Kenapa Sapi Menangis saat Kurban? Berikut Orang Indonesia Pertama Berangkat Haji

dok net

 

JAKARTA (SURYA24.COM)-  Tidak jarang  dijumpai sapi kurban menangis saat sebelum disemblih .Berikut ini penjelasan kenapa sapi menangis saat kurban menurut Islam

Pada Hari Raya Idul Adha adalah momen bagi umat Islam untuk berbagi dengan sesama melalui penyembelihan hewan kurban.

Namun, terkadang kita melihat ada sapi kurban yang terlihat menangis saat akan disembelih.

Kenapa sapi menangis saat kurban menurut Islam? Apakah ini pertanda sedih, takut, atau bahagia? Ataukah ada alasan lain di balik fenomena ini?

Dikutip dari intisarionline.com, dalam artikel ini, kita akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan mengutip sumber-sumber yang kredibel.

Kita akan melihat penjelasan dari sudut pandang Islam dan juga dari sudut pandang ilmiah.

Semoga artikel ini bisa memberikan informasi yang bermanfaat dan menambah wawasan kita tentang hewan kurban.

Hewan Ternak Memiliki Kelenjar Air Mata

Salah satu hal yang perlu kita ketahui adalah bahwa hewan ternak, termasuk sapi, memiliki kelenjar air mata. Kelenjar ini berperan untuk memproduksi air mata pada hewan.

Adapun proses ini dinamakan dengan lakrimasi. Layaknya pada manusia, kelenjar ini berada di kelopak mata bagian atas.

Air mata pada hewan ternak memiliki fungsi untuk membersihkan dan melumasi mata mereka.

Air mata juga membantu melindungi mata dari infeksi dan iritasi. Selain itu, air mata juga mengandung zat-zat yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh.

Kondisi yang Membuat Air Mata Sapi Keluar

Air mata pada sapi kurban biasanya akibat saat transportasi terpapar asap, debu, dan lain-lain. Hal ini adalah respon fisiologis, pertahanan tubuh untuk membuang benda-benda halus yang menempel pada mata.

 

Selain itu, air mata juga bisa keluar karena adanya inflamasi atau infeksi pada mata. Misalnya, sapi bisa terkena penyakit kanker mata yang disebabkan oleh virus papiloma.

Kondisi-kondisi tersebut bisa membuat sapi kurban terlihat seperti sedang menangis. Namun, hal ini tidak berarti bahwa sapi merasakan emosi seperti manusia.

Banyak ilmuwan yang sepakat jika manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang memproduksi air mata karena alasan emosional.

Artinya, tidak benar jika sapi kurban menangis karena takut disembelih atau bahkan terharu karena akan dikorbankan.

Penjelasan Islam tentang Sapi Kurban Menangis

Meskipun tidak ada dalil yang secara eksplisit menjelaskan tentang kenapa sapi menangis saat kurban menurut Islam, namun ada beberapa hadis yang bisa memberikan gambaran tentang hal ini.

Salah satunya adalah hadis berikut ini:

???? ????????? ????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ????? ??? ?????? ???????? ???? ?????? ?????? ????????? ??????? ????? ??????? ???? ????????? ??????? ???????? ????????? ?????? ???????????? ???????????? ?????????????? ?????????????? ??????? ??????? ???????? ???? ??????? ????????? ?????? ???? ?????? ???? ????????? ????????? ????? ???????

 

Dari 'Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.” (Hadits Hasan, riwayat al-Tirmidzi: 1413 dan Ibn Majah: 3117)

Hadis ini menunjukkan bahwa hewan kurban tidak akan sia-sia atau terlupakan oleh Allah SWT.

Allah akan memberikan balasan yang adil dan sesuai bagi hewan-hewan yang telah dikorbankan di dunia.

Allah akan menghidupkan kembali hewan-hewan tersebut pada hari kiamat dan menempatkan mereka di tempat yang layak.

Mungkin saja, hewan-hewan tersebut akan masuk surga bersama pemiliknya yang beriman.

Demikianlah penjelasan tentang kenapa sapi menangis saat kurban menurut Islam dan menurut ahli. Semoga artikel ini bisa memberikan informasi yang bermanfaat dan menambah wawasan kita tentang hewan kurban.

