Guru

Oleh: Mahyudin

AKHIR 2022, pendidikan Indonesia ditutup dengan kesepakatan antara Kemendikbud-Ristek mewakili pemerintah dan Komisi X DPR mengenai penundaan penerapan Kurikulum Merdeka sebagai pengganti Kurikulum 2013.

Di antara alasan penundaan yang mengemuka ialah karena pemerintah belum dapat meyakinkan anggota DPR mengenai efektivitas Kurikulum Merdeka ini; anggota DPR juga belum yakin bahwa kurikulum baru ini dapat memberi ruang yang lebih kepada guru; proses pembelajarannya berfokus kepada siswa sesuai dengan minat dan bakatnya, dan; apakah bisa memberi ruang yang reflektif dan evaluatif?

Itulah semua kekhawatiran yang menjadi pertanyaan para anggota Komisi X DPR. Mereka butuh waktu untuk evaluasi lebih lanjut. Sekolah diberi keleluasaan untuk memilih kurikulum yang ingin mereka terapkan di sekolah masing-masing sesuai dengan kapasitas dan kesiapan sekolah (Dpr.go.id).

Kabar itu menunjukkan program penggantian Kurikulum 2013 menjadi Kurikulum Merdeka belum matang secara konsep dan praktik. Waktu dua tahun tidaklah cukup untuk melakukan studi penggantian kurikulum dan menguji cobanya. Selain itu, Kurikulum Merdeka ini tidak sensitif terhadap kondisi sekolah di Indonesia, khususnya sekolah yang tersebar di pelosok-pelosok negeri yang sangat tidak mudah dijangkau.

Kenapa demikian? Karena implementasi kurikulum ini mengandaikan infrastruktur teknologi, seperti jaringan internet dan teknologi pendukung lainnya sudah merata di seluruh pelosok negeri. Alih-alih mengganti kurikulum dengan biaya yang besar, sebaiknya anggaran dialokasikan untuk memperbaiki infrastruktur dasar seperti renovasi bangunan sekolah di daerah-daerah terpencil, termasuk memenuhi kebutuhan guru di sekolah-sekolah terpencil tersebut.

Bahkan, masih banyak lagi yang harus dibenahi yang tidak menjadi tanggung jawab langsung Kemendikbud-Ristek, tapi berdampak pada kelancaran program Kemendikbud-Ristek, seperti infrastruktur jalan, transportasi, dan memperbaiki jembatan penyeberangan sungai antarkampung. Dengan begitu, diperlukan koordinasi dan kerja sama lintas kementerian agar program tidak berjalan sendiri-sendiri, tidak sinergis, dan itu yang harusnya menjadi prioritas kerja Kemendikbud-Ristek di sisa masa jabatannya.

Termotivasi dan terlatih Apa pun pilihan kurikulum yang akan digunakan sekolah, apakah Kurikulum 2013 atau Kurikulum Merdeka, kunci kesuksesan dan efektivitas proses belajar mengajar di kelas ada di tangan guru yang termotivasi dan terlatih. Guru yang mengajar dengan motivasi tinggi dapat membawa suasana belajar di kelas jadi lebih menarik. Guru yang termotivasi menunjukkan keterampilan, bakat, dan keberanian dalam proses mengajar di kelas.

Guru yang termotivasi tidak terpengaruh oleh gangguan internal ataupun eksternal. Guru yang termotivasi juga dapat memberi inspirasi kepada siswa (Alderman, 2004). Guru terlatih juga faktor penting suksesnya proses belajar dan mengajar di kelas.

Tentu saja bukannya pelatihan-pelatihan generik yang biasa dilakukan kementerian atau dinas pendidikan. Setidaknya ada materi pokok yang semua guru harus kuasai dan materi-materi tambahan sesuai dengan kondisi setiap guru. Materi pokok di antaranya konten pelajaran yang diampu.

Guru harus menguasai dengan baik konten yang diampunya. Kemudian, metodologi menyampaikan konten itu juga penting untuk dilatihkan dan dikuasai guru. Selain itu, pedagogi konten, menurut Loughran (1999), perlu dikembangkan guru melalui pengalamannya mengajarkan konten yang diampunya dengan cara tertentu untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam belajar.

