Mengulas Sejarah Panjang Gerakan Buruh Mulai dari Masa Kolonial, Orla dan Orba

Ilustrasi (Dok:Net)

JAKARTA (SURYA24.COM)- Pergerakan buruh di Indonesia telah memainkan peran penting dalam membentuk kondisi sosial, ekonomi, dan politik negara ini. Dalam artikel ini, kita akan melihat sejarah pergerakan buruh, tantangan yang dihadapi, serta perjuangan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja di Indonesia.

Sejarah Pergerakan Buruh di Indonesia:

Pergerakan buruh di Indonesia memiliki akar yang kuat dalam perjuangan melawan penjajahan kolonial. Pada awal abad ke-20, organisasi serikat buruh mulai muncul dengan tujuan melindungi hak-hak pekerja dan memperjuangkan kondisi kerja yang lebih baik. Salah satu organisasi terkemuka adalah Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), yang didirikan pada tahun 1973 sebagai wadah bagi pekerja Indonesia.

Tantangan yang Dihadapi oleh Pergerakan Buruh:

    a. Perlindungan Hak Buruh: Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh pergerakan buruh adalah perlindungan hak-hak pekerja. Masalah seperti upah yang tidak adil, jam kerja yang berlebihan, keselamatan dan kesehatan kerja yang buruk, dan diskriminasi di tempat kerja masih menjadi isu yang perlu diatasi.

    b. Kontrak Kerja Fleksibel: Adopsi kontrak kerja fleksibel telah menjadi tantangan lain bagi pergerakan buruh. Kontrak kerja fleksibel cenderung merugikan pekerja dengan memberikan perlindungan yang lebih rendah dan keamanan kerja yang lebih minim.

    c. Hak Asosiasi dan Serikat Buruh: Beberapa peraturan dan praktik di Indonesia masih membatasi hak pekerja untuk membentuk serikat buruh dan melakukan aksi mogok. Pelarangan atau pembatasan ini menghambat kemampuan pergerakan buruh untuk berorganisasi dan memperjuangkan hak-hak mereka.

Masa Kolonial

Buruh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang bekerja untuk menerima upah. Pada masa kolonial, apa yang kita sebut sebagai serikat buruh sekarang ini lebih dikenal sebagai kelompok atau sarekat kerja. Munculnya kesadaran membentuk suatu kelompok yang terstruktur, tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor yang menjadi api pemantiknya. 

Dikutip dari kompas.com, faktor mendasar munculnya kelompok buruh atau sarekat sekerja salah satunya adalah akibat dari Perang Jawa yang berlangsung abad ke-19. Kekalahan pasukan Pangeran Diponegoro dalam perang besar tersebut mengakibatkan hilangnya sepertiga masyarakat Jawa. Mayoritas sisanya adalah kaum petani.

 Sejalan dengan kondisi itu, pemerintah kolonial memberlakukan kebijakan tanam paksa (Cultuurstelsel) tahun 1830 yang semakin membentuk kesadaran senasib. Kesadaran senasib ini semakin menguat tatkala pemerintah kolonial memberlakukan kebijakan politik Pintu Terbuka tahun 1870, yang mengundang para pengusaha swasta asing. 

Berkat kebijakan ekonomi terbuka tersebut, banyak swasta asing mendirikan pabrik-pabrik dan industri perkebunan yang melibatkan pribumi sebagai tenaga pekerjanya. Pada fase ini, para pekerja pribumi berangsur menyadari kesamaan status sosialnya. Mereka kemudian mendirikan kelompok-kelompok kecil yang umum dikenal serikat pekerja. Hampir setiap pabrik atau industri asing, punya kelompok kerja yang beranggotakan para pekerja pribumi khususnya. Serikat Sekerja pada masa Pergerakan Nasional Pada tahun 1912, 

Organisasi Sarekat Dagang Islam telah berkembang pesat dan berganti nama menjadi Sarekat Islam. Sarekat Islam kala itu menjadi tolak ukur atau patokan gerakan-gerakan para petani dan pekerja pabrik dalam panji-panji Sarekat Islam lokal. Titik perkembangan pesatnya lagi adalah ketika datangnya seorang Marxis belanda Bernama Henk Sneevliet ke Surabaya pada tahun 1914. 