Dunia Merayakan Hari Raya Kurban

   

Tiap-tiap negara dan wilayah punya caranya masing-masing dalam merayakan Hari Raya Idul Adha. Di Asia tentu saja berbeda dengan di Amerika.Pixabay

Tiap-tiap negara dan wilayah punya caranya masing-masing dalam merayakan Hari Raya Idul Adha. Di Asia tentu saja berbeda dengan di Amerika.

Tiap-tiap negara dan wilayah punya caranya masing-masing dalam merayakan Hari Raya Idul Adha. Di Asia tentu saja berbeda dengan di Amerika.

Hari Raya Idul Adha di Indonesia tahun ini dilaksanakan tidak berbarengan.

Muhammadiyah melaksanakan salat Idul Adha pada Rabu, 28 Juni 2023, sementara pemerintah dan NU pada Kamis, 29 Juni 2023.

Terlepas dari perbedaan itu, bagaimana sih umat Islam di seluruh dunia merayakan Hari Raya Kurban ini?

Walau sama-sama beragama Islam, masyarakat setiap negara memiliki budaya dan kebiasaan khas Idul Adha mereka sendiri.

Timur Tengah

Makanan tradisional seperti manisan menjadi bagian penting dalam perayaan Idul Adha di Timur Tengah.

 

Warga Yaman, Suriah, dan Bahrain terbiasa merayakan hari besar ini dengan makan kue dan manisan tradisional.

Kebalikannya, orang Iran justru merayakan lebaran dengan makanan asin dan gurih dari olahan daging sapi atau kambing.

Orang-orang memakai pakaian terbaik mereka untuk Idul Adha, seperti sorban dan jubah bagi warga Libya.

Di Uni Emirat Arab (UEA), perayaan Idul Adha bisa berlangsung selama tiga hari.

Mereka akan mendekorasi rumah, berdandan, dan merayakannya bersama keluarga besar.

Asia lainnya

Warga India akan memakai pakaian baru dan shalat Idul Adha di lokasi terbuka. Kemudian, merayakan hari ini dengan menyembelih kambing atau bakri.

Jika Indonesia umumnya merayakan hari Idul Adha selama sehari, warga Pakistan libur 4 hari untuk menggelar festival keagamaan.

Perempuan di sana akan menghias tangan mereka dengan henna sejak malam sebelum Idul Adha.

 

Di Turki, warga akan menyembelih kurban setelah shalat. Kambing yang dikurbankan akan dicat dan diberi pita.

Sementara warga Islam di China akan menyalakan dupa di makam-makam keluarga setelah beribadah.

Afrika

Warga Mesir merayakan hari ini dengan berdoa dan mengadakan pertemuan keluarga besar.

Warga berbagi daging kurban kepada masyarakat miskin yang dibagikan ke seluruh negeri.

Sementara itu, warga Pantai Gading dan Kenya dapat menonton penyembelihan hewan ternak secara langsung di depan umum.

Di Kota Kano, Nigeria, istana akan menyambut emir atau pemimpin daerah dengan tradisi penembakan senapan buatan lokal. Peristiwa ini menandai akhir shalat di hari pertama Idul Adha.

Adapun lembaga sosial di Afrika Selatan menyiapkan makanan dari hasil kurban untuk warga yang membutuhkan.

Amerika Utara

 

Walau bukan agama mayoritas, warga imigran di Amerika Utara bersama-sama merayakan dengan tradisi Idul Adha negara asal mereka.

Meski bukan hari libur, masjid-masjid juga mengadakan pertemuan multikultural saat pagi hari Idul Adha.

Di Kanada, komunitas muslim mengadakan festival berisi pertunjukan, turnamen olahraga, dan berbagai masakan internasional.

Amerika Serikat

Muslim di Amerika Serikat merayakan Idul Adha dengan doa dan pertemuan sosial di pusat-pusat penduduk Islam, seperti Chicago, Illinois dan Orlando, Florida.

Dengan memakai pakaian tradisional asal negara mereka, warga di sana akan berdoa, berbagi makanan dan hadiah, serta saling mendoakan.

