Menelusuri Jejak Etnis Tionghoa dan Tragedi Kanso di Ranah Minang

Makam Tionghoa di perbukitan Pariaman. (©2023 Merdeka.com)

JAKARTA (SURYA24.COM) JAKARTA - Keberadaan etnis Tionghoa dapat ditelusuri di seluruh penjuru Nusantara, seperti halnya di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar). Keberadaan ini terlihat nyata dengan adanya perayaan Imlek yang masuk menjadi kalender wisata dalam Festival Cap Go Meh, yang akan dihelat pada 5 Februari 2022 mendatang di Kota Padang.

Di Sumbar, keberadaan etnis Tionghoa dapat dijumpai di Kelurahan Kampung Pondok, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang. Bagi masyarakat Kota Padang dan sekitarnya, wilayah permukiman tersebut juga lazim disebut sebagai Kampung Cino (Kampung China). Bukti otentik yang sampai saat ini bisa dijumpai adalah klenteng See Hin Kiong.

Selasa (17/1) siang, merdeka.com berkesempatan menyambangi klenteng tersebut, letaknya terbilang cukup strategis sehingga mudah ditemukan. Sesampainya di sana, tersuguh ratusan lampion yang terpasang di halaman klenteng beserta shio Kelinci Air.

Sejarawan sekaligus akademisi Universitas Negeri Padang (UNP) Erniwati mengatakan, masuknya Tionghoa di Sumbar melalui dua jalur, yaitu melalui jalur timur dan pesisir pantai barat Sumatera. Jalur Timur melalui perairan sungai, yakni Kota Payakumbuh, Bukittinggi hingga Batu Sangkar. Setelah Malaka dikuasi Portugis, orang Tionghoa mengalihkan pelayaran mereka melalui pesisir pantai barat Sumatera.

Jalur kedua yakni pesisir pantai barat Sumatera, yaitu Padang Pariaman atau saat ini dikenal dengan Kota Pariaman. Kala itu Pariaman didiami oleh penduduk yang berasal dari berbagai etnis, termasuk Tionghoa.

 

Lanjutnya, pada tahun 1620, Belanda menjadikan Pariaman sebagai tempat untuk mengumpulkan komoditi ekspor yang dibawa dari daerah pedalaman.

"Pada tahun 1620 itu, masyarakat Tionghoa di Kota Pariaman berfungsi sebagai penghubung antara pedagang Eropa dengan pedagang Minangkabau (masyarakat pribumi Sumatera Barat)," tuturnya kepada merdeka.com.

Kemudian pada tahun 1926 setelah Perang Dunia II terjadi, Kota Pariaman mengalami perekonomian yang buruk. Selanjutnya, tahun 1942 Jepang masuk ke Kota Pariaman.

Pada masa pendudukan Jepang tersebut, ekonomi Pariaman kacau, masyarakat Tionghoa mulai mengambil hati tentara Jepang untuk menyelamatkan diri dan harta benda mereka. Tidak sedikit dari etnis Tionghoa mulai melanggar norma agama dan asusila di dekat rumah ibadah. Tindakan tersebut memicu pertempuran antara masyarakat Etnis Tionghoa dan masyarakat Pribumi orang Pariaman.

Peristiwa itu hingga kini dikenal masyarakat di sana dengan istilah peristiwa Kanso (pembunuhan menggunakan seng yang kemudian diletakkan di leher yang dilakukan dengan cara ditarik). Namun Erniwati belum bisa menjelaskan lebih jauh terkait peristiwa tersebut.

"Saya belum bisa memastikan peristiwa tersebut. Hasil penelitian saya belum menemukan bukti kuat tentang itu, saya sendiri baru mendapatkan referensi dari wawancara-wawancara," tuturnya.

Tragedi Kanso

Meski belum diketahui kebenarannya, namun peristiwa ini menjadi cerita rakyat yang saat ini masih berkembang di masyarakat Pariaman. Warga bernama Ulfa Desnawati menuturkan, cerita Kanso dia dapat dari keluarganya.

"Saya mendengar cerita dari almarhum nenek saya yang hidup pada masa pemerintahan Jepang, akan tetapi hingga kini saya tidak tahu tahun berapa pastinya peristiwa itu terjadi," tuturnya.

