Apa Itu Kata Makian Bajingan? Begini Sejarahnya

(Dok:Wirenohadi Soeprapto/Pinterest)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Bajingan saat ini lebih dikenal sebagai kata dengan konotasi negatif dan sering jadi kata makian. Padahal, mungkin tak banyak yang tahu, bajingan dalam sejarahnya adalah profesi yang mulia. Apa itu bajingan?

Dikutip dari National Geographic, bajingan adalah profesi yang umum bagi masyarakat Jawa dan sudah ada sejak zaman Mataram Islam atau abad ke-16 Masehi. Ya, bajingan adalah profesi kusir gerobak sapi, salah satu warisan kearifan lokal Indonesia yang sudah ada sejak zaman dulu.

Dilansir kompas.com, profesi ini memegang erat kekerabatan dan kerukunan yang diwadahi oleh paguyuban penarik gerobak sapi atau para bajingan.

Menurut sejarahnya, sapi adalah hewan yang disukai pada masa Kerajaan Mataram. Sementara gerobak sapi berawal dari Kerajaan Mataram yang telah menganut ajaran islam. Bajingan jadi profesi penting karena menjadi bagian mobilitas atau transportasi masyarakat Mataram yang meliputi Yogyakarta, dan eks-Karesidenan Surakarta.

Selain membawa manusia, gerobak sapi yang dikemudikan bajingan juga mengangkut hasil panen yang dihasilkan oleh masyarakat. Sebab pada masa kolonial Hindia-Belanda, masyarakat pribumi tidak dapat menaiki transportasi mewah sebagaimana para pejabat Eropa.

Mereka hanya dapat menunggangi gerobak sapi yang ditarik bajingan untuk mobilitas sehari-hari. Hal itu pun juga terbatas bagi masyarakat pribumi dengan ekonomi menengah ke atas. Pasca kemerdekaan, bajingan dapat berfungsi juga untuk mengangkut material seperti truk di zaman sekarang.

"Pasca kemerdekaan hingga hari ini, masyarakat Bantul, Yogyakarta, masih melestarikan paguyuban para penarik gerobak sapi," tulis Dito Ardhi Firmansyah dalam skripsinya. Skripsi berjudul Kontruksi Makna Kata Bajingan (Studi Etnografi Perubahan Makna Kata Bajingan dalam Komunitas Kusir Gerobak Sapi di Bantul Yogyakarta) itu juga menyebut soal tarif bajingan. Pada 1975, tarif untuk membawa material sampai ke tujuan dalam sekali angkut berkisar Rp150. dan komunitas bajingan juga masih bertahan hingga hari ini.

Bajingan profesi mulia dengan gerobak sapi atau bajingannya yang masih beroperasi mengangkut wisatawan di Omah Kecebong, Desa Cebongan, Kabupaten Sleman, DIY

Seperti pengertian dan sejarahnya, bajingan awalnya adalah profesi yang positif. Bahkan bajingan memiliki akronim yang menyebut profesi yang baik dan dekat dengan Tuhan. Desanti Arumingtyas Dyanningrat dalam Perancangan Buku Nilai Sejarah Dan Filosofi Mataram Islam Pada Gerobak Sapi menjelaskan bahwa dalam kultur budaya Jawa kusir gerobak sapi disebut 'bajingan', singkatan dari bagusing jiwo angen-angening pangeran. "Artinya orang baik yang dicintai Tuhan," tulis Desanti.

"Mulianya, pada saat perjuangan kemerdekaan, bajingan jadi salah satu opsi dalam perang geilya untuk persembunyian para pejuang dibalik rumput dan hasil panen dalam gerobaknya," kata dia.

Lalu, kenapa bajingan sekarang jadi kata makian? Pergeseran makna bajingan Merunut pergeseran makna bajingan dari profesi mulia hingga mulai jadi kata makian bisa ditelisik dari tulisan Multatuli.

Dalam bukunya berjudul Max Havelaar terbitan tahun 1860, kata bajingan mulai berkonotasi negatif. "Nak, jika mereka memberitahumu bahwa aku adalah bajingan yang tidak memiliki keberanian melakukan keadilan, bahwa banyak ibu yang meninggal karena kesalahanku…" tulis Multatuli.

Penggalan tulisan itu mengindikasi penggunaan kata 'bajingan' sebagai bentuk umpatan sejak abad ke-19. Baca juga: Dari BH hingga WC, Singkatan Ini Sering Disebut tapi Tak Tahu Artinya Bajingan sering terlambat

Bajingan yang populer di Jawa pada awal 1900 hingga 1940-an, menjadi kendaraan yang cukup langka di wilayah pelosok Yogyakarta. Masyarakat kerap turut dalam gerobak yang ditarik sapi atau kerbau untuk keluar menuju kota, baik untuk berdagang, sekolah, hingga bekerja.

Transportasi ini selain langka, juga berjalan dengan lambat, sehingga waktu melintasnya tak tentu. Kerap kali karena para calon penumpang sambat (mengeluh) setelah lama menunggu. "Bajingan kok suwe tekone" (Bajingan kok lama datangnya), atau "Bajingan gaweane suwe!" (Bajingan lambat kerjanya/jalannya).

Seringnya keluhan-keluhan tersebut dilontarkan, diduga kata 'bajingan' kemudian mengalami pergeseran makna. Meski awalnya merupakan nama profesi yang mulia, istilah tersebut kemudian berubah menjadi kata umpatan atau makian karena sering terlambat dan dinilai kerap mengecewakan para calon penumpang.

Setelah berkembangnya teknologi dan alat transportasi di Indonesia, banyak masyarakat yang kemudian beralih pada alat transportasi yang lain. Hal ini juga menyebabkan semakin langkanya profesi bajingan di wilayah Jawa.***