Terungkap Suara Hati Presiden Sukarno Tolak Hasil Konferensi Meja Bundar, Ada Apa?

Konferensi Meja Bundar di Den Haag. (Dok: liputan6.com)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Kendati secara resmi disepakati oleh pihak Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda, diam-diam Bung Karno tak pernah sepakat dengan Perjanjian KMB.

Dikutip dari merdeka.com, pada 27 Desember 1949, secara resmi pemerintah Kerajaan Belanda 'menyerahkan' kedaulatan seluruh wilayah bekas jajahannya kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).

Awalnya sempat menimbulkan kegamangan dan keberatan dari beberapa kalangan tertentu di Belanda sendiri. Kehilangan Hindia Belanda memang bukan perkara mudah bagi orang-orang Belanda yang sudah ratusan tahun berkuasa di sana.

"Sebagai hiburan buat Belanda, Konferensi Meja Bundar (KMB) yang didominasi Amerika Serikat (AS), memberikan beban utang negara luar biasa besar kepada RIS," ungkap Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg dalam 'Indonesia Merdeka Karena Amerika?'

Dibebani utang Hindia Belanda yang begitu besar (4,5 Miliar Gulden), semula wakil-wakil kaum republik menolak keras syarat tersebut. Tetapi setelah wakil AS, H. Merle Cochran, meyakinkan bahwa bantuan ekonomi AS akan segera tiba setelah penyerahan kedaulatan itu, dengan berat hati para wakil Indonesia menyetujuinya.

"Muncul di benak para pemimpin Indonesia saat itu, terutama Hatta: yang terpenting jadi negara merdeka dulu, soal lain urusan belakang," ujar sejarawan Rushdy Hoesein dalam sebuah diskusi sejarah online bertajuk Perjanjian KMB: Kedaulatan RI atau Kedaulatan RIS yang diadakan oleh Lima Konsorsium Komunitas Sejarah (IDLC, Munasprok, Historika Indonesia, Sudut Kalisat dan Museum Sroedji) pada 27 Desember 2022.

Sukarno Tak Setuju dalam Diam

Selain soal utang tersebut, Indonesia juga dihadapkan pada situasi dilematis untuk menggabungkan diri dalam Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin Ratu Belanda. Pada akhirnya, desakan itu disetujui pula mengingat pihak Belanda dalam KMB tersebut tidak ingin lagi memberikan penawaran lain.

"Ya tentu saja, soal itu mau tidak mau disetujui pula oleh Presiden Sukarno," ungkap sejarawan Anhar Gonggong dalam acara yang sama.

Kendati demikian, secara pribadi, Sukarno sendiri merasa keputusan tersebut sangat tidak adil buat Indonesia. Menurutnya, Belanda telah berlaku tidak jujur dengan membebankan utang yang begitu sangat besar kepada bekas jajahannya yang segala sesuatunya masih terbelakang.

"Akan tetapi sebaliknya, mereka menyetujui untuk memberi pengakuan segera dan mutlak tanpa syarat terhadap kedaulatan Republik," ungkap Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (disusun oleh Cindy Adams).

Ketidaksetujuan diam-diam Sukarno terhadap hasil KMB juga terbuhul saat dirinya berdiskusi dengan Soetomo (lebih akrab dikenal sebagai Bung Tomo) pada suatu hari di tahun 1950. Bung Tomo yang merasa 'terpukul' dengan hasil KMB itu mendatangi langsung Sukarno di Istana Merdeka, Jakarta.

"Bukankah Bapak sependapat dengan saya bahwa Perjanjian KMB itu, khususnya status Uni-nya di mana kedudukan Bapak Presiden berada di bawah Ratu Belanda, amat menghina kita?" ujar Bung Tomo, seperti dituliskannya dalam buku Bung Tomo: Dari 10 November ke Orde Baru.

"Memang. Perjanjian KMB itu harus dihapuskan…" jawab Bung Karno.

Keluar dari 'Jebakan' KMB

Dalam pidato memperingati Hari Angkatan Perang pada 5 Oktober 1950, Sukarno malah menyebut KMB sebagai sebuah hal yang banyak mengandung pertentangan dan menimbulkan konflik batin (innerlijke tegenstellingen en conflicten). Dia juga mengkhawatirkan perjanjian itu hanya akan menjadi 'dinamit di bawah jembatan yang masih rapuh'.

"Ia diadakan untuk menyelesaikan pertikaian antara Indonesia dengan Belanda, tetapi ia sebaliknya berakhir dengan melahirkan pertikaian baru," ujar Bung Karno seperti tercatat dalam buku Bung Karno dan ABRI.

Keinginan Bung Besar untuk keluar dari 'jebakan' KMB baru mulai terwujud pada Maret 1956. Setelah membayar sekitar 4 Miliar Gulden. Indonesia secara sepihak membatalkan pemberlakuan Perjanjian KMB.

Keputusan radikal itu malah kemudian ditegaskan oleh pemerintah RI dengan menerbitkan UU No.13 Tahun 1956 yang berisi pembatalan secara sepihak seluruh kesepakatan KMB dengan Belanda, termasuk soal Irian Barat.***