 

Sambungnya, kata Nenek, dahulu peristiwa Kanso itu merupakan peristiwa pembunuhan pada masa pemerintah Jepang, di mana orang-orang dibunuh menggunakan seng.

Dalam ceria Kanso yang berkembang, kondisi Pariaman saat itu sedang paceklik. Beras susah. Rakyat hanya diperbolehkan menanak nasi satu tekong (gelas), dan perempuan tidak diperbolehkan keluar rumah.

"Pada saat itu banyak anak yang mati kelaparan, kakak dari nenek saya memiliki tujuh orang anak, namun yang bisa bertahap hidup pada saat krisis tersebut hanya satu orang saja. Itu kata alamarhum nenek dahulu," tutur mahasiswi UIN Imam Bonjol Padang itu.

"Untuk tulisan ataupun orang terdahulu yang mengetahui peristiwa itu sulit untuk ditemukan. Hingga kini orang China di Pariaman tidak ditemukan lagi," imbuhnya.

Berdasarkan penelusuran merdeka.com melalui Kamus Minangkabau-Indonesia, Kanso diartikan sebagai seng tipis.

Sementara itu, penulis sekaligus wartawan senior asal Pariaman Armaidi Tanjung mengatakan, peristiwa Kanso merupakan pembunuhan menggunakan seng oleh pejuang pemuda-pemuda di Pariaman pada tahun 1945 silam.

"Saat itu pemuda di Pariaman murka atas tindakan Jepang dan mereka membunuh mata-mata Jepang. Dalam peristiwa ini tidak seluruhnya masyarakat China di Pariaman itu terbunuh, hanya ada tiga hingga lima orang saja. Perlu ditegaskan lagi, dalam peristiwa ini tidak semua orang China itu terbunuh," tuturnya kepada merdeka.com, Kamis (26/1).

Penulis buku dengan judul Tragedi Kanso Trauma Etnis Cina di Pariaman 1945 itu mengatakan, peristiwa pembunuhan dipicu karena satu hingga dua warga China membocorkan informasi kepada tentara Jepang terkait perjuangan pemuda Indonesia Pariaman pembela kemerdekaan.

 

"Kalau untuk bukti fisik terkait peristiwa Kanso ini sudah tidak ada. Bukti nyata saat ini bahwa masyarakat Tionghoa ada di Pariaman terlihat pada perkuburan tua di Pariaman, yang saat ini berokasi Toboh Palapah, Kecamatan Pariaman Selatan," tuturnya.

"Dahulu, kuburan China di Pariaman itu ada tiga lokasi, seiring berjalannya waktu terjadi penggusuran. Dan sekarang hanya tinggal satu lokasi saja. Dan saya berharap satu lokasi ini tidak tergusur, karena ini salah satu bukti autentik bahwa etnis Tionghoa memang ada di Pariaman," tuturnya yang juga penulis buku Kota Pariaman, Tempo Dulu dan Masa Depan itu.

Katanya, keberadaan etnis Tionghoa di Pariaman tempo dulu sangat berpengaruh terhadap masyarakat pribumi di Pariaman, di mana pada saat itu mereka memiliki peran penting dalam perdagangan di bawah kekuasaan Belanda.

"Sebelumnya hubungan etnis Tionghoa terjalin dengan baik pada masyarakat pribumi. Hingga sejak tragedi Kanso semua masyarakat China merasa takut dan melarikan diri dari Kota Pariaman," tuturnya.

Erniwati, penulis Asap Hio di Ranah Minang menuturkan, tahun 1965 etnis Tionghoa hilang di Kota Pariaman, semuanya tinggal kenangan, mereka pergi membawa harta benda yang bisa dibawa saja.

Era VoC

Mengenai kepastian tahun masuknya etnis Tionghoa di Kota Padang tidak diketahui, setidaknya sejak abad ke-17, di mana pada saat itu perusahaan dagang Belanda mendirikan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang markasnya berpusat di Kota Padang. Orang Tionghoa di sana telah beradaptasi dengan masyarakat Minangkabau, kendati demikian mereka tetap menjaga adat tradisinya lewat perkumpulan sosial.

