Lebih Dekat dengan Bagindo Azizchan, Wali Kota Padang yang Gugur di Tangan Belanda Berpredikat Pahlawan Nasional

(Dok:Net)

JAKARTA (SURYA24.COM) JAKARTA- Sumatera Barat terkenal sebagai daerah kelahiran banyak pahlawan nasional. Salah satunya, Bagindo Azizchan, Wali Kota Padang yang gugur di tangan penjajah Belanda.

    Wali Kota muda ini gugur saat usianya belum genap 37 tahun. Dia meninggal dunia dengan luka di bagian kepala, termasuk luka tembak.

     Anak pasangan Bagindo Montok dan Djamilah ini lahir di Alang Laweh, Kota Padang, Sumatera Barat pada 30 September 1910.

   Sejak kecil, tulis merdeka.com, Bagindo Azizchan terkenal aktif dalam dunia pendidikan. Sebagaimana dinukilkan Hasril Chaniago dalam buku "101 Minang di Pentas Sejarah", dia bersekolah di Hollands Inlandsche School (HIS) di Padang ketika berumur tujuh tahun.

    Tamat HIS tahun 1923, Bagindo Azizchan meninggalkan Padang dan melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Surabaya. Setelah tamat, dia melanjutkan pendidikan Algeemen Middelbare School (AMS) di Batavia (Jakarta saat ini) dan tamat pada 1932.

    Dari AMS, Bagindo Aziz Chan melanjutkan pendidikan di Rechts Hooge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Perjalanan tak selalu mulus, pendidikannya harus terhenti pada Candidat II karena kekurangan biaya. Kendati demikian, Bagindo Azizchan berhasil menjadi pengacara di Batavia.

     Dijelaskan pula, Bagindo Azizchan profesi sebagai pengacara tidak lama digelutinya dan pulang ke kampung halaman pada 1934 untuk mengajar di Nederlands Indische Kweekschoo (NIK) di Bukittinggi. Kemudian pindah ke Madrasah Islamiyah (MI) di Padang Panjang. 

    Tidak berselang lama, Bagindo Azizchan pindah mengajar ke Padang di Normaal School. Di penghujung pemerintahan Belanda, ia mendirikan sekolah Daarul Maarif di Pariaman hingga menjadi pemimpin Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) untuk wilayah Sumatera Barat.

    Selanjutnya, setelah pada masa pemerintahan Jepang 1942, Bagindo Azizchan bekerja di Kantor Penerangan Pemerintah Pendudukan Jepang. Semasa itu pula ia menerjemahkan buku-buku berbahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia.

Wali Kota Padang yang Bergelar Pahlawan

     Pada 23 Januari 1946, Bagindo Azizchan diangkat menjadi Wakil Wali Kota Padang mendampingi Abu Bakar Djaar. Kemudian, 15 Agustus 1946, ia resmi diangkat menjadi Walikota Padang menggantikan Abu Bakar Djaar yang diangkat menjadi Residen Sumatera Timur.

     Di masa kepemimpinannya, Kota Padang menjadi incaran tentara Belanda dan Sekutu. Bagindo Azizchan dianggap sebagai orang berbahaya, sehingga dibunuh pada bulan puasa, tepatnya 19 Juli 1947 di Simpang Kandih Nangalo.

     Bagindo Azizchan mengalami luka tembak di bagian kepala yang pelurunya menembus dagu dan ubun-ubun. Dia gugur saat menuju ke Kedudukan Residen Sumatera Barat yang berlokasi di Bukittinggi.

    Hampir 60 tahun sejak kematiannya, pada 7 November 2005, atas dedikasinya, Bagindo Azizchan dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Gugurnya Bagindo Azizchan

     Gugurnya Bagindo Azizchan tidak terlepas dari keinginan tentara Belanda pada 1947 untuk menjajah kembali Indonesia khususnya Padang. Saat itu, pusat pemerintahan Sumatera Barat dipindahkan dari Kota Padang ke Bukittinggi, sehingga mengharuskan Wali Kota Padang untuk melaporkan situasi Kota Padang kepada Dewan Eksekutif Sumatera Barat yang berkedudukan di Bukittinggi.

 

     Dari beberapa literatur, gugurnya Bagindo Azizchan diceritakan ditembak mati pada bagian kepala oleh tentara Belanda. Sementara, Siti Fatimah dan kawan-kawan menuliskan dalam buku "BGD.Azizchan, 1910-1947 Pahlawan Nasional dari Kota Padang" bahwa Wali Kota Padang itu meninggal karena pukulan benda keras pada bagian kepala.

