Kisah DR Saharjo, Pejabat Jujur Jualan Kecap Keliling Naik Sepeda karena Kekurangan Uang

JAKARTA (Surya24.com)  - Pria sederhana itu bersepeda keliling Kota Solo setiap Minggu pagi. Dia menjual kecap, kadang lilin, atau barang apa saja yang dititipkan istrinya. Hal itu dilakukannya untuk menambah uang belanja keluarga.

Pria itu bernama DR Saharjo. Seorang pejabat di Departemen Kehakiman. Jabatannya saat itu Kepala Bagian Hukum dan Tata Negara. Tapi kehidupannya jauh dari kaya raya. Saharjo dan keluarga hidup kekurangan.

Di masa revolusi, tulis merdeka.com, pemerintah Indonesia terpaksa memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta. Departemen kehakiman turut pula mengungsi dari Jakarta ke Ibu Kota Perjuangan tersebut.

Saat itu Saharjo tidak punya uang untuk mengontrak rumah di Yogyakarta. Keluarganya terpaksa ditinggal di Solo. Menumpang gratis di sebuah paviliun milik pedagang batik yang dermawan.

Saharjo pulang seminggu sekali menemui keluarganya di Solo. Setiap Sabtu sepulang kerja, dia mengayuh sepedanya sejauh 65 kilometer dari Yogya ke Solo.

Untuk menambah uang belanja yang serba kurang, Istrinya membuka warung kecil-kecilan di paviliun tersebut. Kadang jika keadaan mendesak, barang-barang berharga milik keluarga itu yang jumlahnya tidak banyak pun terpaksa dijual.

Saharjo pun ikut berjualan keliling Kota Solo dengan sepeda untuk membantu istrinya. Baru pada sore hari dia kembali ke Yogyakarta.

Menteri Kehakiman yang Kekurangan Uang Belanja

Karir DR Saharjo di Departemen Kehakiman terus meningkat. Namun hal ini rupanya tidak dibarengi dengan kekayaannya. Hidupnya masih tetap sederhana, jika tidak ingin dibilang kekurangan.

DR Saharjo diangkat menjadi Menteri Kehakiman dalam Kabinet Kerja I dan II mulai tahun 1959 hingga 1962. Di Kabinet Kerja III, dia dilantik menjadi wakil menteri pertama bidang dalam negeri yang mengkoordinir Departemen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman.

Siti Nuraini, istri DR Saharjo menuturkan, suaminya tidak pernah mau menerima uang apa pun di luar gaji bulanannya. Saat itu sulit sekali memenuhi kebutuhan hidup dengan delapan anak. Uang belanja sering tidak cukup hingga membuat istrinya kebingungan setiap bulan.

"Bapak pesan agar uang gaji yang tidak cukup itu digunakan dengan sehemat mungkin," kata Nuraini.

Namun selalu diingatnya pesan sang suami agar hidup sederhana dan bersahaja.

Tak cuma soal uang belanja, keluarga DR Saharjo tidak punya rumah pribadi. Beliau selalu menolak berutang karena takut tidak bisa mencicil dengan gajinya. Baru di akhir hidupnya, sekitar tahun 1963, Pak Saharjo mau menerima tawaran tinggal di rumah dinas dan tidak menumpang di rumah mertuanya lagi.***