Memuliakan Daulat Rakyat

Oleh: Akhmad Mustain

SISTEM pemilihan umum (pemilu) proporsional tertutup dan terbuka kembali menjadi perbincangan di ruang publik setelah sejumlah pihak yang melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan dasar keinginan para penggugat memberlakukan sistem proporsional tertutup atau hanya mencoblos partai politik. Dalam perkara yang telah terdaftar dengan nomor 114/PUU-XX/ 2022, nantinya MK akan menggelar sidang judicial review atau uji materi terhadap Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka.

Makin jadi polemik ketika Ketua KPU Hasyim Asy'ari memprediksi MK bakal memutuskan penggunaan kembali sistem proporsional tertutup. Menjadi gaduh, sehingga memaksa Hasyim menyampaikan permohonan maaf atas prediksinya tersebut.

Seharusnya, perdebatan soal konstitusionalitas sistem pemilu sudah selesai. MK sudah menyatakan sistem pemilu proporsional terbuka merupakan pilihan konstitusional yang mengejawantahkan atau menerapkan konstruksi pasal 1 ayat 2 soal kedaulatan rakyat Pada putusan MK nomor 22/PUU-XX/2008 yang menyatakan dasar penetapan calon terpilih adalah berdasarkan calon yang mendapatkan suara terbanyak secara berurutan. Bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan oleh partai.

Sistem terbuka sesuai dengan spirit putusan MK yang mengisyaratkan bahwa penetapan calon terpilih berdasarkan prinsip suara terbanyak. Sistem proporsional terbuka lebih 'memuliakan' daulat rakyat dibanding sistem proporsional tertutup.

Oleh karena itu, MK harus memiliki komitmen sebagai lembaga pengawal demokrasi (the guardians of democracy) dalam menguji gugatan UU Pemilu ini. Penggugat berjumlah enam orang dengan dua diantaranya merupakan kader partai politik. Tercatat PDIP Demas Brian Wicaksono, kader NasDem Yuwono Pintadi.

Meskipun NasDem menegaskan Yuwono sudah bukan lagi kadernya. Yang sangat disayangkan yakni ternyata ada partai politik secara institusi mendukung kembalinya sistem proporsional tertutup. Dari sembilan parpol di parlemen, PDIP yang sepakat untuk kembali ke sistem tertutup, sedangkan delapan lainnya ingin sejalan dengan putusan MK terdahulu.

Pendukung proporsional terbuka mengajukan gugatan intervensi. Yakni sejumlah politisi dari Golkar. Begitupun sejumlah politisi dari NasDem, PSI, dan PKS mengajukan diri untuk menjadi pihak terkait.

Dukungan terhadap proporsional tertutup juga ditunjukkan oleh Partai Bulan Bintang. Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra mengajukan partainya sebagai pihak terkait di MK untuk mendukung kembalinya sistem proporsional tertutup.

Alasannya, karena peran parpol mulai terpinggirkan dengan pemilihan nama calon legislastif secara langsung. Menjauhkan partai dengan publik, karena kedekatan dengan kandidat. Serta makin suburnya politik uang dalam pemilu legislatif. Peran Parpol Hal yang sebenarnya, jika menelaah lebih dalam, dua persoalan tersebut bukan karena kesalahan sistem sepenuhnya.

Namun, lebih pada lemahnya peran parpol dalam pemberdayaan konstituennya. Lemahnya party id karena memang sikap pragmatis. Hadir di tengah rakyat ketika menjelang pemilu. Begitupun urusan politik uang.

Dalam sistem proporsional tertutup, jual beli nomor urut akan sangat masif terjadi. Itu akan menjadi ladang politik uang yang pada akhirnya hanya caleg-caleg berduit juga akan menempati nomor urut kecil agar otomatis lolos.

Pasalnya, dalam istilah hukum pemilu, sistem proporsional tertutup merupakan sistem pemilu di mana keterpilihan wakil rakyat didasarkan pada nomor urut yang ditentukan oleh partai politik. Pemilih hanya memilih partai politik dan penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut. Dengan proporsional terbuka saja, para anggota legislatif yang duduk di parlemen kerap kali mengangkangi aspirasi rakyat.

Bagaimana jika itu sistem proporsional tertutup, maka parlemen akan kembali menjadi tukang stempel untuk kepentingan parpol mereka. Dalam paham kedaulatan rakyat, rakyatlah yang sebenarnya memiliki kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam memilih pemimpin.

Keterpilihan caleg sesuai dengan keputusan rakyat yang berdaulat, bukan merujuk kepada keputusan pengurus partai politik. Sistem terbuka juga akan memperkuat partisipasi dan kontrol publik terhadap calon wakil rakyat yang nantinya akan duduk di parlemen.

Partisipasi dan kontrol publik tersebut berangkat dari hubungan antara caleg dengan konstituennya. Jadi tidak ada alasan untuk kembali mundur ke sistem tertutup. Untuk menyempurnakan demokrasi, benahi saja kelemahan proporsional terbuka. Peran parpol dalam proses seleksi caleg harus benar-benar kompeten, tidak hanya bermodal popularitas. Begitupun persoalan politik uang harus benar-benar dikikis habis.

Persoalan yang sebenarnya bukan hanya tanggungjawab parpol, namun juga seluruh elemen bangsa ini untuk menyadarkan pemilih tentang rentannya politik transaksional. Jika semua kelemahan proporsional terbuka nantinya mampu dikikis, saat itulah sistem ideal pemilu akan diadaptasi. Dengan penguatan-penguatan tersebut, maka rakyat akan semakin berdaulat dalam menentukan wakilnya di parlemen.

Sistem proporsional terbuka sebenarnya tidak hanya menguntungkan pemilih, tapi juga para caleg. Sebab mereka bisa bertarung secara adil dengan caleg lain di partainya karena pemenang kursi ditentukan oleh suara terbanyak. Oleh karena itu, penafsiran perihal kedaulatan rakyat dalam sistem pemilu telah sesuai penerapan proporsional terbuka. Dengan kekuasaan penuh ada di tangan rakyat dalam menentukan pilihannya, di situlah demokrasi dijunjung tinggi.***

Penulis Editor Media Indonesia

Sumber: mediaindonesia.com