Kisah Misteri yang Sempat Menghebohkan Boyolali, Lagi Emosi Keluar Sumpah Disambar Petir, Eee Langsung Nyata

(Dok: Sibhe)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Orang-orang di dukuh N, sebuah kampung di pelosok timur Boyolali, mungkin tidak akan pernah melupakan peristiwa yang terjadi sekitar dua puluh empat tahun silam. Di mana 3 warga disambar petir.

Musibah itu selain menorehkan duka yang mendalam juga memberikan hikmah. Lantaran itu kejadian tersebut mau tidak mau masih terus diceritakan kepada generasi berikutnya agar dijadikan pembelajaran. Jangan sampai mengulangi kesalahan fatal yang sama.

Musibah tersebut terjadi di mangsa kasanga yang memang oleh masyarakat Jawa dikenali sebagai musim yang berhujan dan berpetir.

Pagi di hari kejadian, langit tampak biru dan cerah. Warga dukuh yang kebanyakan adalah petani berangkat bekerja ke sawah.

Wajah-wajah mereka tampak semringah tatkala menyaksikan padi-padi mulai berbunga.

Mereka berharap semuanya akan terus terkendali seperti itu sampai masa panen nanti.

 

Namun menjelang siang, di sebuah pematang sawah, Din dan Har (nama samaran) justru bertengkar hebat.

Konon paman dan keponakan itu adu mulut soal batas tanah sawah. Sampai-sampai karena terbawa emosi, salah satu di antaranya bersumpah berani disambar petir sebagai pembuktian atas ucapannya.

Tidak disangka oleh keduanya, sumpah itu langsung direspons pemilik langit, bumi dan seisinya. Tiba-tiba awan hitam berarak-arakan.

Dan tanpa basa-basi, petir menyambar keduanya. Serta-merta keduanya terbakar. Roboh ke tanah lalu menjemput ajal.

Sedangkan keluarga, kerabat dan tetangga dari Din dan Har waswas menunggu di rumah.

Mereka ingin menyusul ke sawah tetapi tidak bisa karena masih hujan lebat disertai petir.

Ditunggu-tunggu hingga sore, hujan tidak kunjung reda, akhirnya beberapa orang nekat pergi ke sawah untuk mencari tahu keberadaan keduanya.

Celakanya, di tengah perjalanan, petir kembali menyambar. Salah satu di antara mereka merenggang nyawa. Setelah hujan reda dan petir telah menuntaskan murkanya, warga berduyun-duyun datang menolong.

Namun para tetua justru mengecam tindakan gegabah itu. Para penolong itu dianggap tidak mengindahkan titi wanci.

 

Sehingga berakibat pada korban yang akhirnya tidak dapat diselamatkan. Orang Jawa memang memiliki perhitungan waktu tertentu yang dijadikan acuan dalam setiap melangkah.

Seperti ketika orang hendak menikah maka diperlukan perhitungan tanggal pernikahan yang baik. Begitu pula dengan waktu yang tepat dalam membangun rumah, memulai masa tanam, dan bahkan waktu yang tepat dalam menolong orang yang kena musibah. (Seperti dikisahkan Endang S. Sulistiya di Koran Merapi) *