Pemberontakan Sumatera Barat: Kongres Ulama Dihiasi Poster Perwira Bersama Wanita

Saalah Yusuf Sultan Mangkuto Salah Satu Pemimpin Pemberontakan Sumatera Barat. (Dok:©2022 Merdeka.com)

JAKARTA (Surya24.com) - Masyumi tumbuh pesat di wilayah Sumatera Barat. Begitu pula, Hizbullah sebagai laskar terkuat di wilayah itu. Tidak mengherankan jika mengingat wilayah itu sebagai basis massa muslim besar di Indonesia.

Namun, golongan agama, termasuk Masyumi di dalamnya, tidak dapat menempati jabatan-jabatan strategis di dalam pemerintahan. Kondisi ini menimbulkan pemberontakan dari tokoh-tokoh agama. Salah satunya Saalah Yusuf Sultan Mangkuto yang merupakan Bupati Solok.

Diceritakan dalam buku Sejarah TNI Jilid I, sebelum periode tahun 1947, gerakan perlawanan masih dapat diredam karena adanya perwira yang masih dihormati oleh para pemuka agama. Seperti halnya Dahlan Jambek, Syarif Usman, dan Dahlan Ibrahim yang terkenal akan ketaatan agamanya.

Melansir merdeka.com, selain itu, masih terdapat perwira-perwira tingkat eselon bawah yang juga terkenal keIslamannya. Beberapa diantaranya seperti Ahmad Husein, Kemal Mustafa, Jazid Abidin, dan Yusuf Ali.

Para perwira tersebut sudah cukup lama bertugas di Front Padang. Mereka juga berhasil membina hubungan baik dengan laskar setempat, termasuk Hizbullah.

Keadaan mulai berubah setelah beberapa perwira yang dapat diandalkan oleh Hizbullah seperti Dahlan Jambek, Jazid Abidin, serta Ahmad Husein di mutasi. Laskar Hizbullah dan Masyumi seolah kehilangan tulang punggungnya. Secara tidak langsung menjadi percikan munculnya pemberontakan.

Kerengangan hubungan perwira dengan laskar Hizbullah dan Masyumi diperparah kedatangan Komandan Divisi IX yang baru, yakni Kolonel Ismail Lengah. Ismail Lengah terkenal dengan sifatnya yang sekuler. Ismail Lengah tetap mempertahankan Dahlan Ibrahim sebagai Kepala Staf Divisi. Tujuannya mempertahankan hubungan yang baik dengan golongan agama.

Dalam suasana tersebut, pemerintah daerah juga Divisi IX mengeluarkan sebuah peraturan baru. Isinya tentang pemungutan sumbangan dari rakyat untuk membantu perjuangan.

Peraturan ini dikeluarkan pada Februari 1947 dan disalurkan kepada Bapan Pembantu Barisan Muka (BPBM). Peraturan yang dianggap merugikan kelompok Masyumi karena membatasi gerak mereka dalam meminta sumbangan secara langsung. Terlebih lagi, pembagian sumbangan tersebut ternyata tidak seimbang.

Sumbangan disalurkan BPBM untuk garis terdepan. Baik TRI maupun Laskar. Tetapi jumlah yang diterima TRI jauh lebih besar dibandingkan yang diterima oleh laskar-laskar. Muncul kekecewaan dan perasaan tidak senang di kalangan laskar. Kondisi ini dimanfaatkan golongan yang menentang pemerintah. Mereka menghasut laskar, khususnya Hizbullah.

Perpecahan tak terelakkan. Laskar Hizbullah melempar kesalahan pada para perwira Divisi IX di Bukittinggi. Para perwira dianggap telah hidup mewah. Sementara para laskar menghadapi ancaman musuh setiap saat.

Pendapat ini berkembang pula di kalangan TRI, khususnya pasukan yang dipimpin Letnan Yusuf Ali. Sebagai tindak penyelesaian, Komandemen Sumatera menugasi dua orang perwira intelijen. Namanya Zubir Adam dan Anwar Dos. Kedua perwira hanya menghubungi kelompok agama dan tidak pernah menghubungi Divisi IX. Sehingga permasalahan tidak pernah selesai. Sebaliknya, mereka memanfaatkan stempel komandemen untuk menangkap beberapa pejabat dan tokoh masyarakat.

 

Pemberontakan 3 Maret 1947

Rencana pemberontakan disusun Saalah Yusuf Sutan Mangkuto dan Adam B. B. (Balik Bukit). Mereka juga melibatkan dua orang dari Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAMM), yakni Nazaruddin Dt. Rajo Mangkuto dan Dt. Simarajo.

Tujuan Gerakan ini adalah mengambil alih pemerintahan dari tangan Residen Rasyid dan pimpinan Divisi IX dari tangan Kolonel Ismail Lengah. Langkah pertamanya adalah menangkap kedua tokoh tersebut, para pejabat serta tokoh-tokoh pendukungnya.

