Kalang Kabut Angkatan Laut: Yos Sudarso dan Ali Sadikin Turun Gunung Lengserkan Kasal

Kasal Kolonel R. Subijakto. (Dok:©2022 Merdeka.com)

JAKARTA (Surya24.com) - Pasca pengakuan kedaulatan negara, Indonesia belum mencapai sebuah stabilitas di beberapa bidang. Salah satunya Angkatan Perang.

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan seringkali justru menjadi pemantik yang mengakibatkan terciptanya konflik di internal Angkatan Perang. Tak terkecuali angkatan laut yang mengalami permasalahan ketika munculnya kebijakan Selection Board.

Melansir merdeka.com, menjelang pengakuan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949, anggota Angkatan Laut RI (ALRI) masih terpencar di beberapa wilayah. Seperti Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Di Jawa, mereka berpusat di Blitar, Tulungagung, Pekalongan, Juana, Cilacap, Cirebon, dan Banten. Di Sumatera, ALRI berpusat di Kotabumi, Jambi, Pariaman, Sibolga, dan Kotaraja.

Staf Markas Besar Angkatan Laut (MBAL) terpecah menjadi dua tempat. Di Aceh di bawah pimpinan Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Kolonel R. Subijakto dan di Yogyakarta dengan pimpinan Wakil Kasal, Letnan Kolonel R.B.N. Djajaningrat.

Pasca Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan, negara kita memasuki fase Republik Indonesia Serikat (RIS). Seperti yang diungkapkan dalam buku Sejarah TNI Jilid 2: 1950–1959, tugas yang harus dihadapi oleh Angkatan Laut RIS (ALRIS) cukup rumit. Karena mencakup beberapa persoalan seperti konsolidasi di bidang personal (termasuk pengumpulan anggota, seleksi/rasionalisasi) dan penyelesaian kepangkatan dan gaji.

 

Berbicara mengenai konsolidasi yang harus dilakukan ALRIS, kondisi ALRI yang masih tersebar di berbagai wilayah Indonesia mempersulit konsolidasi. Terutama dalam hal pendidikan dan latihan pekerjaan di kapal yang sempat tertunda selama Masa Revolusi (1945–1949). Sekitar 7.000 orang diwajibkan mengikuti pendidikan untuk penyesuaian kepangkatan yang dilaksanakan di Surabaya, Jakarta, dan Sabang.

Dengan pembagian sebagai berikut; 1) Surabaya menaungi anggota yang berasal dari Blitar, Tulungagung, Yogyakarta, Juana, dan Pekalongan, 2) Jakarta menaungi anggota yang berasal dari Cirebon, Banten, Lampung, Jambi, Sumatera Barat. Sementara itu, anggota yang berada di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan yang tergabung dalam Tentara Laut RI (TLRI) disalurkan ke dalam Angkatan Darat. Tepat pada tahun 1950, pengumpulan anggota berhasil dilakukan.

Selection Board Membawa Perpecahan

Kasal Kolonel R. Subijakto melanjutkan konsolidasi dengan membentuk Selection Board yang semula diketuai oleh Letnal Kolonel dr. Oepomo dan diganti dengan Mayor Sudjak dengan Mayor Subardjo dengan Mayor Subardjo sebagai wakilnya. Tugas utama Selection Board adalah mengadakan penyaringan terhadap anggota ALRI, mengadakan standardisasi/penyesuain kepangkatan, dan menentukan korps.

Selection Board mulai dikeluarkan pada pertengahan 1950 dengan tujuan mencapai kemampuan pertahanan yang dapat disejajarkan dengan negara lain. Kebijakan ini ternyata membuat sebagian besar anggota ALRI kalang kabut. Ini terjadi karena mereka harus mengikuti kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi. Dari sekitar 7.000 anggota hanya menjadi kurang dari 5.000 anggota.

Mereka yang memenuhi syarat seleksi mendapat penyesuaian kepangkatan dan penetapan korps. Lalu ditempatkan di salah satu pos ALRIS. Sementara bagi mereka yang tidak memenuhi syarat, harus didemobilisasi, disesuaikan dengan jasa-jasa mereka selama Perang Kemerdekaan, serta diberi hak pensiun.

Bisa ditebak, timbul rasa tidak puas terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh Kasal. Karena sejak tahun 1945, pimpinan APRI dan ALRI mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Hal ini jelas sangat berbeda dengan kebijakan Selection Board. Hal ini diperparah dengan diloloskannya anggota Konklijke Maritime (KM/ Angkatan Laut Belanda) yang selama Perang Kemerdekaan memihak Belanda. Para anggota KM diterima bahkan tanpa melalui proses seleksi dan langsung mendapatkan kenaikan pangkat.

Peleburan KM dengan ALRIS menimbulkan ketegangan. Salah satunya di Surabaya. Akibatnya, muncul pasukan ALRIS yang menamakan dirinya Armada III. Anggotanya adalah bekas tentara ALRIS yang didemobilisasi. Selain itu, muncul gejala-gejala ketidaksiplinan dari para anggota ALRIS seperti tidak mau memakai baret atau tanda pangkat yang lama.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Kasal kembali mengeluarkan kebijakan kursus reduksi mulai tanggal 18 Maret 1951. Kebijakan ini diberi nama Kursus Ulangan dan Tambahan Perwira (KUTP). Kursus pun diadakan di Surabaya dan Jakarta yang diperuntukan bagi perwira yang telah lolos Selection Board.

Protes dari Yos Sudarso dan Ali Sadikin

Keputusan dari Selection Board yang meliputi kepangkatan, kedinasan, dan prioritas dianggap semakin tidak adil dan menyebabkan pergolakan di tubuh AL menjadi semakin meningkat. Pada tahun 1959 muncul Gerakan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Pelaut Yos Sudarso dan Letnan Kolonel KKO Ali Sadikin.

Gerakan tersebut menuntut penggantian Kasal Laksamana Muda R. Subijakto. Dia pada akhirnya mengajukan permohanan berhenti kepada Presiden. Pemintannya pun dikabulkan. Pada 20 Juli 1959, Kasal Laksamana Muda Subijakto menyerahkan jabatannya dan digantikan oleh Kolonel R. E. Martadinata.

Sementara itu, Menteri Keamanan dan Pertahanan Letnal Jenderal A.H. Nasution menghendaki adanya sebuah tindakan koreksi dalam tubuh ALRI agar hal serupa tidak terjadi lagi.***