Henk Sneevliet kala itu mendirikan sebuah organisasi Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang mewadahi para pekerja tanpa membedakan ras dan etnis. Organisasi ini kemudian dipindahkan ke Semarang setelah Henk berkenalan dengan Semaun yang kala itu menjabat sebagai ketua Sarekat Sekerja Kereta Api dan Sarekat Islam Semarang. Berkat dukungan Sarekat Islam Semarang, 

ISDV berkembang pesat yang ditandai dengan banyaknya organisasi Sarekat Sekerja yang lahir dan terafiliasi dengan Sarekat Islam. Pada tahun 1919, sekitar 44 organisasi Sarekat Sekerja yang berhaluan modern telah bergabung dalam vak Sentral Pergerakan Kaum Buruh Bumiputera di bawah naungan Sarekat Islam.

Adanya kelompok-kelompok serikat pekerja atau buruh ini melahirkan cara pandang baru bagi para pekerja dalam melayangkan gerakan protes terhadap majikannya. 

Mogok Kerja sebagai Media Protes

 Mogok dan perundingan kala itu merupakan cara baru yang dilakukan kelompok buruh yang mana sebelumnya mereka cenderung menggunakan kekerasan. Di antara kelompok buruh yang mengadakan mogok kerja kala itu adalah buruh pabrik gula yang tergabung dalam Personeel Fabriek Bond (PFB) yang berjumlah 190 kelompok. Pemogokan itu ditengarai oleh kenaikan untung dua kali lipat yang didapat pabrik gula akibat naiknya harga gula global tahun 1919-1920, namun melupakan nasib gaji rendah buruhnya

. Apa yang dilakukan oleh pemilik pabrik ini kemudian ditentang oleh para buruh pabrik gula dengan cara mogok kerja serentak. Mereka para buruh pabrik gula meminta adanya dialog atau perundingan dengan pemilik pabrik dalam menyelesaikan permasalahan yang dialami buruh akibat ketidakadilan pabrik. Perkembangan gerakan kaum buruh di Indonesia khusus pada fase separuh awal abad ke-20 tidak sekadar ditandai dengan banyaknya kelompok sarekat sekerja. Perkembangan organisasi buruh di Indonesia juga diiringi dengan perkembangan ideologi organisasi yang berhaluan Marxis. Titik puncaknya adalah upaya-upaya kaum buruh yang terdoktrin Marxis yang bergerak ke arah hajat pendirian suatu negara sendiri. Hal ini tentu melahirkan pergolakan dalam organisasi-organisasi politik yang ada pada masa Pergerakan Nasional seperti dari kaum nasionalis.

Pada fase ini, Kelompok buruh bukan lagi sekedar wadah buruh pekerja, melainkan juga wadah ideologi dan gerakan politik.

Masa Orde Lama

Dikutip dari kompas.com, setelah peristiwa Madiun 1948, gerakan kaum buruh mengalami kemunduran popularitas dan kepercayaan di masyarakat. Organisasi buruh di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi bulan-bulanan para serikat buruh lainnya. Seperti Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM) miliknya PNI, 

Serikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI), dan lain sebagainya. Gerakan yang diupayakan oleh kaum buruh Indonesia di bawah naungan Front Demokrasi Rakyat (FDR) milik PKI, mengalami kemunduran setelah disahkannya perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). 

