Mengapa Malam Satu Suro Dianggap Wingit? Berikut Sejumlah Tradisi di Keraton

dok net

JAKARTA (SURYA24.COM)-  Seperti tahu-tahunsebelumnya setiap menjelang malam 1 Suro 2022 menjadi bahan perbincangan warganet. Ya, seperti diketahui, malam 1 Suro juga bertepatan dengan malam 1 Muharram berdasarkan kalender Hijriyah.

Perayaan malam 1 Suro selalu berbeda setiap tahunnya karena menggunakan perhitungan kalender Jawa atau Hijriyah.

Bagi masyarakat Jawa, Tahun Baru Islam atau 1 Muharram yang disebut sebagai malam 1 Suro merupakan tanggal yang penting.

Dalam ajaran Islam, tahun baru Hijriyah adalah untuk memperingati peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah.

Namun, bagi masyarakat Jawa, malam 1 Suro dianggap sebagai malam yang sakral. Tahun ini, awal hari dalam tahun Hijriyah ini jatuh pada Kami 19  Juli 2023 Masehi.

Malam 1 Suro biasanya diperingati pada malam hari setelah terbenamnya matahari di ufuk barat.

Pandangan dalam masyarakat Jawa, hari ini dianggap keramat, terlebih bila jatuh pada jumungah legi (jumat).

Bagi sebagian masyarakat, pada malam 1 Suro dilarang untuk pergi ke mana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain.

Muncul beberapa mitos yang konon menjadi pantangan untuk dilakukan bagi sebagian masyarakat Jawa pada saat malam 1 Suro.

Melansir dari berbagi sumber, malam 1 Suro diyakini sebagai malam yang sangat suci dan sakral yang berkaitan dengan hal-hal mistis dan penuh misteri.

Berikut ini adalah mitos-mitos yang berhasil dirangkum KeduToday.com dari berbagai sumber.

1. Tak boleh mengadakan pesta perkawinan

Tradisi masyarakat Jawa sangat melarang bagi orang tua yang menikahkan anaknya pada malam pada bulan suro, terlebih malam 1 Suro.

Mereka percaya jika hal ini tetap dilakukan maka akan ditimpa kesialan bagi keluarga yang mengadakan hajat tersebut.

Namun beberapa masyarakat mengatakan bahwa hal ini hanyalah mitos belaka, mereka beralasan bahwa pesta malam 1 Suro akan membuat keratin menjadi sepi.

2. Tidak boleh pindah rumah

Ada hari yang disebut hari baik dan ada pula hari buruk ajaran tradisi jawa serta menurut primbon orang Jawa.

Sebagian orang percaya untuk tidak melakukan pindahan rumah saat malam satu suro karena dianggap bukan hari baik.

 

Meskipun menurut ajaran agama Islam, semua hari adalah sama dan baik.

3. Arwah leluhur kembali ke rumah

Sebagian masyarakat jawa pada masa lampau menanggapi datangnya pergantian tahun Hijriyah jauh lebih sakral lagi.

Banyak masyarakat Jawa yang meyakini saat malam 1 Suro, arwah leluhur yang telah meninggal dunia akan kembali dan mendatangi keluarganya di rumah.

Beberapa orang bahkan menambahkan bahwa pada malam 1 Suro arwah orang-orang yang menjadi tumbal pesugihan akan dilepaskan.

Mereka juga akan diberi kebebasan pada malam tersebut sebagai hadiah pengabdiannya selama setahun penuh.

4. Tidak boleh keluar rumah

Masyarakat Jawa sangat percaya jika malam 1 Suro dilarang untuk bepergian atau keluar rumah demi menghindari marabahaya.

5. Makhluk halus bergentayangan

Mitos yang paling menyeramkan adalah cerita banyaknya makhluk halus yang bergentayangan pada malam 1 Suro.

 

Hal ini berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Jawa yang mempercayai bahwa malam 1 Suro adalah hari raya para makhluk gaib.

Mereka akan keluar pada malam yang sakral dan dikeramatkan itu ke dunia untuk mengganggu para manusia yang ditemuinya.

Tradisi Malam 1 Suro di Mangkunegaran

Mengutip intisarionline.com, ada sejumlah tradisi Malam 1 Suro di Mangkunegaran. Mulai dari Kirab Pusaka Dalem hingga jamasan.

Dalam menyabut Malam 1 Suro nanti, Pura Mangkunegaran Surakarta berencana akan mengundang Presiden Jokowi.

1 Suro sendiri akan jatuh pada Selasa, 18 Juli 2023.

Rencana mengundang Presiden Jokowi disampaikan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X.

Tak hanya Presiden Jokowi, Mangkunegara X juga akan mengundang Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

Apa saja tradisi Malam 1 Suro di Pura Mangkunegaran?

Satu Suro merupakan hari pertama dalam kalender Jawa yang disambut masyarakat Jawa dengan beragam kegiatan pada malam hari sebelumnya.

 

Masyarakat Jawa menganggap Suro sebagai bulan sakral.

Salah satu kegiatan yang dilakukan saat Malam 1 Suro di Mangkunegaran adalah Lelaku, yaitu kegiatan untuk mengendalikan hawa nafsu dengan hati yang benar-benar ikhlas.

Hal tersebut dilakukan agar seseorang mencapai ketenangan hidup di dunia dan di akhirat.

Lelaku dapat dilakukan di puncak gunung, makam leluhur atau wali, goa, tepi laut, dan lain-lain.

Di Pura Mangkunegaran, pada Malam 1 Suro akan diadakan Kirab Pusaka dengan mengelilingi tembok luar sebanyak satu kali.

Pesertanya adalah keluarga Mangkunegaran, sentono, narapraja, abdi dalem, dan kerabat besar Mangkunegaran, serta masyarakat luas.