 

"Tahun masuk etnis Tionghoa di Kota Padang tidak ada tahun pastinya. Hasil penelitian dan penemuan saya, orang Tionghoa di Padang ada karena mengikuti perusahaan dagang Belanda VOC," kata sejarawan sekaligus akademisi di Universitas Negeri Padang (UNP) Erniwati, Rabu (25/1).

Katanya, hingga kini keberadaan orang Tionghoa di Kota Padang hidup saling berdampingan dengan masyarakat Minangkabau. "Diprediksi, etnis Tionghoa di Padang kurang lebih sudah sepuluh generasi, mereka hidup berdampingan dengan masyarakat Minangkabau. Sejauh ini tidak ada terdengar konflik," tuturnya.

Sambungnya, masuknya perayaan Imlek menjadi kalender wisata Sumatera Barat membuktikan bahwa pemerintah menghargai keberadaan etnis Tionghoa. "Ini adalah salah satu bukti bahwa pemerintah di Sumatera Barat itu menghargai keberagaman budaya," ujarnya.

Sementara itu, Bagindo Amaidi Tanjung dalam buku Kota Pariaman, Dulu kini dan Masa Depan, menjelaskan bahwa Tionghoa Pariaman memiliki keterkaitan dengan Tionghoa Padang saat ini.

Katanya, kehadiran keturunan Tionghoa di pantai Barat Sumatera pada abad ke-16 yang bermukim di Pariaman. Permukiman pertama merupakan bagian dari saudagar Tionghoa yang berasal dari Banten. Jumlah kunjungan tersebut terus mengalami peningkatan hingga abad ke-17, yang mana pada saat itu Pariaman ramai dikunjungi kapal-kapal asing.

Kemudian setelah VOC memindahkan lojinya ke Padang, beberapa keluarga Tionghoa juga bermukim di Kota Padang, yang diduga mereka pindah dari Pariaman.

Deretan Makam Tionghoa di Perbukitan Pariaman

Bukti adanya masyarakat Tionghoa di Pariaman hingga saat ini dapat dilihat pada sebuah perbukitan kecil di arah Selatan, Kota Pariaman menjadi saksi bisu bukti adanya etnis Tionghoa tempo dulu di daerah tersebut. Bukti itu terlihat nyata dengan adanya deretan makam menghiasi perbukitan. Tepatnya, di desa Toboh Palapah yang berada di Kecamatan Pariaman Selatan.

Bagindo Amaidi Tanjung menjelaskan, Pariaman merupakan hamparan pantai yang terletak di Pantai Barat Provinsi Sumatera Barat dengan luas 73,36 km, atau 0,7 dari luas provinsi sumatera barat. Dengan panjang garis pantai 12,7 kilometer.

Dalam buku itu juga dijelaskan, etnis Tionghoa pertama di Kota Pariaman berawal dari saudagar Tionghoa yang berasal dari Banten. Sebuah laporan dari Kompeni mencatat tahun 1825 orang China di Pariaman berjumlah 25 orang, mereka mengkhususkan diri dalam perdagangan kopi untuk dikapalkan lagi. Kemudian tahun 1833 penduduk China tersebut meningkat menjadi 60 orang. Sampai akhirnya tercatat lebih dari 500 orang. Mereka cukup luwes bergaul dengan penduduk pribumi.

Pada penjajahan Belanda, orang China di Pariaman memiliki kekuasan yang penting terhadap daerah Pariaman sebagai penarik pajak ekspor-impor di daerah tersebut. Namun, peran bangsa Tionghoa di Kota Pariaman berangsur sirna dengan berkurangnya peran VOC di Minangkabau dan pedagang pribumi mulai memperlihatkan kepintarannya.

Selasa (10/1) siang, merdeka.com berkesempatan mengunjungi langsung makam tua Tionghoa di Kota Pariaman tersebut dengan jarak tempuh sekitar 13 menit perjalanan menggunakan sepeda motor dari Pantai Gandoriah Kota Pariaman. 56 km dari Kota Padang atau 26 km dari Bandara Internasional Minangkabau.

Sesampai di lokasi, disuguhkan dengan sebuah tulisan bertiang besi, Cagar Budaya SK Wali Kota Pariaman No.349/556/2021 Kompleks Kuburan Cina, tertanda Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Semakin mendaki, semakin banyak makam yang terlihat dan tidak sedikit juga makam tertutup semak belukar.