Dampak Konferensi Meja Bundar yang ditandatangani pada tahun 1949 itu memuat poin-poin kesepakatan antara Indonesia dan Belanda termasuk yang berkaitan dengan apa yang diperjuangkan oleh buruh Indonesia. Dalam perjanjian tersebut, pihak Indonesia harus mengembalikan lagi perusahaan-perusahaan yang telah dinasionalisasi sebagaimana yang dilakukan oleh kaum buruh. Artinya, poin penting yang direalisasikan oleh kaum buruh yaitu mematikan kaum kapitalis asing juga sia-sia dengan kembalinya lagi mereka melalui perjanjian KMB tersebut. Meskipun apa yang diusahakan oleh kaum-kaum buruh Indonesia mengalami kesian-sian, manuver perjuangannya tetap berjalan.

Para Founding Fathers menyadari bahwa kembalinya Belanda ke Indonesia juga berarti menyambung kembali penjajahan. Karena itu, meskipun PKI dan buruh Indonesia memiliki catatan hitam setelah Peristiwa Madiun 1948, mereka diperbolehkan lagi melanjutkan gerakannya. PKI diberi lagi kepercayaan oleh Soekarno untuk menaungi para buruh Indonesia dalam hal menggoyang perekonomian dan politik yang terpengaruh kapital asing. 

Dalam rentang 1950-1965, buruh Indonesia mendapat tempat yang luas dalam pers nasional. Baca juga: Pergerakan Buruh Indonesia Gerakan-gerakan yang diinisiasi oleh kaum buruh Indonesia memberi dampak yang besar bagi kondisi perekonomian Indonesia khususnya bagi kaum pekerja.

 Misalnya organisasi Serikat Buruh dan Pekerja Republik Indonesia (SARBUPRI). Serikat itu menyalurkan pekerja di perusahaan-perusahaan perkebunan. Mereka memperolehlebih dari 100.000 anggota di Sumatera Timur, dan mampu menaikkan upah buruh perkebunan hingga 3.000 persen. Secara umum organisasi buruh-buruh Indonesia melalui gerakannya mencapai lebih dari satu juta orang. Mereka juga telah berhasil membuat perusahan asing di Indonesia yang tak mampu memenuhi tuntutan, bangkrut karena buruhnya mogok.

 Di Kalimantan Timur, perusahaan tambang migas milik Belanda- Inggris, N.V. Bataafsche Petroleum Maatschappij-Shell (BPM-Sheel), berhasil dibeli Indonesia dengan harga murah. Hal ini tentu berkat gerakan buruh di sana yang membuat perusahaan bangkrut sehingga dijual kepada pemerintah Indonesia.

Lebih jauh lagi, para buruh-buruh di perusahaan menjadi rebutan para partai politik untuk menjadi ujung tombak melancarkan gerakan menjatuhkan perusahaan. Gerakan ini dilakukan oleh para buruh melalui penekanan, intimidasi, sabotase, dan pemogokan yang ditujukan untuk meraih keuntungan bagi anggotanya. Partai-partai politik yang berafiliasi kepada organisasi buruh kala itu memberi dampak besar bagi arah gerak buruh di Indonesia. 

Oleh karena itu, sebagian besar buruh kala itu tidak memiliki kesadaran tentang kelas sosial, melainkan kesadaran etnis dan golongan. Mereka menilai bahwa para majikannya bukanlah musuhnya. Justru mereka berterima kasih kepada para pemilik kapital karena telah menghidupi mereka. Kebanyakan para buruh tidak meyakini bahwa kemiskinan yang menimpa mereka itu juga disebabkan oleh geliat kapital asing. Mereka yakin bahwa kesusahan hidup adalah nasib, oleh karenanya peran partai penting dalam membangun arah gerak kaum buruh.

Dalam perkembangannya, kaum buruh memiliki pandangan yang luas terhadap perpolitikan. Hal ini dapat dilihat dari PKI sebagai basis kaum buruh yang masuk dalam empat partai besar pada tahun 1955. Kala itu, PKI sebagai partai basis buruh bersaing dengan tiga partai besar lainnya, yaitu Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Masyumi, dan NU.