Selain itu, materi pengembangan diri perlu dilatihkan kepada guru seperti materi komunikasi efektif. Materi komunikasi efektif harus dilatihkan kepada guru agar guru dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan komunikasi mereka dengan siswa.

Materi itu juga dapat mengasah sensitivitas guru akan kebutuhan siswa. Berikutnya, guru juga harus dilatih keterampilan meneliti dan menulis. Dua keterampilan itu penting buat guru karena dengan penelitian dan menulis, akan mendorong guru membaca buku sebanyak-banyaknya, kemudian menuliskannya menjadi artikel (Bashori, dkk, 2015).

Penelitian yang dimaksud tentu saja bukan penelitian sosial yang umum dilakukan peneliti ilmu sosial. Penelitian tindakan kelas (PTK) ialah penelitian yang cocok untuk guru karena tujuan utama PTK ini ialah untuk meningkatkan dan memperbaiki praktik pembelajaran yang dilakukan guru (Mahmud dan Priatna, 2008).

  1. penelitian itu, guru juga didorong untuk menuliskan hasil temuan penelitian mereka secara reflektif. Belajar dari pengalaman Memotivasi dan melatih guru ialah hal yang mudah dilakukan. Yang paling sulit ialah bagaimana menjaga guru-guru tersebut tetap termotivasi dan meningkat kapasitasnya.

Dalam konteks ini, guru perlu mendapat bantuan dalam bentuk supervisi. Peran supervisi itu harus dilakukan manajemen sekolah, dipimpin kepala sekolah dan jajarannya. Dalam lima bulan terakhir, kami melakukan penelitian tindakan tentang menulis reflektif.

Tulisan reflektif itu ditulis secara bersama-sama oleh relawan dari tiga sekolah Sukma Bangsa Pidie, Bireuen, dan Lhokseumawe dalam platform Google Docs. Kami meminta guru relawan menuliskan refleksi mereka mengajar di kelas, dikaitkan dengan fenomena sosial yang mereka hadapi di masyarakat.

Apakah perilaku siswa di kelas mencerminkan perilaku masyarakat sekitarnya. Kegiatan itu bertujuan meningkatkan partisipasi guru dalam berkomunikasi, meningkatkan sensitivitas guru dengan lingkungan sosialnya, dan meningkatkan respons manajemen sekolah terhadap kebijakan-kebijakan sekolah.

  1. proses menulis reflektif ini, banyak hal menarik terjadi, di antaranya kemampuan setiap guru menulis memiliki gaya yang berbeda. Umumnya mereka menuliskan gaya bertutur ke dalam tulisan, tuturan yang ditulis. Ada guru yang sudah mampu menulis dengan kalimat-kalimat sempurna yang baik, bahkan ada yang sudah menggunakan kalimat kompleks. Isi tulisan masih berkisar pada pengalaman mengajar di kelas.

Masih ada guru yang hanya bercerita mengenai proses belajar mengajar di kelas, tanpa refleksi, tanpa pertanyaan kritis, melainkan langsung memaklumi bahwa kondisinya memang demikian adanya. Ada juga yang isinya hanya cerita bagaimana dia memproses kelas, tapi dia tidak menggambarkan apa pun selain cerita tentang dirinya mengelola kelas.

Tentu saja sebagian besar guru lainnya sudah mulai menulis dengan isi cerita dalam kelas dan merefleksikannya dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Proses itu memberikan keuntungan ganda. Buat guru menjadi sarana latihan menulis reflektif, bagi manajemen, mereka mendapatkan informasi secara cepat mengenai dinamika di dalam kelas.

Manajemen dapat mengetahui pelatihan apa yang dibutuhkan guru. Manajemen juga dapat mengetahui kebijakan apa yang masih relevan dan kebijakan apa yang harus segera dibuat. Cara itu kami tempuh untuk tetap menjaga motivasi guru dan tetap terlatih. Semoga.***

 

Penulis Mahyudin Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma

Sumber: mediaindonesia.com