Mewaspadai Penculikan Anak

Mewaspadai Penculikan Anak

OlehL Bagong Suyanto

KASUS penculikan anak belakangan ini kembali menghantui masyarakat, khususnya para orangtua. Anak-anak, yang seharusnya bebas bermain dan mengisi hari-harinya dengan bermain dan bergembira, ternyata rawan menjadi korban penculikan. Biasanya, tanpa diduga dan karena kelalaian orangtua, anak-anak berusia di bawah 10 tahun merupakan sasaran yang paling potensial menjadi korban penculikan.

Salah satu kasus penculikan anak terbaru yang menggegerkan masyarakat dialami MA, bocah perempuan berusia 6 tahun. Seperti ramai diberitakan di media massa, MA diculik oleh tersangka Iwan Sumarno alias Jacky alias Herman alias Yudi pada 7 Desember 2022.

Orangtua korban kemudian melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib, yang langsung melakukan pencarian terhadap korban. Kasus penculikan tersebut viral di media sosial karena pelaku tertangkap kamera pengawas (CCTV) menculik MA menggunakan bajaj (Media Indonesia, 4 Januari 2023).

Beruntung MA dapat ditemukan dan diselamatkan personel Satreskrim Polres Metro Jakarta Pusat di kawasan Pasar Cipadu, Tangerang Kota, pada 2 Januari 2023 malam. Korban kemudian langsung dibawa ke RS Polri Kramat Jati untuk menjalani pemeriksaan kesehatan setelah satu bulan diculik.

  1. juga melakukan visum kepada korban, dan hasilnya menyatakan bahwa korban tidak mengalami kekerasan seksual, tetapi mengalami beberapa tindakan kekerasan fisik dari pelaku penculikan. Faktor penyebab Di Indonesia

MA bukanlah korban satu-satunya dari kasus penculikan anak. Selain MA, ada banyak kasus penculikan anak lain yang belum terselesaikan. Tidak sedikit orangtua yang hingga kini masih meratapi nasib anak-anaknya yang hilang karena menjadi korban penculikan. Bahkan, tidak sekali-dua kali dalam kasus penculikan korban ternyata ditemukan telah tewas karena dibunuh pelaku, untuk menyembunyikan tindak kejahatan yang mereka lakukan.

Data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat paling tidak 160 laporan kematian anak yang didahului penculikan. Pada 2015, misalnya, dari 160 kasus pembunuhan anak, sebanyak 121 kasus didahului dengan tindak penculikan.

Sejak Januari 2016 hingga awal Februari 2016, misalnya tercatat sudah ada 39 kasus kematian anak yang didahului dengan penculikan (Republika, 10 Februari 2016). Di berbagai daerah, sering diberitakan bagaimana anak-anak yang pulang sekolah atau bermain sendirian, jangan kaget jika kemudian menjadi korban penculikan anak karena tiadanya pengawasan yang memadai dari orangtua dan keluarga.

Dari 2010-2014, tercatat telah terjadi 472 kasus penculikan anak. Sementara itu, pada 2019, tercatat sebanyak 2.303 kasus tindak kejahatan terhadap kemerdekaan orang. Angka itu menurun dari tahun sebelumnya yang sebanyak 2.545 kejadian. Dalam rentang 2015 hingga 2019, catatan tertinggi dari kejahatan ini terjadi pada 2016 yang mencapai 2.885 kejadian.

Yang dimaksud dengan tindak kejahatan terhadap kemerdekaan orang terdiri dari kejahatan penculikan, dan mempekerjakan anak di bawah umur. Berdasarkan persebaran kejadian di setiap polda selama 2015-2019, Sulawesi Selatan mencatatkan kejahatan terbanyak, yaitu 399 kejadian. Provinsi selanjutnya ialah Jawa Tengah sebanyak 233 kejadian dan Papua 218 kejadian.

Sementara itu, di posisi terendah ialah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Hal itu lantaran polda di kedua provinsi itu pada 2019 tidak tercatat kejahatan dari jenis kemerdekaan orang. Diperkirakan rata-rata terjadi minimal 100 kasus penculikan anak per tahunnya. Jika dibandingkan dengan orang dewasa, tindak penculikan selama ini memang lebih rawan terjadi dan dialami anak-anak.

