Rama-ramai Soal IMB Sementara Warga Tanah Merah , Patutkah Anies Baswedan Disalahkan?

Foto Anies Baswedan di Sumbawa (dok:kompas.com)

JAKARTA (SURYA24.COM)  - Buntut dari kebakaran Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) milik PT Pertamina (Persero) di Plumpang, Jakarta Utara, turut memercikkan perdebatan publik soal hak warga Tanah Merah yang telah tinggal puluhan tahun di sana. Seperti diketahui, kebakaran yang terjadi pada Jumat (3/3/2023) telah menelan korban jiwa dari perkampungan warga yang rapat di sisi utara dan timur depo BBM itu. 

    Lokasi depo BBM yang dinilai terlalu dekat dengan permukiman warga setempat dipersoalkan. Nama mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun terseret dalam tragedi ini.

    Dikutip dari kompas.com, pada 2021, Anies menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) kawasan Kampung Tanah Merah Jakarta Utara. IMB itu disebut memiliki jangka waktu selama tiga tahun. Anies turut disalahkan atas kebakaran yang telah menelan korban jiwa ini karena dianggap mengabaikan status kepemilikan lahan di kawasan yang dinilai sebagai zona berbahaya. Patutkah Anies disalahkan? 

     Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai, kebakaran yang menelan korban jiwa itu tidak sepenuhnya kesalahan gubernur sebelumnya. Jika ditarik ke belakang, kata Trubus, sejumlah nama ikut andil dalam pembiaran warga Tanah Merah menempati zona berbahaya dan status kepemilikan lahannya belum jelas. 

       Trubus pun turut menyinggung Joko Widodo yang saat itu menjadi Gubernur DKI Jakarta yang juga membagikan kartu tanda penduduk (KTP) pada warga Tanah Merah sebagai bagian dari kontrak politik.

        Baru kemudian baru diikuti Anies yang menerbitkan IMB kawasan yang sifatnya sementara. Penerbitan IMB itu pun, kata dia, merupakan jalan tengah agar warga setempat tetap bisa mengakses kebutuhan dasar.

     "Jadi apa yang dilakukan Pak Anies itu sebetulnya hanya sementara untuk memberikan ruang pada masyarakat agar bisa tinggal sementara di sana," kata Trubus kepada Kompas.com, Selasa (7/3/2023). 

      Tak hanya eksekutif, Trubus juga menyoroti peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta yang pasif dalam penyelesaian masalah ini. Padahal, tugas DPRD adalah sebagai pengawas kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

     "DPRD ini ada juga sebagian para wakilnya berasal dari wilayah itu. Jadi, memang selama ini mereka (warga Tanah Merah) dipolitisasi oleh mereka-mereka itu dengan janji-janji agar mereka memberikan suara," kata Trubus. 

      Menurut dia, buntut dari kebakaran ini semakin memperlihatkan secara jelas ketidakharmonisan eksekutif dan legislatif dalam mencari solusi untuk warga Tanah Merah. Trubus berujar, gubernur seperti jalan sendiri sehingga kebingungan sendiri.

     "Padahal, DPRD bisa interpelasi, memberikan teguran atau langkah politik lainnya untuk menekan gubernur untuk menyelesaikan persoalan itu," kata dia.

       Di sisi lain, Trubus juga mengatakan PT Pertamina seharusnya sejak awal proaktif dengan ikut berkolaborasi dengan Pemprov DKI agar masyarakat tidak tinggal di atas lahan yang diklaim milik mereka. 

     Padahal, kata dia, kebakaran yang hebat sebelumnya juga pernah terjadi di lokasi yang sama pada 2009. Penyelesaian seharusnya sudah disepakati pada saat itu. 

    "Pertamina itu pasif sekali jadi seolah membiarkan mereka semua. Pada akhirnya, yang terjadi adalah kebakaran itu lagi," kata Trubus. 

Selalu jadi korban kontrak politik 

     Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyayangkan peristiwa kebakaran ini berujung politisasi. Padahal, kata dia, persoalan status lahan di Tanah Merah ini sudah menjadi permasalahan agraria yang kronis karena sudah dibiarkan sejak lama.

      "Artinya kasus ini tidak pernah dituntaskan secara utuh, tetapi dalam proses politik di DKI Jakarta ini selalu jadi bagian dari janji politik di era mana pun," ujar Dewi kepada Kompas.com, Selasa.

     Menurut Dewi, penyelesaian status hak lahan warga Tanah Merah ini perlu dijauhkan dari politisasi. Selama ini, konflik agraria dinilai tidak pernah tuntas sejak 1980-an karena kental dengan politisasi.

     "Warga Tanah Merah selalu menjadi bursa politik dari setiap calon Gubernur DKI Jakarta, itu yang menurut saya disayangkan dan ini harus diluruskan," kata Dewi. 

     Dewi berujar, saat ini tumpang tindih klaim kepemilikan lahan di Tanah Merah juga masih jadi perdebatan. Pasalnya, jauh sebelum depo BBM itu dibangun, sudah ada permukiman warga setempat meskipun belum padat seperti sekarang.

      Di sisi lain, kata Dewi, hingga saat ini PT Pertamina belum terbuka soal status hak atas lahan yang kini telah dibangun menjadi depo BBM sejak 1970-an. Akibatnya, kompleksitas masalah agrarianya menjadi semakin rumit. 

     "Ditambah karena permukiman tentu akan semakin padat dan tentu jadi tidak aman bagi aktivitas Pertamina dan kehidupan warga di sana," kata Dewi.

     Untuk itu, Dewi meminta Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) DKI Jakarta dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk turun tangan dalam membuka status hak atas tanah yang selama ini diklaim oleh Pertamina.

     "Itulah yang menjadi penyebab tumpang tindih klaim dan konflik berkepanjangan warga dengan perusahaan negara tersebut," tutur Dewi.***