     Visum tim dokter di Bukittingi menyatakan Bagindo Azizchan meninggal disebabkan pukulan menggunakan benda keras pada bagian kepala hingga menghantam bagian telinga.

    Dijelaskan juga dalam buku itu, untuk mengelabui masyarakat, Belanda membuat jasad Bagindo Azizchan ditembak pada bagian kepala, sehingga kematian terkesan karena peluru nyasar dari pasukan Republik.

    Selesai divisum, akhirnya jenazah Bagindo Azizchan dimakamkan di makan Taman Pahlawan Bahagia di Bukittingi.

     Dalam itu buku itu juga dijelaskan, prakondisi menjelang terbunuhnya Bagindo Azizchan berawal pada sore hari 19 Juli 1947 yang juga bertepatan pada bulan puasa, Bagindo Azizchan menaiki mobil beserta 6 orang, termasuk istri, sanak keluarga, serta stafnya. Mereka berangkat dari Padang menuju Bukittinggi menggunakan mobil dan melewati pos Belanda di Jembatan Purus di Padang.

    Setibanya di Ulak Karang, mobil yang membawa Bagindo Azizchan dicegat dua serdadu Belanda. Mereka meminta Bagindo Azizchan ikut menggunakan mobil ke daerah Kandih, Kecamatan Nangalo dengan dalih untuk mendamaikan kekacauan yang terjadi kala itu pejuang Indonesia.

    Sebagai Wali Kota, Bagindo Azizchan terkenal akan perhatiannya dan tanggung jawabnya kepada masyarakat hingga memutuskan untuk menuruti perkataan serdadu Belanda. Setibanya di lokasi, Bagindo Azizchan mendapatkan beberapa pukulan kemudian ditembak pada kepala hingga menebus pangkal telinga.

   Dua hari setelah peristiwa itu, 21 Juli 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer pertama di Pulau Sumatera dan Jawa.

 

Peninggalan Bagindo Azizchan

     Di lokasi gugurnya Bagindo Azizchan dibangun tugu peringatan berbentuk kepala tinju pada 1983 silam, hingga saat ini sering dikenal masyarakat dengan Simpang Tinju.

    Selain tugu, sejumlah peninggalan Bagindo Azizchan kini masih dirawat, seperti rumah kelahirannya berlokasi di Keluruhan Alang Laweh, Kecamatan Padang Selatan, yang sekarang resmi dijadikan museum oleh Pemerintah Kota Padang.

    Tidak hanya itu, Bagindo Azizchan juga digunakan sebagai nama jalan dan gedung di Kota Bukittinggi dan Kota Padang.

     Selasa, (7/3) siang merdeka.com mendatanggi rumah kelahiran pahlawan nasional asal Kota Padang itu. Bangunan berwarna biru muda itu terbuat dari kayu yang dikelilingi rumah-rumah warga.

    Rumah itu memiliki 3 kamar dan 2 pintu utama. Pemandu museum Refan Defri mengatakan, tidak ada catatan pasti mengenai tahun beridiri rumah masa kecil Bagindo Azizchan.

    "Catatan pastinya tidak ada, kita berpedoman kepada ayah Bagindo Azizchan yang mulai bekerja sebagai kepala stasiun kereta api di Padang tahun 1.900 awal," tuturnya.

    Rumah di atas tanah seluas 450 meter persegi ini terbengkalai karena tidak adanya anak hingga sanak saudara Bagindo Azizchan yang tinggal di Kota Padang.

    "Melihat kondisi rumah masa kecil Bagindo Azizchan yang terbengkalai akhirnya dibelilah oleh Pemerintah Kota Padang tahun 2010," tuturnya.

    Sejak dibeli Pemkot Padang, bentuk rumah hingga warna sampai sekarang masih sama seperti semula. Dan pada tahun 2017 dan 2018 dilakukan renovasi.

    "Kita lalukan renovasi pada bagian jenjang hingga pembuatan kamar mandi. Setelah selesai direnovasi tahun 2019 akhirnya rumah ini ditetapkan sebagai museum oleh Pemerintah Kota Padang," tuturnya kepada merdeka.com.

     Bagindo Azizchan menempati rumah ini mulai dari kelahiran sejak 1910 hingga akhirnya meneruskan pendidikan ke luar daerah Sumatera Barat. Semasa kecil Bagindo Azizchan aktif menimba ilmu agama dan belajar mengaji di surau atau musala.

    "Bagindo Azizchan meninggalkan rumah itu ketika menempuh pendidikan keluar Padang untuk bersekolah di Mulo di Surabaya dan kembali lagi ke Ranah Minang sekitar 1933," tuturnya.***