Untuk berkurban, mereka akan pergi ke daerah pertanian atau mengirim uang untuk berkurban di negaranya.

Inggris Raya

Umat Islam di Inggris mengawali Idul Adha dengan membersihkan seluruh tubuh.

 

Mereka mengenakan pakaian terbaik dan shalat di lapangan atau masjid setempat.

Mereka juga memiliki kebiasaan saling berpelukan, mendoakan, memberikan hadiah kepada anak-anak, serta mengunjungi teman dan kerabat.

Di beberapa kota besar, festibal atau pasar malam akan diadakan untuk merayakan hari besar tersebut.

Orang Indonesia Pertama yang Pergi Haji ke Tanah Suci

Dikutip dari tribungayo.com, Idul Adha juga disebut dengan Lebaran Haji. Hal tersebut lantaran seluruh umat muslim di dunia menunaikan ibadah haji di Tanah Suci.

Ibadah haji merupakan rukun Islam ke-5, yang berbunyi menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.

Setiap muslim tentunya memiliki keinginan yang besar untuk dapat menunaikan ibadah haji di Tanah Suci.

Setiap tahun, Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah jamaah haji terbesar.

Menurut buku Naik Haji di Masa Silam, catatan pertama tentang haji muncul di akhir abad ke-15.

Itu adalah tentang kisah Hang Tuang atau Laksamana Melaka, sekitar tahun 1482.

Meski begitu, versi lain tentang sosok orang Indonesia pertama yang pergi haji ada beberapa.

Sosok itu adalah Pangeran Abdul Dohhar, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa dari Kerajaan Banten. Pangeran Abdul Dohhar pergi haji pada tahun 1630.

Ia berangkat bersama rombongan pedagang dan ulama dari Nusantara, yang menggunakan kapal layar sebagai alat transportasi.

Perjalanan haji pada masa itu sangat berat dan memakan waktu lama, bisa mencapai berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Pangeran Abdul Dohhar harus melewati beberapa tempat sebelum sampai ke Makkah, seperti Aceh, India dan Yaman.

Di setiap tempat, ia harus berganti kapal dan menghadapi berbagai risiko, seperti penyakit, perompakan, perang dan lain-lain.

Banyak jemaah haji yang tidak berhasil sampai ke Tanah Suci atau pulang dalam keadaan sakit atau meninggal.

 

Namun, Pangeran Abdul Dohhar tidak putus asa dan tetap bersemangat untuk menunaikan ibadah haji.

Ia juga memanfaatkan perjalanan hajinya untuk belajar ilmu agama dari para ulama di Makkah dan Madinah.

Sementara menurut sejarawan Azyumardi Azra, pergi haji bagi orang Indonesia dahulu tak sekadar beribadah.

Azra menyebut bahwa perjalanan ibadah haji Muslim Indonesia bertama kali terjadi pada abad 16 dan semakin masif pada abad 16.

Semakin banyaknya Muslim yang naik haji ketika itu, lanjut Azra seperti dikutip dari laman resmi Muhammadiyah.or.id, semakin berkembanglah Islam di Nusantara.

"Perkembangan Islam semakin masif dan ini kemudian ditunjang dengan mulai berkembangnya kerajaan-kerajaan, kesultanan-kesultanan terutama sejak awal abad 16," ujar Azra.

"Yang kesultanan-kesultanan ini terlibat dalam perdagangan internasional."

Masih menurut mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah itu, kerajaan-kerajaan Islam yang rutin mengirim delegasi ke Mekkah, antara lain ada Kerajaan Mataram Islam, Banten, juga Aceh.

 

Bahkan delegasi dari Aceh bukan hanya ke Mekkah, tetapi juga dikirim sampai ke Istanbul, Turki.

Seperti disebut di awal, pergi haji tak sekadar ibadah bagi Muslim Nusantara ketika itu.

Azra menegaskan, keberangkatan haji mereka juga sebagai wahana untuk mendapatkan pengakuan dari Usmani ketika itu.

Para haji ini kemudian mendapat gelar "Ashabul Jawi" atau orang-orang Jawa awal di Makkah dan Madinah.

