Masih Belum Percaya dengan Kiamat? Berikut Belasan Ribu Ilmuwan Beberkan Bukti Ilmiah Bumi di Ambang Kehancuran

Ilustrasi (Dok:Net)

JAKARTA (SURYA24.COM)- Kiamat, kata yang penuh dengan teka-teki, ketakutan, dan tanda tanya besar bagi umat manusia. Sejak zaman kuno, kehadiran kiamat telah menjadi subjek perbincangan, mitos, serta cerita dari berbagai kepercayaan dan agama. 

Menurut banyak agama, kiamat adalah akhir dari sebuah peradaban, di mana kehidupan manusia di dunia ini akan berakhir. Tetapi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kiamat?

Secara etimologi, kata "kiamat" berasal dari bahasa Arab yang berarti "hari kebangkitan" atau "hari pembalasan". Dalam banyak agama, kiamat dianggap sebagai titik akhir dari waktu, di mana akan terjadi kebangkitan jiwa, perhitungan amal perbuatan, dan penentuan nasib akhir manusia. Al-Qur'an dalam agama Islam, Kitab Suci bagi umat Muslim, menjelaskan dengan rinci tentang kejadian dan tanda-tanda kiamat.

Namun, konsep kiamat tidak hanya ada dalam agama Islam. Dalam agama-agama lainnya seperti Kekristenan, Yahudi, Hindu, dan Buddha, terdapat keyakinan akan suatu bentuk akhir dari zaman yang dikenal sebagai kiamat. Meskipun terdapat perbedaan dalam detail dan pandangan tentang bagaimana kiamat terjadi, konsep dasarnya sering kali mencakup kehancuran, kebangkitan, dan penilaian terhadap kehidupan manusia.

Bukti Ilmiah 

Pada tanggal 21 Januari 2023, sebuah makalah berjudul "A Warning to Humanity" diterbitkan dalam jurnal BioScience. 

Tanda Kiamat yang Dijelaskan dalam Al-Quran dan Sains Makalah ini ditandatangani oleh lebih dari 15.000 ilmuwan dari 161 negara, termasuk para ahli iklim, biologi, dan kesehatan masyarakat. 

Dalam makalah tersebut, para ilmuwan memperingatkan bahwa kehidupan di Bumi sedang terancam dan bergerak makin cepat menuju " Kiamat ". 

Mereka menyatakan bahwa perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi sedang menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada planet ini. 

Belasan ribu ilmuwan tersebut memperingatkan bahwa kehidupan di Bumi sedang terancam dan bergerak makin cepat menuju 'kiamat'. 

"Selama beberapa dekade, para ilmuwan secara konsisten memperingatkan masa depan yang ditandai dengan kondisi iklim ekstrem karena meningkatnya suhu global yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang melepaskan gas rumah kaca berbahaya ke atmosfer," tulis makalah tersebut dilansir sindonews, Jumat (3/11). Dalam sebuah pernyataan, peneliti pascadoktoral Oregon State University (OSU) dan salah satu penulis utama studi Christopher Wolf menyampaikan makalah tersebut sambil mengungkap strategi mitigasi yang besar. 

"Kita sedang menuju potensi runtuhnya sistem alam dan sosial-ekonomi dan dunia dengan panas yang tak tertahankan dan kekurangan sumber daya alam, makanan dan air bersih," kata Wolf. 

Dalam studi tersebut, postdoc OSU dan 11 rekan penulis lainnya memasukkan banyak poin data mengejutkan yang menunjukkan bahwa pada tahun 2023, banyak rekor iklim dipecahkan dengan margin yang sangat besar. Para penulis menunjuk secara khusus seperti musim kebakaran hutan Kanada yang sangat aktif tahun ini. Peneliti mengatakan bahwa kejadian ini menunjukkan titik kritis menuju rezim kebakaran baru, yang bisa dibilang merupakan salah satu kalimat akademis paling menakutkan yang pernah ditulis. 

Profesor kehutanan terkemuka di OSU, William Ripple, yang merupakan salah satu penulis penelitian ini, menambahkan bahwa tahun ini telah membawa pola yang sangat mengkhawatirkan. Pola tersebut tentu bukan kabar yang menggembirakan, sebab manusia hanya berbuat sedikit untuk memperbaiki keadaan. "Kami juga hanya menemukan sedikit kemajuan yang bisa dilaporkan terkait upaya umat manusia dalam memerangi perubahan iklim," kata Ripple dalam pernyataannya. 

Seperti banyak ilmuwan sebelumnya, 12 penulis studi dan ribuan penandatangan studi tersebut tidak hanya menunjuk pada industri bahan bakar fosil yang sangat berpolusi. 

Tetapi juga perwakilan pemerintah yang mensubsidi mereka sebagai salah satu akar penyebab efek bola salju iklim ini. Menurut makalah tersebut, antara tahun 2021 dan 2022, subsidi bahan bakar fosil meningkat dua kali lipat dari USD531 miliar menjadi lebih dari USD1 triliun. Perlu dicatat bahwa jumlah tersebut hanya terjadi di Amerika Serikat, belum negara yang lain.

"Kita harus mengubah perspektif kita mengenai darurat iklim dari sekedar isu lingkungan hidup yang terisolasi menjadi ancaman yang sistemik dan eksistensial," tulis para penulis makalah tersebut. 

Peneliti mengatakan, beralih dari bahan bakar fosil, serta memerangi konsumsi berlebihan oleh orang-orang kaya adalah hal yang harus dilakukan. 

Para ilmuwan menyerukan tindakan segera untuk mengatasi krisis ini. Mereka meminta pemerintah, bisnis, dan individu untuk bekerja sama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, melindungi keanekaragaman hayati, dan mengurangi polusi. 

Makalah ini merupakan peringatan yang serius bagi umat manusia. Kita harus bertindak sekarang untuk menyelamatkan planet ini.***