Tradisi Ramadan di Pegunungan Papua Apa Itu? Begini Ulasannya

(Dok:Net)

JAKARTA (SURYA24.COM)-Islam pertama kali datang ke Papua, sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di ujung timur Indonesia, pada abad ke-15. Namun, sejarah Islam di Papua masih relatif tidak terdokumentasikan dengan baik. 

Meskipun begitu, pada awal abad ke-20, seorang tokoh Islam bernama Haji Muhammad Yusuf (lahir pada 17 Agustus 1884) datang ke Papua dan memulai dakwah Islam. Ia berasal dari Minangkabau dan telah belajar Islam di Mekah, Arab Saudi. Pada awalnya, Yusuf memperoleh sedikit dukungan dari penduduk asli Papua, namun dia tidak menyerah dan terus berjuang untuk menyebarkan Islam di wilayah tersebut.

Setelah beberapa tahun berkarya, Yusuf akhirnya berhasil mendirikan Masjid Al-Hamidiyah di Manokwari pada tahun 1934. Masjid tersebut dianggap sebagai masjid pertama di Papua dan hingga saat ini masih digunakan sebagai tempat ibadah umat Muslim di kota tersebut.

Setelah Yusuf, banyak tokoh Muslim lainnya yang datang ke Papua dan berjuang untuk menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Beberapa tokoh Islam terkemuka di Papua antara lain H. Abdul Karim Ongen, KH. Muhammad Arsyad Al-Banjari, dan H. Abdul Hamid Attamimi.

Sejarah Islam di Papua

  Sementara sumber lainnya menyebutkan bahwa sejarah Islam di Papua dimulai pada abad ke-17, ketika pedagang Arab dan India melakukan perdagangan dengan penduduk asli Papua. Mereka membawa ajaran Islam bersama mereka dan mulai menyebarkannya di wilayah tersebut. Namun, Islam tidak menyebar secara luas di Papua hingga beberapa abad kemudian, ketika misionaris Muslim memasuki wilayah ini dan mulai menyebarkan agama Islam secara aktif.

Salah satu tokoh Muslim awal yang dikenal di Papua adalah Haji Mursyid, seorang misionaris Muslim yang datang ke wilayah itu pada awal abad ke-20. Ia menjadi salah satu pengaruh penting dalam menyebarkan agama Islam di Papua, terutama di kota Jayapura dan sekitarnya. Setelah itu, agama Islam mulai menyebar ke seluruh wilayah Papua, terutama di daerah-daerah yang terletak dekat dengan Maluku dan Sulawesi.

Pada tahun 1962, Papua menjadi bagian dari Indonesia dan Islam menjadi salah satu agama yang diakui secara resmi di wilayah tersebut. Meskipun mayoritas penduduk Papua masih menganut agama Kristen, namun terdapat juga komunitas Muslim yang besar dan terus bertumbuh di wilayah tersebut.

Masyarakat Muslim di Papua

Masyarakat Muslim di Papua sangat beragam dan terdiri dari berbagai suku dan budaya yang berbeda-beda. Meskipun mayoritas penduduk Papua adalah orang asli, namun terdapat juga imigran Muslim dari berbagai wilayah Indonesia yang tinggal di Papua.

Sebagian besar masyarakat Muslim di Papua adalah petani, nelayan, dan pedagang kecil. Mereka hidup dengan sederhana dan mengikuti ajaran Islam dengan tekun. Mereka membangun masjid di setiap desa dan kota, dan mengadakan kegiatan keagamaan seperti sholat berjamaah, pengajian, dan perayaan hari besar Islam.

Peran Islam di Papua

Islam memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat Papua, terutama dalam hal memberikan bimbingan moral dan spiritual. Islam juga membantu masyarakat Papua dalam menghadapi tantangan kehidupan, seperti kemiskinan dan sebagainyak. 

Selain itu, Islam juga membantu memperkuat persatuan dan kesatuan masyarakat Papua dengan mempromosikan nilai-nilai toleransi dan menghormati keberagaman. Dalam hal ini, Islam berperan sebagai agen perdamaian yang penting di wilayah ini.