Yang Tercatat 

Ibadah Haji merupakan rukun Islam ke lima. Meski hanya wajib bagi yang mampu, banyak umat muslim berusaha keras agar dapat menginjakkan kaki di tanah suci.

Kita sering mendengar seorang petani atau pedagang kecil yang tekun menabung selama puluhan tahun demi dapat berangkat haji. Namun, walaupun uang telah dikantongi, calon jemaah haji tak bisa serta merta berangkat karena terhambat masa tunggu.

Masa Tunggu Haji 9- 46 Tahun

Masa tunggu ibadah haji di Indonesia sangat panjang. Paling singkat 9 tahun dan paling lama 46 tahun. Ini terjadi karena membludaknya antrean calon jemaah yang sudah mendaftar.

 

Padahal dibanding negara lain, Indonesia mendapat kuota jemaah haji terbanyak. Arab Saudi menetapkan kuota haji jemaah asal Indonesia sebanyak 100.051.

Bahkan pada tahun ini kuota jemaah dua kali lipat menjadi 221.000. Penambahan jumlah ini dampak Pandemi Covid-19 karena Arab Saudi melarang negara lain masuk ke kota Mekkah.

Masa Tunggu Tiap Provinsi

Dikutip dari inilah.com, berikut masa tunggu setiap provinsi berdasarkan data Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji per 23 Februari 2022:

Aceh, 31 tahun

Sumatera Utara, 19 tahun

Riau, 24 tahun

Kepri, 21 tahun

Jambi, 30 tahun

Sumatera Barat, 23 tahun

Bengkulu, 14-31 tahun

Sumatera Selatan, 22 tahun

Bangka Belitung, 25 tahun

Lampung, 21 tahun

DKI Jakarta, 25 tahun

Banten, 25 tahun

Jawa Barat, 16-27 tahun

Jawa Tengah, 29 tahun

Jawa Timur, 32 tahun

Yogyakarta, 30 tahun

Bali, 26 tahun

NTB, 34 tahun

NTT, 22 tahun

Kalimantan Barat, 13-24 tahun

Kalimantan Tengah, 25 tahun

Kalimantan Selatan, 36 tahun

Kalimantan Timur, 12-38 tahun

Kalimantan Utara, 15-35 tahun

Sulawesi Barat, 18-36 tahun

Sulawesi Tengah, 21 tahun

Gorontalo, 16 tahun

Sulawesi Utara, 16 tahun

Sulawesi Tenggara, 25 tahun

Sulawesi Selatan, 22-46 tahun

Maluku Utara, 13-24 tahun

Maluku, 12-17 tahun

Papua Barat, 9-25 tahun

Papua, 23 tahun

Orang Indonesia Pertama Naik Haji

Perjalanan religi masyarakat Indonesia ke tanah suci sudah ada sebelum masuknya penjajahan Belanda. Namun, tidak ada data pasti siapa orang Indonesia pertama yang pergi menunaikan rukun Islam kelima itu.

Peneliti asal Belanda, Martin van Bruinessen, dalam artikelnya Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji, menuliskan, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlah orang Nusantara yang berhaji berkisar antara 10 dan 20 persen dari seluruh jemaah.

Malah pada dasawarsa 1920-an sekitar 40 persen dari seluruh jemaah berasal dari Indonesia. Masih menurut Martin, orang Indonesia yang tinggal bertahun-tahun atau menetap di Mekkah, umumnya untuk menuntut ilmu agama.

 

Jumlah mereka cukup banyak ketika itu. Bahkan pada tahun 1860, bahasa Melayu menjadi bahasa kedua di Mekkah, setelah bahasa Arab.

Sumber lain menyebutkan, Bratalegawa menjadi orang pribumi pertama yang melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Ia berangkat pada abad ke-13 atau sekitar tahun 1380. Informasi ini didapat dari naskah kuno Purwaka Caruban Nagari dan Negara Kertabumi.

Sementara dalam catatan sejarah lainnya, tepatnya di era kolonialisme Belanda, Pangeran Abdul Dohhar, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa, disebutkan menjadi orang Indonesia pertama yang melaksanakan ibadah haji. Ia berangkat haji pada tahun 1630 menggunakan kapal laut dengan waktu perjalanan selama dua tahun.