Sementara itu, Komandan Hizbullah Sumatera yang bernama Major Jenderal Hizbullah Bakhtiar Yunus berkunjung ke daerah Sumatera Barat. Dia mendesak para tokoh Hizbullah Sumatera Barat seperti Syamsuddin Ahmad juga Syuib Ibrahim, ikut andil bagian dalam rencana pemberontakan.

Situasi memanas. Kongres ulama seluruh Sumatera berlangsung di Padangpanjang sejak tanggal 28 Februari hingga 3 Maret 1947. Kongres ini dimanfaatkan kelompok Saalah Yusuf untuk menyerang pemerintah. Poster yang menggambarkan para perwira bersenang-senang dengan wanita, dipasang. Membangkitkan kebencian masyarakat Sumatera Barat terhadap para perwira.

Mendengar adanya kongres ulama, Residen Rasyid dan Kolonel Ismail Lengah mengunjungi kongres untuk meluruskan yang sebenarnya terjadi. Mereka mengadakan pembicaraan hati ke hati dengan para ulama. Namun, apa boleh buat ‘nasi telah menjadi bubur’ karena rencana pemberontakan telah matang.

Tepat 3 Maret 1947, Hizbullah mulai menangkap beberapa tokoh masyarakat di Bukittinggi, Padangpanjang, dan Payakumbuh yang dekat dengan Residen dan Komandan Divisi. Mereka juga berusaha menangkap para perwira Divisi IX. Tetapi gagal. Karena para perwira tidak ada di rumah masing- masing.

Menanggapi hal tersebut, Kolonel Ismail Lengah memerintahkan Mayor Abunawas untuk mempersiapkan pasukan. Namun mereka dilarang melancarkan serangan sebelum Hizbullah memulainya. Pasukan tersebut dibantu pasukan Mayor Alwie Sutan Marajo dari Padangpanjang. Ismail Lengah juga memerintahkan Komandan Resimen 3 Letnan Kolonel Ahmad Hussein dan pasukannya untuk mendekati wilayah Padangpanjang.

Pasukan Hizbullah berkonsentrasi di Jambu Air, pinggir kota Bukittinggi. Secara diam-diam meninggalkan front Padang. Mereka bergerak ke pusat kota pada pukul 02.00 untuk menangkap Residen Rasyid dan Kolonel Ismail Lengah, tetapi berhasil digagalkan oleh pasukan Abunawas.

 

Sementara itu, pasukan resimen 3 telah menempati posisi di antara Singkarak dan Padangpanjang. Dengan begitu, komunikasi antara pasukan Hizbullah di Pitalah terputus dengan yang ada di Padangpanjang serta Bukittinggi. Setelah mengetahui bahwa operasi di Bukittinggi mengalami kegagalan, Kolonel Hizbullah Syamsuddin Ahmad menyerah kepada resimen 3 dan seluruh pasukannya dibawa ke Bukittinggi. Mereka diatasi dengan diberi sejumlah uang dan pakaian serta dikembalikan ke kampung halamannya, kecuali para tokoh pemberontak. Mereka ditahan dan diproses lebih lanjut.

Beberapa tokoh agama seperti A.R. Sutan Mansyur meminta kepada Residen agar peristiwa 3 Maret di peti es kan dan semua yang terlibat diampuni. Bahkah, mereka mengirim telegram ke Yogyakarta. Kendati demikian, Residen Rasyid tetap tidak mengabulkan permintaan tersebut.

Mohammad Natsir Turun Tangan

Telegram yang dikirim pada tokoh agama sampai kepada Menteri Penerangan Mohammad Natsir yang juga merupakan tokoh penting Masyumi. Natsir langsung berkunjung ke Sumatera Barat dan berbicara dengan Residen juga Sutan Mansyur. Dia menginstruksikan penyelidikan mengenai keterlibatan Masyumi dalam pemberontakan. Hasilnya, Partai Masyumi tidak terlibat. Pihak yang terlibat hanyalah oknum.

Senjata yang digunakan oleh Hizbullah disita oleh Divisi IX dan tidak dikembalikan oleh Kolonel Ismail Lengah. Bahkan, permintaan Wakil Presiden pada bulan Juli 1947 mengenai pengembalian senjata tersebut tetap ditolak.

Sementara itu, pengadilan terhadap tokoh-tokoh pemberontak dilakukan bulan Agustus 1947. Mereka mendapat keringanan karena dibela oleh Buya Hamka. Nazaruddin Datuk Mangkuto dijatuhi hukuman penjara. Saalah Yusuf sebagai otak Gerakan hanya dijatuhi hukuman percobaan. Sementara tokoh-tokoh lain hanya dinasihati dan diminta untuk tidak mengulangi perbuatan mereka.***