Dewan Pers Sebut KUHP Baru Ancam Kemerdekaan Pers dan Demokrasi: Berpotensi Mengkriminalisasi Wartawan

Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers, Arif Zulkifli (Net)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Persetujuan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebagai KUHP mengabaikan partisipasi dan masukan masyarakat, termasuk komunitas pers.

Pandangan Dewan Pers, masih ada pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman bagi pers dan wartawan. Dewan Pers sebelumnya telah menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) RKUHP terhadap pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman terhadap pers dan wartawan.

Dewan Pers juga menyarankan reformulasi 11 cluster dan 17 pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers, sebagai upaya mencegah kriminalisasi.

Namun masukan tersebut tidak memperoleh feedback. Padahal, Dewan Pers juga menyampaikan saran agar dilakukan simulasi kasus atas norma yang akan dirumuskan.

“Kami menilai ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam RUU KUHP yang baru disetujui pemerintah dan DPR tidak hanya mengancam dan menciderai kemerdekaan pers, namun juga berbahaya bagi demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemberantasan korupsi,” kata Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers, Arif Zulkifli, Kamis (8/12).

Dikatakan Arif, ketentuan pidana pers dalam KUHP menciderai regulasi yang sudah diatur dalam UU 40/1999 tentang Pers.

 

Padahal unsur penting berdemokrasi adalah adanya kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, serta kemerdekaan pers.

Mengutip rmol, catatan Dewan Pers, ada belasan Pasal dalam KUHP baru yang berpotensi mengkriminalisasi wartawan dan mengancam kemerdekaan pers, kemerdekaan berpendapat, dan berekspresi.

Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah.

Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong. Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.

Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan. Pasal 300, Pasal 301, dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.

Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan. Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran. Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati. Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.

Mengkebiri Kebebasan Berpendapat

Norma tertentu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru menuai kritik dari masyarakat. Salah satunya terkait dengan kebebasan berpendapat.

Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie turut menyoroti norma yang masuk dalam KUHP baru yang disahkan DPR RI dalam rapat paripurna di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (6/12).

Jerry heran dengan keberadaan pasal penghinaan presiden dalam KUHP baru ini. Karena menurutnya, hal tersebut tak sesuai dengan zaman saat ini.

"Bagaimana kalau 10 ribu orang mengkritik di medsos (media sosial)? Apakah mereka akan masuk penjara semua," ujar Jerry saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (8/12).

Berkaca pada sistem ketatanegaraan di Amerika Serikat yang juga menganut sistem pemerintahan yang sama, Jerry menilai penyusunan regulasi pemerintah Indonesia dalam KUHP baru ini tidak memiliki semangat demokrasi.

 

Pada amandemen pertama Kongres, tidak boleh membuat undang-undang yang membatasi kebabasan berbicara, atau pers, atau hak rakyat untuk berkumpul secara damai, dan untuk mengajukan petisi kepada pemerintah," urainya.

Maka dari itu, doktor ilmu komunikasi politik lulusan America Global University ini menilai norma soal penghinaan presiden dan pejabat negara telah melunturkan semangat demokrasi.

"Pemerintah sudah mengkebiri kebebasan berpendapat atau freedom of speech," demikian Jerry.***