Ini Dia Misteri Keterlibatan Sekelompok Perwira Muda dalam Peristiwa Malari

Peristiwa Malari. Perpustakaan Nasional©2022 Merdeka.com

JAKARTA (SURYA24.COM) - Peristiwa Lima Belas Januari 1974, ternyata tidak hanya didukung oleh para aktivis mahasiswa dan kaum oposisi, namun juga diamini oleh sebuah klik perwira muda di tubuh tentara. Benarkah?

Hari ini, tepat empat puluh sembilan tahun yang lalu, Jakarta diguncang kerusuhan paling banal setelah peristiwa demonstrasi mahasiswa tahun 1966 yang berhasil melengserkan Presiden Sukarno.

Dikutip dari merdeka.com, salam kejadian yang dikenal sebagai Peristiwa Malari (Lima Belas Januari) itu, diberitakan 807 mobil dan sekira dua ratus sepeda motor buatan Jepang hancur dan 114 bangunan dibakar massa. Akibatnya, 11 orang tewas, lebih dari seratus orang mengalami luka (17 di anataranya luka parah) dan 775 orang ditangkap.

"Sebanyak 160 kg emas dari berbagai toko di daerah pecinan (dari Pasar Senen hingga Glodok) amblas digondol orang," ungkap Jopie Lasut dalam Kesaksian Seorang Jurnalis Anti Orde Baru: Malari, Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal Orba.

Menurut Jopie yang terlibat dalam demonstrasi tersebut, Peristiwa Malari dilatari kenaikan harga beras dan kebutuhan pokok yang menjadikan rakyat marah. Klimaksnya terjadi saat Kakuei Tanaka (Perdana Menteri Jepang) berkunjung ke Jakarta pada 15 Januari 1974.

"Itu dijadikan momentum oleh para mahasiswa dan kaum oposan untuk melakukan aksi unjuk rasa anti modal asing," ujar Jopie.

Hingga kini, rangkaian aksi kekerasan yang mengiringi demonstrasi mahasiswa itu tak pernah terungkap secara hukum. Sejarah hanya mencatat, usai peristiwa itu sejumlah tokoh mahasiswa dan oposisi ditangkap lalu dijebloskan ke dalam penjara.

Mereka antara lain Hariman Siregar, Adnan Buyung Nasution, Darodjatun Kuntjorojakti, Sjahrir, Jusuf AR, Rahman Tolleng, J.C. Princen dan sejumlah tokoh intelektual lainnya.

Kelompok Perwira Muda

Namun tak banyak orang tahu, Peristiwa Malari melibatkan sekelompok perwira muda pimpinan dua orang letnan kolonel bernama Victor Hutabarat dan Mahfud. Bahkan menurut kesaksian Jopie, para perwira lulusan Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) itu sempat ditahan bersama para aktivis mahasiswa di Losmen Jaya, julukan para aktivis mahasiswa untuk sel tahanan yang ada di lingkungan Kodam V Jaya (Jakarta Raya).

Kelompok pimpinan Victor dan Machfud merupakan perwira-perwira muda yang menguasai hampir seluruh posisi strategis di lingkungan ABRI saat itu. Ketika masih menjadi taruna pada 1960, mereka ada di bawah asuhan komandan resimen yang kala itu dijabat oleh Letnan Kolonel Sayidiman Suryohadiprodjo, salah satu lulusan terbaik Akademi Militer Yogyakarta Angkatan pertama di era revolusi.

  1. baik itu terus terpelihara hingga Sayidiman berpangkat letnan jenderal dan menduduki posisi sebagai deputy Kasad. Bahkan disebutkan oleh Jopie, pada 1973, Sayidiman pernah mengumpulkan ratusan perwira lulusan Atekad di Hotel Duta Merlin, Jakarta. "Dia lantas mendapat tuduhan dari perwira-perwira pro Soeharto telah melakukan machtsvorming (penggalangan kekuatan) di tubuh Angkatan Darat," ungkap Jopie.

Para perwira muda seangkatan Letnan Kolonel Victor Hutabarat dan Letnan Kolonel Machfud dikenal sangat dekat dengan Sayidiman. Mereka pun menonjol karena cerdas, berani, penuh inisiatif dan kritis.

Karena itu saat terjadi Peristiwa Malari, kelompok tersebut diam-diam mendukung gerakan-gerakan yang dijalankan oleh para aktivis mahasiswa Jakarta. Dukungan itu lantas dijadikan hujah oleh para jenderal politis 'pimpinan' Ali Murtopo yang disebut David Jenkins sebagai kelompok inti di sekitar Presiden Soeharto, untuk menjatuhkan kelompok 'militer profesional' pimpinan Jenderal Soemitro, Wakil Panglima ABRI sekaligus Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkokamtib).

"Mereka adalah kaum 'militer profesional' terkemuka yang dipecat atau dipindahkan karena Peristiwa Malari 1974," ungkap Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia, 1975-1983.

Soemitro vs Ali Murtopo

Sedikit beruntung dibandingkan Soemitro yang langsung dipecat akibat keterlibatan dalam peristiwa itu, Sayidiman sendiri hanya 'dihukum' dengan memutasikannya sebagai Gubernur Lemhanas.

Sayidiman menolak keras tuduhan itu. Dia hanya tertawa saja ketika saya mengkonfirmasi soal tersebut dalam suatu wawancara di kediamannya pada 2019. Menurut Sayidiman, orang-orang yang melontarkan tuduhan itu sama sekali tidak paham.

Sebenarnya, katanya, bisa dikatakan dia tidak dekat dengan perwira Atekad lulusan 1960 itu. Bahkan saat menjabat sebagai komandan resimen taruna dia kerap 'bermasalah' dengan para perwira lulusan 1960 yang dianggapnya terlalu banyak campur tangan ke masalah internal para taruna di bawah mereka sehingga menyulitkan para komandan seperti dirinya.

  1. bahwa saya menggerakan sekelompok perwira muda yang dipimpin perwira lulusan tahun 1960 itu baru dituduhkan kepada saya setelah terjadinya Peristiwa Malari dan itu pun hanya berupa isu. Tidak pernah disampaikan kepada saya secara tegas." katanya. Bagi Sayidiman, Peristiwa Malari 1974 merupakan puncak persaingan politik antara Soemitro dengan Ali Murtopo. Dan faktanya, Soemitro sudah dikalahkan oleh Ali Murtopo.

"Memang Ali lihai sekali dalam operasi intelnya…" ungkap Sayidiman dalam otobiografinya, Mengabdi Negara Sebagai Prajurit TNI.***