Menggunakan Kapal Laut

Masih menurut Martin van Bruinessen, dalam artikelnya Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji, pada abad ke 19 dan abad ke-20 calon jemaah memerlukan waktu yang lama dan perjalanan laut yang membahayakan.

Perjalanan haji harus dilakukan dengan perahu layar, yang sangat tergantung kepada musim. Setelah itu menumpang kapal dagang. Tak hanya satu kapal dagang yang dinaiki tetapi berganti-ganti.

Martin menuliskan, mereka akhirnya bersandar di Aceh, pelabuhan terakhir di Indonesia. Inilah yang menjadikan Aceh dijuluki Serambi Mekkah.

Selanjutnya calon jemaah menunggu kapal ke India. Di India mereka kemudian mencari kapal yang bisa membawa mereka ke Hadramaut, Yaman atau langsung ke Jeddah.

Perjalanan ini bisa makan waktu setengah tahun sekali jalan, bahkan lebih.

Para calon jemaah haji selama perjalanan berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Tidak jarang perahu yang mereka tumpangi karam dan penumpangnya tenggelam atau terdampar di pantai tak dikenal.

Musafir yang sudah sampai ke tanah Arab belum aman, karena di sana suku-suku Badui sering merampok rombongan yang menuju Mekkah. “Tidak jarang juga wabah penyakit melanda jemaah, di perjalanan maupun di tanah Arab.

Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, memasuki abad ke-19, ibadah haji menggunakan kapal uap Belanda. Bahkan, saking banyaknya jemaah haji, pemerintah Belanda menyediakan kapal uap khusus yang mengangkut jemaah haji.

 

Saat itu, perjalanan haji dengan kapal uap hanya butuh waktu 6 bulan, dengan biaya sekitar 1.000 gulden atau Rp70 juta saat ini.

Durasi perjalanan yang cukup lama, membuat banyak jemaah haji yang terjangkit penyakit seperti cacar, beri-beri, dan bronkitis, bahkan ada yang sampai meninggal.

Indonesia Berangkatkan Haji Pertama Secara Resmi

Momen keberangkatan haji yang patut kita kenang adalah pemberangkatan haji pertama kali setelah Indonesia merdeka.

Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Misi Haji I Republik Indonesia, pada tahun 1948 atau 3 tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.

Rombongan berangkat pada pukul 02.00 WIB melalui jalur udara dari Pelabuhan Udara Maguwo Yogyakarta menuju ke Bangkok dengan menggunakan pesawat carteran milik “Pacific Overseas Airlines Service” (POAS).

Selanjutnya perjalanan ditempuh dengan pesawat KLM menuju ke barat, ke Kalkuta (India) dan Karachi (Pakistan) sebelum turun di Kairo (Mesir). Ada hal menarik dari perjalanan haji ini. Masing-masing orang berbekal uang Rp3.500.

Masjidil Haram Dulu dan Sekarang

Kawasan Masjidil Haram jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, tentu saja tidak semegah sekarang. Hanya ada tenda-tenda sederhana di sekeliling Ka’bah.

Ibadah sa’i tidak dilakukan di dalam kawasan Masjidil Haram, melainkan di bagian luarnya. Banyak pedagang yang turut berjualan di sekitar kawasan Masjidil Haram.

Jemaah haji juga harus menyiapkan perbekalan masing-masing, mulai dari memasak, mencuci alat makan, hingga mencuci pakaian.

Pada saat wukuf di Arafah, mereka mendirikan tenda-tenda secara mandiri yang totalnya hingga 20.000 tenda. Menjelang petang, jemaah haji berjalan kaki ke Muzdalifah yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari Arafah.

Dulu, tempat melempar jumrah bercampur baru dengan pedagang dan penjual hewan ternak yang lalu lalang.

Kini perjalanan haji sangat mudah dan singkat. Namun Indonesia masih harus berjuang melobi pemerintah Arab Saudi untuk menambah jumlah kuota agar masa tunggu calon jemaah bisa menjadi lebih singkat.***