Tradisi Bakar Batu

Dikutip dari liputan6.com, muslim Papua di pegunungan tengah Papua banyak tersebar di Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya. Distrik Walesi menjadi lokasi penyebaran Islam pertama di pegunungan tengah Papua. Bahkan ajaran Islam dari Distrik Walesi telah menyebar ke sejumlah kabupaten di pegunungan tengah Papua, seperti di Kabupaten Yahukimo, Nduga, Yalimo.

   Puluhan anak-anak di sekitar Distrik Walesi banyak yang dititipkan pada Pondok Pesantren Al-Istiqomah Walesi yang berdiri sejak 1977.

Untuk mencapai Distrik Walesi ditempuh dengan 1 hingga 2 jam perjalanan darat. Jika ditempuh dengan antaran ojek, biasa dikenakan tarif Rp 50 ribu hingga Rp 70 ribu.

 

Pemandangan untuk tiba di Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya sangat indah, hamparan lembah dan gundukan bukit kecil-kecil yang hijau mampu menyegarkan pandangan mata siapapun yang melintas di daerah itu.

Suku Dani yang mendiami Lembah Baliem di Kampung Tulima, Distrik Walesi memiliki toleransi beragama yang tinggi.Saat Ramadan, Distrik Walesi biasa menggelar tradisi bakar batu yang merupakan tradisi budaya turun menurun di pegunungan tengah Papua.

Bedanya, tradisi bakar batu yang dilakukan muslim Papua, menu olahan daging babi diganti dengan daging ayam. Sementara untuk bahan lainnya, seperti umbi-umbian, sayur mayur dan tata cara bakar batu, secara keseluruhan sama seperti yang biasa dilakukan.

Abu Hanifah Asso, pemuda muslim setempat menyebutkan sejak adanya pandemi corona di Papua, muslim Papua di Distrik Walesi tak melakukan tradisi bakar batu.

“Kami mengikuti anjuran pemerintah, sehingga tak melakukan tradisi ini, guna menghindari kerumunan,” jelas Abu, Sabtu (9/5/20).

Bakar batu identik dengan kebersamaan, mengumpulkan banyak orang hingga makan bersama olahan dari bakar batu.  Tradisi bakar batu juga diibaratkan dengan ucapan syukur atas sebuah kelimpahan berkat atau kesuksesan sebuah peristiwa lainnya. Bakar batu juga identik memberikan makan kepada para tamu sebagai ikatan silaturahmi.

Biasanya saat Ramadan, bakar batu di Distrik Walesi dilakukan secara besar-besaran dengan mengundang pihak gereja dan warga kampung lainnya.

“Perayaan bakar batu untuk kali ini dihentikan sementara. Jika ada masyarakat yang merayakan bakar batu, biasanya hanya dilakukan per keluarga, tanpa besar-besaran dan tidak mengundang warga lainnya, guna pencegahan corona Covid-19” katanya.

 

 

Social Distancing di Distrik Walesi

Saat pandemi corona, warga muslim di Distrik Walesi beruntung, sebab hampir tak pernah bepergian ke Kota Wamena ataupun daerah lainnya. Hal ini sesuai dengan masyarakat setempat.

Kebanyakan warga di Distrik Walesi memiliki pekerjaan sebagai petani dan berkebun. Sehingga setiap harinya, masyarakat hanya berada di kebun. Jika pun harus menjual dagangannya di pasar, hanya dilakukan saat panen tiba. 

Pada Distri Walesi terdapat Pondok Pesantren Al-Istiqomah Walesi. Penghuni pondok juga sangat patuh dengan aturan dan mengikuti anjuran pemerintah dalam memutus rantai corona.

Masyarakat di Distrik Walesi telah diberikan pemahaman terkait pencegahan penyebaran corona. Walau begitu, mereka percaya akan perlindungan Tuhan.

“Bisa dikatakan masyarakat juga biasa saja jika mendengar kata corona. Mereka percaya, jika saatnya Tuhan memanggil mereka, ya memang harus seperti itu. Kata lainnya pasrah dan hanya percaya kehendak Allah,” jelas Abu yang saat ini menjabat sebagai anggta DPR Papua.

