Sekolah Jam 5 Pagi dan Pejabat yang Kian Jauh dari Bukti Ilmiah

Oleh: Dewi Safitri

TIGA puluh tahun lalu, seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sudah jadi momok besar. Di sekolah kami, sebuah sekolah menengah atas di Surakarta, Jawa Tengah, hampir semua anak yang mau melanjutkan ke bangku kuliah ikut bimbingan tes -- nama popular program bimbel saat itu.

      Bimbingan Tes adalah industri yang berkembang pesat pada pertengahan 1990'an karena ketakutan gagal lolos tes ini, dan nyatanya masih subur sampai sekarang. Saking eksisnya ritual bimbingan tes sebelum seleksi PTN ini, sampai-sampai Rano Karno yang sedang kondang karena peran dalam sinetron Si Doel Anak Sekolah jadi bintang iklan salah satu lembaga bimbingan tes terbesar di Indonesia kala itu.

     Meski begitu, belum pernah terdengar ada yang punya ide baik di kalangan guru maupun pejabat dinas pendidikan, untuk memacu kualitas SDM dan membuat siswa lolos PTN dengan memulai sekolah jauh lebih pagi, misalnya pukul 05.00. 

    Mungkin karena ini maka perintah Gubernur NTT Viktor Laiskodat agar siswa SMA unggulan di NTT masuk sejak pukul 05.00 WIT jadi kontroversi.

     Perintah itu, menurut Gubernur dilakukan demi menembus seleksi universitas bergengsi di Indonesia, juga Akpol, Akmil, dan bahkan "menuju standar Harvard sekalipun". Strategi dramatis ini ditempuh karena "standar NTT tidak sama dengan Jakarta".

    Di Jakarta, di tengah ramainya kritik terhadap sang Gubernur, Menteri Koordinator Kesra Muhajir Effendy justru mengatakan ide itu bagus sebagai bagian dari revolusi mental. Juga agar pendidikan di NTT "tidak terjebak di zona nyaman dalam ketidakmajuan".

     Tidak ada yang bisa membantah bahwa seperti yang saya alami 30 tahun lalu, seleksi masuk PTN bergengsi masih jadi momok bagi siswa di seluruh Indonesia. Segala cara mulai dari yang konvensional model bimbel sampai yang kriminal model joki seleksi ditempuh. Pengalaman pribadi melihat anak menempuh seleksi ini beberapa tahun lalu menunjukkan, momok masuk PTN juga sudah merupakan bagian dari trauma nasional bagi jutaan orang tua di Indonesia.

    Bisa dibayangkan beratnya seleksi ini untuk siswa dari sekolah dengan akses yang jauh lebih terbatas, seperti NTT, kalau untuk yang di Jawa saja demikian halnya.

   Kalau digabungkan dengan pengalaman yang sama untuk berbagai negara lain di dunia, barangkali bisa ditarik garis lurus bahwa seleksi masuk perguruan tinggi ternama selalu berlangsung sangat ketat. Standar yang dihasilkan sekolah tanpa ekstra bantuan dari proses bimbel acap kali tidak akan mampu menembusnya.

    Alih-alih membahas substansi persoalan yang sudah puluhan tahun berlangsung di Indonesia ini, Gubernur Laiskodat rupanya lebih suka memilih jalan pintas. Caranya dengan memerintahkan sekolah mulai mendekati jam subuh. 

    Asumsi yang dengan mudah dipatahkan oleh puluhan studi tentang jam ideal masuk sekolah di pagi hari. Bahkan studi oleh para peneliti Harvard, universitas paling prestisius dalam daftar target Gubernur Laiskodat, menunjukkan makin siang jam masuk sekolah bisa jadi justru makin baik untuk kualitas belajar-mengajar anak.

    Faktor penentuan keberhasilan belajar bukan cuma soal durasi waktunya. Justru jika dipaksakan terlalu pagi, siswa akan stres karena kurang tidur, sulit konsentrasi dan dalam jangka panjang berisiko menimbulkan problem obesitas dan kesehatan mental.

     Tak perlu jauh sampai Harvard, poin-poin ini sudah berkali-kali disuarakan pada ahli pendidikan di Kupang sampai Jakarta. Ada alasan kenapa tak ada negara maju di dunia yang mewajibkan sekolah dimulai sejak hari masih gelap gulita: karena bukannya membantu, justru strategi ini akan mengganggu pencapaian pembelajaran yang berkualitas.

    Gubernur NTT perlu mendengar para ahli sebelum dampak buruk kebijakan jadi kenyataan. Sementara di Jakarta, seorang pejabat dengan kaliber Menko Kesra seperti Muhadjir Effendy sebaiknya mendengar juga dari para bawahan dan staf ahli: apakah substansi persoalan seleksi masuk PTN ini layak diselesaikan dengan masuk sekolah jam 05.00 pagi?

   Lebih lagi karena isu pendidikan bukan barang asing bagi Pak Muhadjir, karena jabatan menteri Pendidikan dan rektor universitas yang sempat disandangnya.

     Perdebatan ini juga mestinya jadi momentum ideal bagi Kemendikbud Ristek Dikti untuk mengingatkan para pembuat kebijakan: kalau memang tujuannya adalah mengatrol kualitas pendidikan, setidaknya pertimbangkan berbagai studi yang sudah jelas dibuat dengan sandaran ilmiah.

     Sudah jelas kesimpulan dari berbagai riset global mengatakan jam ideal sekolah dimulai setidaknya pukul 08.00 pagi. Jadi kenapa mayoritas sekolah di Indonesia masih mewajibkan jam belajar dimulai dari pukul 07.00, bahkan 06.30 seperti banyak sekolah negeri di Jakarta?

    Kalau perubahan tak dianggap perlu dilakukan, mungkin memang sudah sejauh itu jarak antara bukti ilmiah dan para pejabat kita.***

Penulis  Lulus studi Science Tech in Society dari University College London dan sekarang bekerja untuk CNN Indonesia. Penggemar siaran radio dan teka-teka silang.