Tolak Kasad Pilihan Presiden Angkatan Darat Kompak Boikot Pelantikan: Nasution Geram Ada Tentara Pungut Pajak Minta Makan dan Kambing: Jangan Jadi Parasit

Bambang Utoyo Dilantik menjadi Kasad. (dok:©2023 Merdeka.com)

JAKARTA (Surya24.Com)- Demonstrasi besar terjadi pada 17 Oktober 1952. Penggeraknya, perwira Angkatan Darat. Mereka mendesak Presiden Sukarno membubarkan DPR. Tidak tanggung-tanggung, mereka tak segan mengarahkan beberapa meriam ke istana.

  Demonstrasi ini dipicu perpecahan di tubuh Angkatan Darat karena ditunggangi kepentingan politik dari partai yang duduk di DPR.

  Sukarno keluar Istana dan menghadapi langsung para demonstran. Di hadapan massa, dia mengungkapkan ketidakmungkinannya untuk membubarkan begitu saja parlemen karena dia bukan seorang diktator.

   Namun dia menjanjikan akan mengadakan pemilihan umum secepatnya. Begitu mendengar penjelasan Presiden massa pun menyambutnya dengan teriakan 'Hidup Bung Karno' lantas membubarkan diri.

   Dikutip dari merdeka.com setelah peristiwa itu, A.H. Nasution diberhentikan dari jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad). Pasca lengsernya Nasution, para politisi berusaha memengaruhi dan menguasai Angkatan Darat.

   Menurut Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967, Peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan puncak kemuakan kelompok tentara (Angkatan Darat) terhadap sepak terjang kaum politisi yang alih-alih berusaha memperbaiki kondisi ekonomi rakyat (termasuk tentara di dalamnya) malah bertarung sendiri di parlemen. Secara pribadi Presiden Sukarno sendiri kerap mendapatkan peringatan soal ini dari beberapa perwira. Namun Bung Karno malah 'mengejek' para opasir Angkatan Darat.

  "Dia menyatakan bahwa kami (tentara) tak tahu apa-apa dan tahunya hanya berperang saja, tapi tidak bisa berpikir," ujar Letnan Jenderal (Purn) Ahmad Kemal Idris.

  Penghujung tahun 1953, Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri mengangkat beberapa perwira Angkatan Darat. Langkah ini memicu ketegangan baru.

Boikot Pemerintah

   Peristiwa 27 Juni 1955 tercatat sebagai pembangkangan Angkatan Darat atas keputusan pemerintah. Wakil Kepala Staf Angkatan (Wakasad) Kolonel Zulkifli Lubis menginstruksikan anggota Angkatan Darat untuk tidak menghadiri acara pelantikan Kolonel Bambang Utoyo sebagai Kasad.

  "Pelantikan tetap dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 1955 di Istana Merdeka, tetapi diboikot oleh seluruh Panglima Tentara dan Teritoririum sekalipun mereka pada saat itu berada di Jakarta," seperti dikutip dalam buku Sejarah TNI Jilid II.

  Zulkifli Lubis berlasan, pemboikotan pelantikan Bambang Utoyo sebagai upaya menjaga keutuhan Angkatan Darat. Tindakan ini juga menunjukkan sikap mereka menolak mengadakan serah terima dengan Kasad yang baru Mayor Jenderal Bambang Utoyo.

  Setelah peristiwa 27 Juni 1955, parlemen mengajukan mosi tidak percaya kepada pemerintah. Mosi diajukan Zaenal Baharudin. Mosi itu diikuti pengunduran diri Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri.

   Setelah itu kabinet Ali mengembalikan mandatnya kepada Presiden pada tanggal 24 Juli 1955. Penyelesaian ketegangan dalam Angkatan Darat dilanjutkan oleh kabinet Burhanudin Harahap.

Pengangkatan Nasution

  Usaha pemerintah dalam menyelesaikan masalah TNI AD sesuai dengan Piagam Yogyakarta, dibahas dalam sidang kabinet tanggal 25 Oktober 1955. Untuk mengisi kekosongan Kasad, diajukan beberapa nama oleh Angkatan Darat. Seperti Kolonel M. Simbolon, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Alex Kawilarang, Kolonel Dajtikusumu, dan Kolonel A. H. Nasution.

   Dari beberapa nama yang diajukan, Angkatan Darat memercayakan pemilihan Kasad oleh Pemerintah. Pembahasan oleh pemerintah (Kabinet) dilakukan selama tiga malam berturut-turut.

  Perdana Menteri Burhanudin Harahap saat itu merangkap juga sebagai Menteri Pertahanan, memutuskan mengangkat Kolonel A.H. Nasution sebagai Kasad.