Walau begitu, warga di Distrik Walesi cukup patuh dengan anjuran pemerintah untuk mengindari kerumunan, menjaga jarak dan tetap berada di rumah. Termasuk tetap melakukan pekerjaan di kebun dan hanya beraktifitas di sekitar rumah.

“Kami bersyukur bantuan juga masih ada dari sejumlah pihak untuk membantu masyarakat dan adik-adik di pondok (pesantren). Ini semua patut disyukuri,” kata Abu. 

Pasca Pandemi

Dikutip dari kompastv.com, konflik antara TNI Polri dengan pihak Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua masih terus berlangsung. Rasa aman pun terancam. Meski begitu hal tersebut tak menyurutkan sejumlah warga di Bumi Cenderawasih khususnya umat Muslim untuk tetap menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan.

Bahkan sejumlah tradisi tetap dilakukan terutama tradisi menjelang buka puasa. Di Papua, komunitas muslim di sana ternyata punya tradisi yang dipertahankan secara turun temurun.

Bakar batu namanya. Tradisi yang sering dilakukan beberapa umat Islam khususnya yang berasal dari pegunungan Papua.

Melansir TribunPapua, tradisi bakar batu merupakan kegiatan memasak secara tradisional yang dilakukan suku-suku asli Papua yang berasal dari wilayah pegunungan tengah Papua.

Ritual bakar batu biasanya menggunakan hewan ternak berupa babi yang sudah pada umumnya dilakukan oleh masyarakat Papua.

Demi menjaga tradisi atau ritual tersebut, komunitas Muslim Papua tetap melakukan proses bakar batu.

Namun mereka memodifikasinya yakni hewan ternak berupa babi tersebut diganti dengan ayam atau hewan yang menurut agama Islam halal.

Kampung Mateor, Angkasa, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura, Papua adalah tempat di mana komunitas Muslim Papua bermukim.

"Kami tidak akan pernah melupakan adat dan budaya kami sebagai masyarakat pegunungan Papua untuk melakukan proses bakar batu. Karena proses bakar batu adalah untuk mempererat tali silahturahmi antara sesama," kata Michael Asso, di Jayapura, Sabtu (24/4/2021).

Ia mengatakan, Muslim Papua di Kota Jayapura sudah memasuki generasi keempat Firdaus Asso, pemuda asal Kampung Walesi, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, yang pertama kali hijrah ke Jayapura.

 

"Ini sebabnya, kami memberikan nama mushola ini dengan namanya untuk menghormatinya," ujarnya.

Menurutnya, acara bakar batu memang sering dilakukan saat hari-hari spesial.

"Acara Bakar Batu kerap diselenggarakan tiap menyambut sesuatu yang dianggap spesial seperti Ramadan tahun ini," katanya.

Michael menjelaskan, sebelum memulai proses bakar batu, pihak laki-laki menyiapkan tungku untuk membakar batu, sementara perempuan menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak dalam bakar batu, seperti ubi, singkong pisang ayam dan sayuran lainnya.

Hal serupa juga disampaikan Bunda Najwa Asso. Ia mengatakan, acara ritual Bakar Batu ini merupakan cara memasak makanan dengan menggunakan batu.

Sebelumnya, batu yang digunakan dipanasi lebih dulu dengan api, lalu digunakan sebagai pemanas bahan makanan yang akan dimasak.

Sebelum makanan dimasak dengan batu, dibuat lubang kira-kira berdiameter setengah meter dengan kedalaman 50 sentimeter.

"Nah, di dalam lubang itu, urutan pertama ditaruh ilalang yang diatasnya diletakkan batu yang telah dipanasi. Ilalang itu berfungsi sebagai alas batu yang panas, di atas batu ini diletakkan bahan makanan yang akan dimasak, seperti sayur, ubi-ubian, atau daging maupun ayam yang sudah dibersihkan," ujarnya.

Lalu, tambah dia, bahan makanan ditutup lagi dengan daun-daunan atau ilalang kembali. Ini agar uap panas dari batu tak keluar.Lamanya memasak dengan bakar batu berkisar dua hingga tiga jam.***