XXIII Inggris bukanlah tandingan bagi TRI yang serba kurang. Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan bahwa wilayah itu akan kembali menjadi wilayah Indonesia ketika pengakuan de facto berhasil didapat.

PM Sjahrir mengutus Menteri Syafruddin Prawiranegara dan Jenderal Karsasmita ke Bandung dengan menggunakan fasilitas Inggris. Namun Jenderal Karsasmita dilarang ke wilayah Bandung Selatan. Pihak Inggris sepertinya khawatir Karsasmita berkomplot dengan Nasution.

Perundingan pun terjadi di rumah seorang penghulu di Jalan Dalem Kaum pada 23 Maret 1946. Dalam perundingan tersebut hadir beberapa tokoh penting seperti gubernur, residen, wali kota, dan kepala polisi.

Perundingan itu menghasilkan keputusan agar pasukan TRI dan laskar yang ada di Bandung Selatan harus segera mengosongkan wilayah tersebut pada 24 Maret 1946 pukul 24.00.

Keputusan tersebut jelas ditolak oleh pihak Indonesia baik Nasution, maupun para pejabat yang hadir. Karena tidak mungkin memindahkan ribuan pasukan hanya dalam waktu satu hari.

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6, mereka meminta perpanjangan waktu kepada Jenderal Hawthorn. Tetapi upaya itu justru ditanggapi dengan alot. Sore harinya, Nasution bersama Syafruddin dan Karsasmita pergi ke Jakarta untuk meminta bantuan Sjahrir agar pihak Inggris mau memberikan perpanjangan waktu.

Lagi-lagi PM Sjahrir merasa, demi keselamatan TRI. Sebaliknya permintaan Inggris langsung dipenuhi. Ketika itu, pamflet-pamflet perintah pengosongan wilayah sudah disebarkan oleh Inggris di kota Bandung.

Sekali lagi, Nasution mencoba untuk meminta perpanjangan waktu kepada pihak Inggris, tetapi ditolak. Nasution juga menolak bantuan truk Inggris untuk pemindahan pasukan TRI dari Bandung Selatan.

Langkah Nasution

Setelah berunding dengan para komandan TRI, para pemimpin laskar, dan aparat pemerintahan, dicapai sebuah keputusan. Sebagai panglima, Nasution memutuskan untuk menyimpang dari keputusan pemerintah Indonesia. Yakni mengungsi, bumi hangus, infiltrasi gerilya ke Utara dan kelak ke Bandung Selatan. Masing-masing bertugas sesuai sektornya.

Pukul 14.00 dengan resmi disiarkan perintah Divisi III TRI berbunyi:

1) Semua pegawai dan rakyat harus ke luar kota sebelum pukul 24.00

2) Tentara melakukan bumi hangus terhadap semua bangunan yang ada

3) Sesudah matahari terbenam, supaya Bandung Utara diserang dari pihak Utara dan dilakukan pula bumi hangus sedapat mungkin. Begitu pula dari Selatan harus ada penyusupan ke Utara.

Meskipun pada mulanya rencana bumi hangus ditargetkan pada pukul 24.00, tetapi pada kenyataannya dilakukan lebih awal yakni pada pukul 21.00. Para tentara mulai membakar markas, bangunan-bangunan penting, dan asramanya. Sementara itu, rakyat banyak pula yang membakar rumahnya.

Jalanan sekitar Cimahi hingga Ujung Berung dipenuhi para pengungsi yang hanya membawa sedikit harta benda. Malam itu cuaca sedikit gerimis, tetapi langit terang benderang karena lautan api dan udara dipenuhi oleh ledakan dan tembakan.***