Nasution Geram 

 Kisah lainnya, hari itu, 1 Januari 1949. Kolonel Nasution selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa mengeluarkan instruksi. Surat Instruksi Bekerja Untuk Suplai No. 4/MBKD/1949 itu menggambarkan kemarahan Nasution. Ada oknum tentara yang mengaku pasukan gerilya, tapi mencoreng perjuangan.

  Oknum pasukan tersebut justru memeras rakyat. Mereka membuat rakyat terbebani.

  "Timbul pasukan-pasukan baru yang mengaku pasukan gerilya dan lantas meminta dijamin oleh rakyat, minta makan, minta kambing dan sebagainya," tulis Nasution dalam surat instruksi.

  Peristiwa itu bisa terjadi karena ada kaitannya dengan pemenuhan logistik yang merupakan fokus utama dalam perang gerilya. Pasukan Teritorial memang memiliki tugas mengumpulkan bahan makanan. Baik mentah maupun matang. Dalam usaha mengumpulkan bahan pangan, biasanya menerima atau meminta dari rakyat.

  Kondisi ini yang 'dimanfaatkan' oleh oknum tentara sehingga timbul pandangan bahwa rakyat wajib memberikan semua kebutuhan pasukan gerilya.

  "Disamping itu sering kali pula mereka memungut pajak-pajak di pasar-pasar dan mengambil barang milik penduduk yang ditinggal mengungsi," seperti dikutip dalam buku Peranan Desa Dalam Perjuangan Kemerdekaan: Studi Kasus Keterlibatan Beberapa Desa di Daerah Istimewa Yogyakarta Periode 1945—1949.

Parasit Rakyat

  Nasution mengakui, peran rakyat sangat besar. Mereka diharapkan membantu keperluan pasukan TNI yang melakukan gerilya. Sekaligus tidak bekerja sama dengan pihak Belanda. Bagi Nasution, partisipasi rakyat adalah modal utama keberhasilan Perang Rakyat Semesta atau yang biasa disebut Permesta.

  "Akan tetapi yang demikian bukanlah berarti, bahwa rakyat diwajibkan memberi dan melayani segala-galanya. Sebagai gerilya rakyat haruslah diusahakan supaya sedikit-sedikitnyalah terasa sebagai beban oleh rakyat," ungkap Nasution dalam buku Pokok-Pokok Gerilya.

  Mengutip merdeka.com, Nasution menganggap penting untuk menjaga hubungan baik dengan rakyat. Tentara republik harus menjadi harapan rakyat. Bukan sebaliknya, menjadi penindas rakyat. Sangat berbahaya jika rakyat justru berbalik melawan pasukan gerilya karena merasa terus menerus diperas.

  "Dalam tingkatan demikian ia bukan lagi gerilya rakyat, melainkan parasit rakyat, penindas rakyat. Dengan demikian rakyat sendiri akan menggerilya kepadanya, rakyat sendiri, ibu-bapaknya sendiri, yang akan memberantasnya, bukan hanya musuh lagi," ungkap Nasution.

  Nasution meminta semua pihak lebih mawas diri terhadap teror berkedok perjuangan. Menurutnya, ini penting untuk menjaga rakyat sebagai bagian dari perjuangan Permesta. Di mana, rakyat dilibatkan untuk melawan Belanda yang berencana kembali berkuasa di Indonesia.

Perang Gerilya

   Pada akhir tahun 1948, tepatnya 19 Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer kedua. Pasukan Belanda berhasil menduduki Ibukota Republik Indonesia saat itu yakni Yogyakarta. Kondisi ini membuat TNI dan rakyat melaksanakan Perang Gerilya.

  "Selama bergerilya itu Angkatan Perang dan rakyat secara konsepsional diikutsertakan dalam pertahanan negara, yang dikenal dengan nama Perang Rakyat Semesta yang pada waktu itu juga dikenal dengan sebutan bahasa Inggris total people’s defence," seperti dikutip dalam buku Pejuang dan Prajurit.

   Sangat sulit bagi Tentara Nasional Indonesia membendung kembalinya Belanda ke Indonesia. Perang secara frontal hanya akan memakan lebih banyak korban dan mempercepat pendudukan. Karena itu, harus mencari strategi untuk mempertahankan Republik Indonesia. Perang gerilya adalah jalan keluarnya.

   Sebelum Belanda kembali ke Indonesia, Panglima Besar Jenderal Soedirman sudah mempercayakan Kolonel A. H. Nasution untuk merancang suatu strategi atau siasat. Siasat tersebut yang akan digunakan sebagai persiapan ancaman Agresi Militer susulan oleh Belanda. Perintah Siasat No. 1/1948, pada tanggal 12 Juni 1948 merupakan untuk melaksanakan Perang Rakyat Semesta atau biasa dikenal dengan Perang Gerilya.***