Kisah Operasi Woyla, Aksi Heroik Kopassus Tumpas Pembajak Pesawat Garuda Kurang dari 3 Menit

(Dok:Istimewa/sindonews.com)

JAKARTA (Surya24.com) - Indonesia pernah mengalami peristiwa menegangkan pembajakan pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 206 pada tahun 1981. Pembebasan sandera pembajakan sekelompok teroris bersenjata di Bandar Udara Don Mueang, Bangkok, Thailand dikenal dengan Operasi Woyla.

Penerbangan dari pelabuhan udara sipil Talangbetutu, Palembang ke Bandara Polonia, Medan ini mengalami insiden pembajakan pada 28 Maret 1981 oleh lima orang teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein. Mereka mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok ekstremis "Komando Jihad".

Melansir sindonews.com, penerbangan dengan pesawat DC-9 Woyla tersebut berangkat dari Jakarta pada pukul 08.00 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55 WIB.

Pembajakan berlangsung saat pesawat baru lepas landas usai transit lebih dulu di Palembang. Lima teroris yang membajak menyamar sebagai penumpang. Penyandera memerintahkan Kapten Pilot Herman Rante dan Kopilot Hedhy Djuantoro untuk membawa pesawat dengan 48 penumpang dan lima kru (dua penerbang dan tiga pramugari) ke luar wilayah Indonesia.

Setelah mendarat sementara untuk mengisi bahan bakar di Bandara Penang, Malaysia, akhirnya pesawat tersebut terbang dan mengalami drama puncaknya di Bandara Don Mueang di Bangkok, Muang Thai tanggal 31 Maret.

Imran bin Muhammad Zein, pemimpin sel kelompok Komando Jihad yang melakukan peristiwa teror ini menuntut agar para rekannya yang ditahan pasca Peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat supaya dibebaskan.

Dalam peristiwa itu, 14 anggota Komando Jihad membunuh empat anggota polisi di Kosekta 65 pada 11 Maret 1981 dini hari. Usai peristiwa itu, sejumlah anggota Komando Jihad ditahan dan terancam hukuman mati.

Peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla ini menjadi peristiwa terorisme bermotif "jihad" pertama yang menimpa Indonesia dan satu-satunya dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia.

Drama pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla tersebut berlangsung empat hari di Bandara Don Mueang Bangkok. Mendengar pembajakan tersebut, Presiden Suharto memanggil Kapusintelstrat LB Moerdani ke Cendana. Moerdani memerintahkan Asisten Operasi Kopassandha, Letkol Sintong Panjaitan untuk membuat rencana operasi pembebasan dengan 35 personel.

Satu pesawat berjenis sama, Douglas DC-9 dipinjam untuk latihan singkat di hangar Garuda sebelum berangkat ke Thailand. Singkat cerita pada 31 Maret 1981, sinyal hijau diberikan untuk menjalankan operasi pada hari keempat penyanderan.

Grup-1 Para Komando (cikal bakal Detasemen-81 Gultor Kopassus) membuat tiga tim yang akan menerobos pintu samping dengan memanjat sayap pesawat, sementara satu tim lainnya lewat pintu belakang. Pukul 02.30, pasukan bersenjata mendekati pesawat secara diam-diam.

Mereka merencanakan agar Tim Merah dan Tim Biru memanjat ke sayap pesawat dan menunggu di pintu samping. Semua jendela pesawat telah ditutup.

Tim Hijau akan masuk lewat pintu belakang. Semua tim akan masuk ketika kode diberikan. Pada pukul 02.43, tim Komando Angkatan Udara Thailand ikut bergerak ke landasan, menunggu di landasan agar tidak ada teroris yang lolos.

Kode untuk masuk diberikan, ketiga tim masuk, dengan Tim Hijau terlebih dahulu, mereka berpapasan dengan seorang teroris yang berjaga di pintu belakang. Teroris tersebut menembak dan mengenai Ahmad Kirang, salah seorang anggota Tim Hijau di bagian bawah perut yang tidak terlindungi.

Teroris tersebut kemudian ditembak dan tewas di tempat. Tim Biru dan Tim Merah masuk menembak dua teroris lain, sementara penumpang menunduk. Para penumpang lalu disuruh keluar. Seorang teroris dengan granat tangan tiba-tiba keluar dan mencoba melemparkannya tetapi gagal meledak karena pin pengaman yang tidak ditarik sempurna. Lalu anggota tim menembak dan melukainya sebelum dia sempat keluar.

Teroris terakhir dinetralisir di luar pesawat. Imran bin Muhammad Zein selamat dalam peristiwa baku tembak tersebut dan ditangkap oleh pasukan Kopassus.’

Selain Lettu Ahmad Kirang, Kapten Herman Rante juga tewas tertembak dalam peristiwa itu. Kapten Herman Rante meninggal di Rumah Sakit di Bangkok beberapa hari setelah kejadian tersebut.

Berkat kemampuan prajurit Kopassus yang mumpuni, hanya membutuhkan waktu 2 menit 49 detik untuk membebaskan seluruh penumpang yang disandera dan melumpuhkan para pelaku teror dalam Operasi Woyla tersebut.

Aksi pasukan Baret Merah ini pun langsung mendapat pengakuan dunia internasional. Bahkan, Kopassandha disejajarkan dengan pasukan elite dunia seperti GSG 9 (Jerman) dan Mossad (Israel). Surat kabar The Asian Wall Street Journal, tak segan menyematkan keberhasilan “Operasi Woyla”, 31 Maret 1981 di headline mereka: “Indonesia bukannya tidak layak diberikan pujian dan hormat yang sama dengan (pasukan) komando Israel dan Jerman Barat, untuk tindakan keberanian di Entebbe (Uganda) dan Mogadishu (Somalia). Sangat disayangkan karena ada poin yang lebih luas untuk dibuktikan (pasukan Indonesia).”

“Yang pasti, butuh kemampuan militer tingkat tinggi untuk bisa menyelamatkan penumpang pesawat yang disandera tanpa menimbulkan satu pun korban jiwa. Sedari pembajakan sampai tembakan terakhir, jalannya operasi selama 60 jam membutuhkan organisasi dan perencanaan yang sangat baik, serta butuh keberanian, efisiensi dan disiplin,” lanjut Koran tersebut.

Sementara itu, surat kabar The Bangkok Post mewawancarai salah satu personel Grup-1 Para Komando, TJP Purba. “Prinsip kami sederhana, tak terdengar, menentukan dan agresif.”

Setibanya di Tanah Air, komandan lapangan, Letkol Sintong Panjaitan beserta semua personelnya dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat. Untuk Ahmad Kirang yang gugur di dalam operasi dinaikkan pangkatnya dua tingkat secara anumerta.***