 Ruang politik kaum buruh semakin terbuka lebar tatkala Soekarno membubarkan partai Masyumi tahun 1959 dan mendeklarasikan Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM) sebagai ideologi bangsa. Namun manuver politik yang dilakukan oleh PKI yang beranggotakan kaum buruh ini juga tidak berlangsung lama, tepatnya setelah terjadinya peristiwa G30S. Peristiwa itu membuat gerakan para buruh yang terbesar kala itu lenyap. Aktivis buruh dan PKI dibantai secara habis-habisan oleh Soeharto, serta dibubarkan dan dilarang.

Masa Orde Baru

Sementara itu, seperti dilansir kompas.com, gerakan buruh Indonesia yang terstruktur dalam naungan Partai Komunis Indonesia, hancur bersamaan dengan penumpasan dan pembubaran PKI tahun 1965-66. Runtuhnya politik kaum buruh di bawah naungan PKI tersebut disambut dengan positif oleh negara-negara berhaluan kapitalis. Hubungan ekonomi mulai terbuka dan mengakomodasi investasi. Tahun 1967 tanggal 10 Januari, 

Pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Di samping itu, pada tanggal 19 Januari, pemerintah Indonesia membentuk Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing. Baca juga: Sejarah Masa Orde Baru (1966-1998) Sebagai buntut dari pertemuan Tokyo 1966, melalui Amsterdam Meeting tahun 1967 didirikanlah Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), lembaga pemberi pinjaman. 

Dua faktor tersebut kemudian melahirkan program ekonomi besar bagi Indonesia dengan membuka kawasan-kawasan industri. Dibukanya kawasan-kawasan industri baru ini tentunya akan melibatkan para buruh yang akan menjadi tenaga kerjanya. Karena itu pula, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI) yang didukung oleh Friedrich-Ebert-Stiftung (FES), sebuah Lembaga bentukan Partai Demokrat-Sosial Jerman, menyelenggarakan seminar tentang buruh. Hasil dari seminar ini nantinya memberi dampak mendasar tentang perubahan nasib arah gerak organisasi buruh di Indonesia. 

Seminar yang diselenggarakan oleh YTKI pada tanggal 21-28 Oktober 1971 melahirkan upaya pembentukan ulang organisasi buruh tunggal tingkat nasional. Rumusan dalam mendirikan organisasi buruh tunggal tersebut sebagai berikut. Gerakan buruh harus seratus persen lepas dari pengaruh politik mana pun, Tidak boleh menggantungkan dana dari luar organisasi, dan pemungutan iuran harus melalui pemeriksaan keuangan, Fokus gerakan buruh bertumpu pada isu sosial dan ekonomi, 

Serikat-serikat buruh yang telah ada harus ditata ulang, Perombakan struktur buruh, dan setiap lapangan pekerjaan hanya boleh ada 1 organisasi buruh, yaitu Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan (SBLP). Sebagai bentuk realisasinya, didirikanlah Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang diketuai oleh Agus Sudono pada tanggal 20 Februari 1974.

 Penyatuan buruh dalam organisasi tunggal belum serta merta terlaksana seratus persen. Sebab masih ada pembaruan peraturan yang mengatur tentang pendaftaran serikat buruh. Diterbitkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Koperasi No. Per./01/Men/1975, membuat secara otomatis peraturan pendaftaran serikat buruh terdahulu tidak berlaku.

Peraturan baru ini mengatur syarat-syarat pendaftaran serikat buruh. Di antaranya harus memiliki pengurus setidaknya di 20 daerah tingkat I dan anggota minimal 15 buruh. Baca juga: Sejarah Panjang Hari Buruh Sedunia dan di Indonesia Untuk mengantisipasi gerakan buruh yang terlalu radikal seperti pada masa Soekarno, maka diperkenalkan ideologi Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP).