 

Dari tulisan di makam tersebut ada yang terlihat tahun 1930, namun tidak sedikit dari makam yang tulisannya sudah memudar hingga sulit dibaca dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Setelah berjalan beberapa meter menuju puncak perbukitan, merdeka.com bertemu dengan seseorang kakek yang sedang membersihkan makam. Muhammad Nur (77) demikian nama kakek itu. Ia merupakan warga asli Kota Pariaman yang tinggal tidak jauh dari bukit tempat makam berada.

Katanya, adanya makam China di Kota Pariaman diperkirakan sudah berumur puluhan tahun dan telah ada sejak pemerintahan Hindia Belanda menjajah Indonesia. Kendati demikian tahun berapa makan ini ada, ia juga tidak bisa memastikan.

"Awal mulanya makam ini ada saya juga tidak tahu pasti, tetapi setelah melihat ada tertulis di batu nisan tahun 1893," tuturnya dengan kepada merdeka.com.

Dia menjelaskan, makam yang berada pada perbukitan berjumlah puluhan. Pada tahun 1980-an, masih banyak sanak saudara mereka berkunjung ke makam baik itu dari Singapura, Jerman maupun Sumatera Barat di luar daerah Pariaman. Namun, seiring waktu berlalu hingga kini hanya tersisa 5 orang saja.

"Dahulu 1980-an banyak mereka yang datang ke makam, hingga kini yang tersisa hanya lima orang saja, mereka semua dari Kota Padang. Makanya saat ini makam dibersihkan, karena mereka akan datang pada awal Maret tahun ini," katanya menjelaskan.

Sambungnya, pekerjaan membersihkan makam tua Tionghoa di tanah kelahirannya sudah ditekuninya sejak 1980 silam. Dan dibayar langsung oleh orang China yang bermukim di Kota Padang.

Lanjutnya, meskipun telah ditetapkan sebagai cagar budaya, Muhammad Nur mengaku pemerintah tidak memperhatikan makam, hingga sampai kini makam Tua Tionghoa di Kota Pariaman tetap dibiarkan ditumbuhi semak belukar.

 

"Menjadi pembersihkan makam sejak tahun 1980 dan telah pekerjaan turun temurun dari nenek waktu itu. Hingga kini makam ditetapkan sebagai Cagar Budaya Kota Pariaman, namun perhatian pemerintah tetap tidak terlihat, buktinya saat makam saat ini ditumbuhi semak. Bapak di sini bekerja dan digaji oleh orang China langsung yang tinggal di Kota Padang," tuturnya yang ditemui di lokasi pada saat sedang membersihkan makam.

Katanya, masyarakat China mulai tidak ada di Kota Pariaman setelah pemerintahan Jepang sekitar tahun 1943 dan 1944, karena mereka berkhianat kepada masyarakat Pribumi sehingga orang Pariaman kala itu marah dan terjadi pertengkaran.

"Singkat pengetahuan saya, pertengkaran terjadi bukan karena kekejaman orang Pariaman, tetapi tingkah laku mereka yang tidak sesuai dengan penduduk pribumi," tuturnya.

Klenteng See Hin Kiong

Klenteng See Hin Kiong bisa menjadi simbol eksisnya etnis Tionghoa di Sumbar. Mereka hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

Klenteng ini merupakan tertua di Kota Padang yang dibangun pada tahun 1841 silam. Di tahun 1861 sempat hangus saat kebakaran melanda. Kemudian dibangun kembali di tahun 1893 yang diresmikan pada tahun 1897.

Kemudian tahun 2009 rusak berat akibat gempa bumi yang mengguncang wilayah Sumatera Barat dengan magnitudo 7,6 Skala Richter. Setelah gempa dibangun kembali tahun 2010 di lokasi sekarang, kurang lebih berjarak 100 meter dari lokasi semula yang kemudian diresmikan pada 30 Maret 2013 lalu.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010 persentase orang Tionghoa Padang tinggal 1,1 persen atau sebanyak 9.498 jiwa. Kemudian pada tahun 2016 terjadi peningkatan berjumlah 12.000 orang.***