Ini Dia Misteri Batu Batikam Peninggalan Kerajaan Minangkabau

(Foto/Dok. kebudayaan.kemdikbud.go.id)

PADANG (SURYA24.COM) -Terbuat dari batu andesit yang sangat keras, dan berwarna hitam. Sebuah batu dengan tinggi 55 cm, lebar 45 cm, dan tebal 20 cm, terlihat unik, karena memiliki lubang di salah satu bagian, seperti bekas tusukan.

    Dilansir dari sikamek.sumbarprov.go.id, batu berlubang tersebut, oleh masyarakat sekitar di sebut sebagai Batu Batikam, yang dapat diartikan secara harafiah sebagai batu tertusuk.

     Batu berlubang tersebut, berada di Dusun Tuo, Nagari Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar. Menempati lahan seluas 1.800 meter per segi, batu berlubang ini sekilas terlihat seperti sandaran tempat duduk.

    Tapi siapa sangka, tulis sindonews.com, batu berlubang yang terlihat sederhana itu, merupakan peninggalan Kerajaan Minangkabau, pada zaman Neolitikum. Di lokasi tempat batu berlubang tersebut berada, menjadi tempat untuk musyawarah para kepala suku, yang dikenal dengan sebutan Medan Nan Bapaneh. 

    Keberadaan batu berlubang tersebut, menjadi lambang tentang pentingnya perdamaian, serta musyawarah mufakat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Batu berlubang tersebut, dinaungi pohon beringin yang rindang dan sudah berumur ratusan tahun.

    Di laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, disebutkan, batu berlubang itu juga berkaitan erat dengan keberadaan tokoh Datuk Perpatih Nan Sabatang, dan Datuk Ketumanggungan dalam sejarah Minangkabau, sebagai pendiri dari dua keselarasan yaitu Bodi Caniago, dan Koto Piliang. 

    Dalam kisahnya, Datuk Parpatih Nan Sabatang, dan Datuk Ketumanggungan adalah dua saudara satu ibu lain bapak. Keduanya bukan Raja Minangkabau, melainkan sebagai pemimpin masyarakat dan penyusun kedua adat yang hidup dalam masyarakat Minangkabau sekarang ini, yaitu Adat Koto Piliang, dan Adat Bodi Caniago.

     Bagi masyarakat Minangkabau, Datuk Parpatih Nan Sabatang, dan Datuk Ketumanggungan martabatnya jauh lebih tinggi dari kedudukan seorang raja. Dalam laman kebudayaan.kemdikbud.go.id disebutkan, seorang ahli sejarah, Pitano menyebut, dari bait kedua prasasti pada bagian belakang arca Amogapasa, antara tokoh adat Datuk Perpatih Nan Sabatang, dengan tokoh Dewa Tuhan Parpatih yang tertulis pada arca itu adalah satu tokoh yang sama.

     Pada prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Parpatih, sebagai salah seorang terkemuka dari Raja Adityawarman yaitu salah seorang menterinya. Jadi tokoh Dewa Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di Padang. 

    Candi itu adalah sama dengan Datuk Parpatih Sabatang. Datuk Perpatih Nan Sebatang, merupakan salah seorang tokoh historis dalam sejarah Minangkabau, karena namanya juga tertulis pada salah satu prasasti sebagai peninggalan sejarah.

     Dikatakan dalam Tambo, bahwa sebagai tanda persetujuan antara Datuk Perpatih Nan Sabatang, dengan Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabatang menikamkan kerisnya kepada sebuah batu, hal ini sebagai peringatan bagi anak cucunya dikemudian hari.

      Sebelum peristiwa itu terjadi, kedua tokoh adat itu terjadi kesalah pahaman. Situs ini merupakan Medan Nan Bapaneh yang ditengahnya terdapat Batu Batikam. Medan nan bapaneh berupa susunan batu sandar yang terdiri dari batu sandar dan landasan untuk duduk.

     Susunan batu sandar tersebut diletakkan di tanah sehingga membentuk denah persegi. Batu sandar ini terbuat dari batu andesit. Batu tersebut telah mengalami sedikit pengerjaan.

     Faktanya Medan Nan Bapaneh, yaitu tempat duduk bermusyawarah dalam masyarakat Minangkabau yang sudah mulai berkembang pada zaman pra sejarah, khususnya di zaman berkembangnya tradisi menhir di Minangkabau, dan keadaan ini sudah berlangsung semenjak sebelum abad masehi. Ketika sekelompok nenek moyang telah menemukan tempat bermukim, yang pertama-tama ditetapkan atau dicari adalah suatu lokasi yang dinamakan gelanggang.

     Di gelanggang ini dilakukan upacara, yaitu semacam upacara selamatan untuk menghormati kepala suku atau pemimpin rombongan yang telah membawa mereka ke suatu tempat bermukim. Sebagai tanda upacara didirikanlah Batu Tagak yang kemudian kita kenal sebagai menhir.

     Batu Tagak ini kemudian berubah fungsi, sebagian menjadi tanda penghormatan kepada arwah nenek moyang, dan sebagian tempat bermusyawarah yang kemudian kita kenal dengan nama Medan nan Bapaneh. Prasasti Batu Batikam menjadi salah satu bukti keberadaan Kerajaan Minangkabau. Datuk Katumanggungan adalah Raja Kerajaan Bungo Satangkai yang berpusat di Sungai Tarab. 

    Sedangkan Datuk Perpatih Nan Sabatang adalah Raja Nagari Limo Kaum XII Koto dan IX Koto di Dalam. Keduanya merupakan raja di wilayah Minangkabau di zaman Neolitikum. Kedua raja ini berselisih paham soal penerapan sistem adat dalam pemerintahannya.

    Datuak Parpatiah menginginkan masyarakat diatur dalam semangat yang demokratis, atau dalam tatanannya. "Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi". Namun Datuak Katumanggungan menginginkan rakyat diatur dalam tatanan yang hierarki berjenjang sama naik, bertangga sama turun". 

    Karena perbedaan tersebut mereka berdua bertengkar hebat. Untuk menghindari pertikaian dan tidak saling melukai, dengan kesaktian Datuak Perpatih, dan Datuak Katumanggungan mereka kemudian menikam batu tersebut dengan keris sebagai pelampiasan emosinya.

     Maka dari itu Batu Batikam memiliki sebuah lubang yang menembus dari arah sisi depan dan belakang. Oleh kedua penerus kerajaan tersebut, Batu Batikam difungsikan sebagai medan nan bapaneh atau tempat bermusyawarah para kepala suku. Hingga saat ini, pendapat yang berbeda antara Datuk Parpatih nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan masih terlihat dari adanya dua keselarasan di Minangkabau, yakni keselarasan Koto Pilang, yang mencerminkan sistem kekuasaan ala Datuk Katumanggungan, dan keselarasan Bodi Chaniago yang merupakan perwujudan sistem pemerintahan ala Datuk Parpatih Nan Sabatang.***