Kirab Pusaka bukanlah sekadar parade untuk bersenang-senang, tetapi merupakan kegiatan penuh makna.

Sebab, seluruh peserta tidak boleh melakukan pembicaraan (tapa bisu) yang dimaknai sebagai pencegahan untuk mengontrol pembicaraan yang berawal dari mulut, agar tidak menimbulkan fitnah bagi orang lain.

 

Saat kirab juga tidak diperkenankan menggunakan celana atau selop, sebagai makna bahwa kita selalu berhubungan dengan bumi atau duniawi dan manembah kepada Yang Kuasa dalam keadaan suci. Kirab Pusaka Dalem dilakukan setiap tahun.

Tradisi perayaan Satu Suro lainnya yang dilakukan di Pura Mangkunegaran adalah jamasan pusaka atau mencuci benda pusaka.

Jamasan pusaka merupakan tradisi untuk merawat atau memetri warisan dari para leluhur.

Pusaka itu sendiri mengandung banyak makna karena merupakan buah hasil karya cipta yang memiliki falsafah kehidupan, kearifan, sumber inspirasi, dan motivasi kehidupan.

Jamasan pusaka mencakup sejumlah barang, termasuk tombak karena benda pusaka tidak hanya keris.

Baru Dilaksanakan Di Masa Orde Baru

Tak banyak yang tahu, kirab pusaka yang dilakukan di Keraton Mataram Surakarta tiap Malam 1 Suro ternyata belum lama dilakukan.

Artinya, tradisi ini ternyata belum dilakukan pada masa Sultan Agung, pencetus Penanggalan Jawa.

 

Begitu kata Tunjung W Sutirto, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS).

Selain kirab pusaka, ada sejumlah ritual juga mitos yang dipercaya masyarakat Jawa, khususnya di lingkungan Keraton Mataram Surakarta, menyambut Malam 1 Suro.

Salah satu mitos itu adalah pensakralan 1 Suro.

Malam satu Suro umumnya diperingati pada malam hari setelah Maghrib sehari sebelum tanggal 1 Sura atau 1 Muharam.

Menurut Tundjung, perkembangan mitos malam satu Suro terjadi secara akumulatif.

Mitos ini berawal dari pensakralan yang dilakukan masyarakat Jawa terkait penggabungan kalender Islam dan Jawa (Hindu) sebagaimana asal-usul malam satu Suro.

"Jadi momentum penanggalan yang digaungkan itu diyakini sebuah momentum yang istimewa sehingga masyarakat menganggap malem Suro adalah sakral karena adanya penggabungan itu akan menentukan perhitungan (dalam bahasa Jawa: petangan)," jelasnya.

 

Dia menambahkan, sifat sakral itulah yang menuntun masyarakat Jawa sebagai pendukung budaya "meluhurkan" sebuah pergantian tahun dengan "laku spiritual".

Dari situ, muncul mitos untuk tidak bepergian jauh tanpa tujuan, tidak menyelenggarakan pernikahan, tidak pindah rumah, dan tidak keluar rumah.

"(Itu) mitos yang mensakralkan pergantian tahun baru Jawa," kata Tundjung dilansir intisari online.com.

Perkembangan mitos tidak dapat disebut sebagai momentum, kata Tundjung.

Menurutnya, mitos itu berkembang secara akumulatif, yaitu dalam makna sesuai konteks zamannya oleh pemangku kebudayaan.

"Kalau dicari mulai kapan tentu sejak Sultan Agung menciptakan penggabungan kalender Saka dengan Islam pada Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555," kata Tundjung.

"Ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M."

 

Dia mencontohkan, tradisi kirab pusaka di Keraton Surakarta yang digelar setiap malam satu Suro bukan merupakan tradisi yang berlangsung sejak kerajaan Mataram ada.

Tradisi kirab pusaka di Keraton Surakarta baru terjadi pada 1974.

Ketika itu Presiden Soeharto meminta kepada Paku Buwono XII untuk melakukan kirab pusaka dengan tujuan agar bangsa Indonesia terhindar dari bencana.

Kendati demikian, semua mitos yang berkembang dan diyakini orang Jawa substansinya adalah pengendalian diri.

"Semua mitos tentang malem Suro adalah pantangan untuk bersenang-senang. Tuntunan yang diwarisi dari para leluhur adalah sebuah cipta rasa dan karsa bagaimana terjadinya penanggalan Jawa yang merupakan penggabungan kalender Islam dengan Jawa (Hindu)," kata Tundjung.

Kenapa malam satu Suro tidak boleh keluar, Tundjung menjelaskan, itu juga merupakan salah satu mitos yang diyakini masyarakat Jawa.

"Itu juga sebuah mitos. Disarankan lebih baik tidak keluar rumah jika tidak perlu," kata Tundjung.

Legitimasinya adalah, kalau keluar rumah akan sial karena diyakini akan bertemu dengan pasukan dari Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan) yang tengah menuju ke keraton atau ke Gunung Merapi.

"Zaman dahulu setiap malem Suro auranya mistis karena berbagai mitos pantangan keluar rumah itu," ungkap Tundjung.

Namun, mitos ini justru berbanding terbalik dengan tradisi keraton yang menggelar kirab di tengah malam hari.

Menurut Tundjung, tradisi ini ada kaitannya dengan perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Abiproyo, yaitu perjanjian antara Panembahan Senopati dengan Nyai Roro Kidul.

Disebutkan bahwa Nyai Roro Kidul akan membantu kerajaan Mataram dari musuh.

"Maka, ketika masyarakat Jawa malam Suro itu ke keraton dianggap sebagai kawula Mataram yang akan terlindungi dari marabahaya dibandingkan jika hanya keluar rumah tanpa tujuan," tandas Tundjung.***