 Ideologi yang telah muncul sejak 1966 ini ditekankan kembali melalui seminar nasional Hubungan Perburuhan Pancasila yang diselenggarakan pada tanggal 4-7 Desember 1974. Dalam seminar tersebut melahirkan prinsip baru terkait hubungan antara buruh dan perusahaan yang berbalik dari masa sebelumnya, sebagai berikut. Prinsip rumongso handarbeni (merasa memiliki) Prinsip melu hangrukebi (ikut memajukan dan mempertahankan) Prinsip mulat sarira hangroso wani (berani introspeksi diri) Lahirnya prinsip-prinsip baru tersebut tentunya mempengaruhi hubungan antara buruh dan pengusaha yang dulunya antagonis, kini menjadi keluarga. 

Tahun 1985 terjadi lagi perombakan dalam organisasi buruh tunggal dengan mengganti FBSI menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Hal ini didasari keinginan Soeharto yang merasa sudah tidak cocok dengan ketua FBSI, Agus Sudono, yang mulai sulit dikondisikan. Tidak hanya itu, HPP juga digantikan menjadi Hubungan Industrial Pancasila, perubahan istilah buruh menjadi pekerja atau karyawan, dan perubahan lainnya.

 Namun, pada dasarnya apa yang telah diusahakan oleh Soeharto dalam mengotak-atik organisasi buruh, tidak berdampak banyak dalam menyelesaikan permasalahan buruh di Indonesia. Kekerasan dan eksploitasi buruh masih berlangsung yang dikendalikan melalui tangan-tangan besi di bawah rezim Soeharto. Baca juga: 

Sejarah Hari Buruh Internasional yang Dirayakan Setiap 1 Mei Prinsip-prinsip yang lahir dari seminar HPP tidaklah direalisasikan dengan seksama, faktanya aksi para buruh tidak diselesaikan dengan cara kekeluargaan, melainkan dengan kekerasan. Berkali-kali aksi pemogokan kerja para buruh sebagai bentuk protes untuk menerima perlakukan yang layak sebagai tenaga kerja, disikapi oleh militer dengan kekerasan.

 Misal aksi yang dilakukan oleh karyawan PT. Catur Putra Surya yang berkaitan dengan pembunuhan seorang karyawan wanita bernama Marsinah dan PHK bagi 13 karyawan lain. Di antara tuntutan para aksi massa buruh pabrik yang berlangsung di Indonesia tidak jauh dari tuntutan kenaikan upah yang memang minim kala itu. Pada tahun 1987, upah buruh di Indonesia berada di angka terendah di antara 50 negara yang disurvei oleh Lembaga Warner International Management Consultants. 

Harga buruh yang murah kala itu memang dijadikan oleh pemerintah Indonesia untuk menarik minat para investor asing. Karena itu, dalam perkembangannya hingga lengsernya Soeharto tahun 1998, banyak peristiwa-peristiwa kekerasan yang menimpa kaum buruh yang memperjuangkan nasib hidup layak mereka sebagai pekerja.

Kesimpulan:

Pergerakan buruh di Indonesia telah berperan penting dalam memperjuangkan hak-hak pekerja dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan seperti perlindungan hak buruh yang belum memadai, kontrak kerja fleksibel, dan pembatasan hak asosiasi, pergerakan buruh terus berjuang melalui aksi mogok, demonstrasi, negosiasi, advokasi, dan peningkatan kesadaran.

Perjuangan buruh tidak hanya berdampak pada pekerja individu, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Penegakan hak-hak pekerja yang adil dan kondisi kerja yang layak berkontribusi pada stabilitas sosial, ekonomi, dan politik negara.

Penting bagi pemerintah, perusahaan, dan masyarakat untuk mendengarkan suara buruh, memperhatikan aspirasi mereka, dan bekerja sama untuk mencapai sistem kerja yang adil, yang memenuhi kebutuhan dan hak-hak pekerja. Hanya dengan kolaborasi yang baik antara semua pihak, dapat tercipta lingkungan kerja yang sehat, aman, dan adil, serta kesejahteraan yang lebih baik bagi seluruh pekerja di Indonesia.***