Ini Dia Suami Istri yang Membuat Jenderal Soedirman Terharu dan Menitikkan Air Mata, Siapakah Mereka?

Ilustrasi (Dok:Net)

 

JAKARTA (SURYA24.COM)  - Detik-detik saat Panglima Besar TNI meninggalkan Desa Pakis untuk kembali ke Yogyakarta. Suasana pertemuan pagi itu berlangsung agak muram. Di atas kursi sederhana milik Djaswadi Darmowidodo (Lurah Pakis), Panglima Besar Letnan Jenderal Soedirman tampak duduk dalam wajah haru.

Beberapa orang desa duduk di hadapannya. Setelah lama terdiam, dalam nada bergetar namun tetap tenang, Soedirman pun berkata dalam bahasa Jawa halus.

 

"Kang Lurah dan Yu Lurah, setelah sekian lama saya rasakan bahwa saya dan keluarga saya serta seluruh anak buah telah berhutang budi yang besar sekali kepada Kang Lurah sekalian dan Penduduk Pakis. Saya tidak bisa membalas kembali hutang budi ini, selain hanya senantiasa berdoa memohon kepada Yang Maha Kuasa, semogalah dengan ridho-Nya penduduk Pakis ini kelak menemukan rejaning zaman (zaman sejahtera dan aman tenteram). Dan nanti apabila keadaan sudah aman, saya berangan-angan untuk mengajak anak-anak dan ibunya untuk datang menengok ke Desa Pakis ini guna menyampaikan terimakasih dan sekaligus ingin dapat turut menyongsong datang terwujudnya kerahjaan zaman itu," demikian pidato perpisahan Soedirman seperti dikutip Roto Soewarno dalam bukunya, Pak Dirman Menuju Sobo dilansir merdeka.com.

Momen Penuh Haru Bagi Soedirman

Roto Soewarno adalah putra dari Lurah Pakis. Menurut Tjokropranolo dalam bukunya Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia (Kisah Seorang Pengawal), Roto-lah yang mendampingi Djaswadi saat menemui staf pengawal Panglima Besar Soedirman guna menawarkan Desa Pakis sebagai menjadi tempat tinggal sementara sang jenderal selama diburu militer Belanda.

 

Demi mendengar pidato itu, Lurah Pakis dan istri hanya diam tefekur. Namun dengan terbata-bata, akhirnya dia pun menjawab ucapan terimakasih dan perpisahan Soedirman, juga dalam bahasa Jawa kromo inggil yang sangat baik:

 

"Saya beserta Istri bersama seluruh Penduduk Pakis menghaturkan beribu banyak terimakasih karena panjenengan (anda) dan rombongan telah berkenan menetap tinggal di sini, yang sesungguhnya keadaanya sangat tidak layak bagi panjenengan dan rombongan. Semua itu tidak lain karena hanya demikianlah kemampuan rakyat desa dalam membantu panjenengan dalam perjuangan membela tanah air dan kemerdekaan kita ini. Saya juga memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas semua kekurangan itu, kekhilafan seluruh keluarga saya beserta kekhilafan seluruh penduduk Pakis selama melayani panjenengan dan rombongan. Mohon maaf jika dalam pergaulan ada hal-hal yang tidak pantas dan kurang sopan. Itu terjadi karena kami di desa tidak paham tata cara pergaulan seperti priyayi kota."

 

Dalam kesempatan itu, Lurah Pakis juga memohon agar usai sarapan, Soedirman berkenan menyisakan daharan (makanan) di piringnya dan mengizinkan dirinya dan istrinya untuk melorod (menghabiskan sisa makanan sebagai tanda hormat, bakti dan pengabdian yang tak akan berakhir sampai kapanpun) dilanjutkan dengan melakukan sembah sujud sungkem di lutut Soedirman.

 

Begitu mendengar penuturan dan permohonan itu, lagi-lagi Soedirman hanya bisa terdiam. Kemudian dia berkata dalam nada pelan dan lembut.

 

"Memenuhi permohonan Kang Lurah beserta istri, saya bisa memahami maknanya. Meskipun dengan perasaan yang penuh haru, saya akan penuhi permohonan itu dengan harapan agar semua itu menjadi pupuk sebagai sarana mengeratkan tali persaudaraan antara saya dengan Kang Lurah dan keluarga. Sebelum dan sesudahnya, saya minta maaf kepada Kang Lurah dan Yu Lurah, karena ini berarti saya harus memberikan makanan sisa. Terlebih, secara umur, Kang Lurah lebih tua dibandingkan saya."

Air Mata Sang Panglima Besar

 

Obrolan itu diakhiri dengan acara makan pagi. Hanya sebentar melakukan sarapan, Soedirman lalu mengangkat piringnya dan langsung memberikannya kepada Lurah Pakis disaksikan seluruh hadirin. Dengan tangan agak gemetar, Lurah Pakis menerima sisa makanan itu. Dengan sopan, dia menghabiskannya bersama sang istri hingga tandas tak tersisa.

 

Usai melorod kedua pasangan suami isteri itu lantas mendekati tempat duduk Soedirman secara pelan. Dengan muka tertunduk kemudian mereka duduk bersila di tanah, persis di hadapan Soedirman seraya berkali-kali menyeka air mata yang bercucuran. Soedirman cepat paham. Digesernya letak kursi yang didudukinya. Sujud sungkem pun berlangsung secara takzim.

 

Kamis, 7 Juli 1949. Diiringi sinar mentari pagi yang hangat, dalam sebuah gubuk sederhana di suatu lereng gunung yang tandus, hati sang jenderal menjadi luluh. Bukan oleh api mesiu, tetapi oleh sentuhan kasih dan hormat dari manusia-manusia sederhana yang selama tiga bulan lebih menjadi pelindungnya.

 

Soedirman lantas mengajak Lurah Pakis dan Yu Lurah berdiri. Dipeluknya kedua orang tersebut. Tanpa menghilangkan kharisma keagungannya sebagai panglima, Soedirman pun tak ragu-ragu membiarkan air mata sambung menyambung membasahi kedua pipinya.***