Sejumlah faktor yang menyebabkan kenapa anak lebih potensial menjadi korban tindak penculikan ialah pertama, memanfaatan kerentanan, ketidakberdayaan, serta keluguan korban. Berbeda dengan orang dewasa, yang sering kali lebih sulit diperdaya dan memiliki kemampuan untuk melawan, anak-anak umumnya rawan menjadi korban penculikan karena keluguannya.

Hanya dengan iming-iming permen, sedikit uang, atau sikap ramah, anak-anak dengan mudah akan diperdaya pelaku. Dalam berbagai kasus penculikan anak, sebagian besar anak yang menjadi korban umumnya berusia di bawah 10 tahun.

Seorang bocah yang belum mengenal kejamnya dunia dan mudah diperdaya menyebabkan pelaku acapk ali leluasa mengajak korban ikut dengan dirinya. Kedua, karena didorong faktor personal pelaku, yakni kelainan atau perilaku menyimpang pelaku.

Di Tanah Air, kasus penculikan anak sering kali terjadi bukan untuk meminta uang tebusan, atau melakukan penculikan untuk tujuan dipekerjakan. Dari berbagai kasus yang terjadi, anak-anak yang menjadi korban penculikan sebagian besar umumnya diculik untuk tujuan menjadi objek kekerasan seksual pelaku, seperti diperkosa, disodomi, hingga akhirnya dibunuh pelaku untuk menutupi tindakan jahatnya.

Ketiga, karena motif komersial. Meski angkanya kecil, tetapi ada sinyalemen bahwa praktik penculikan anak sebagian dilakukan untuk tujuan mencari keuntungan ekonomi. Global Alliance Against Traffic in Women (GAATW) menyatakan bahwa sebagian besar anak yang menjadi korban penculikan dipaksa bekerja sebagai anak jalanan, dipaksa bekerja di sektor industri seksual komersial, atau diambil organ tubuhnya untuk kepentingan menyelamatkan anak-anak orang kaya yang mengalami kelainan organ penting sejak lahir.

  1. konteks ini, anak korban penculikan diperlakukan seperti layaknya komoditas yang diperdagangkan untuk tujuan mencari keuntungan. Melindungi Melindungi anak, agar tidak menjadi korban penculikan harus diakui bukan hal yang mudah. Bagi keluarga somah yang memiliki banyak anggota keluarga untuk berperan serta dalam pengawasan, kemungkinan anak diculik mungkin bisa dikurangi.

Namun, pada keluarga inti yang kedua orangtua sama-sama bekerja, risiko anak menjadi korban penculikan menjadi lebih besar akibat kurangnya atau kelalaian orangtua. Meningkatkan kepekaan orangtua, guru, dan masyarakat terhadap gerak-gerik orang di sekitar sudah tentu menjadi prasyarat awal jika kita berkeinginan untuk mengurangi angka penculikan anak.

Namun demikian, di luar pengawasan orangtua, guru, dan masyarakat, tidak kalah penting ialah bagaimana mendidik anak agar senantiasa berhati-hati menyikapi kemungkinan menjadi korban tindak penculikan anak. Sejak dini, anak perlu dididik untuk selalu berhati-hati dan bersedia bercerita tentang apa yang mereka lihat dan alami sehari-hari.

Selain itu, anak-anak juga perlu disosialisasi bagaimana menyikapi situasi ketika ada orang asing baik yang mengajak maupun memaksa mereka untuk pergi. Bahaya yang paling besar dan sulit diantisipasi anak jika pelaku ialah orang yang sudah dikenal sebelumnya, dan memainkan modus bujuk rayu yang tidak diduga korban. Anak-anak yang lugu dan mudah percaya pada orang asing karena diajari orangtuanya soal keramahan ialah titik lemah yang perlu diperhatikan, agar anak-anak kita tidak menjadi korban penculikan.***

Penulis: Guru Besar dan Dosen Sosiologi Anak FISIP Universitas Airlangga

Sumber: mediaindonesia.com