Tak Banyak yang Tahu Ternyata Ini Penyebab Konflik Sampit, Kerusuhan antara Suku Dayak dan Madura, Apa Itu?

dok net

JAKARTA (SURYA24.COM)- Seperti ramai diberitakan konflik Sampit yang terjadi pada Februari 2001 silam menjadi catatan kelabu bagi sejarah Indonesia. Sebanyak 600 orang dilaporkan tewas akibat kerusuhan di Sampit yang merupakan ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah.

 Tak hanya itu, ribuan orang juga memutuskan untuk mengungsi dari daerah tersebut lantaran perseteruan antar suku yang mengerikan. Kerusuhan mulai mereda setelah pemerintah meningkatkan keamanan, mengevakuasi warga, dan menangkap sejumlah provokator. 

Dikutip dari kompas.com, dibangun juga tugu perdamaian di Sampit untuk menandai perjanjian damai antara suku Dayak dan Madura. 

Awal mula konflik Sampit Konflik Sampit merupakan kerusuhan antarsuku yang melibatkan orang Dayak sebagai penduduk asli dan suku Madura sebagai pendatang. Konflik Sampit diawali dari pembakaran salah satu rumah milik orang Dayak di Jalan Padat Karya pada Minggu (18/2/2001) dini hari. 

Dilansir dari Kompas.com, muncul dugaan bahwa pembakaran rumah tersebut dilakukan oleh orang Madura. Orang Dayak kemudian melakukan aksi balas dendam yang menyebabkan 1 orang Dayak dan 1 orang Madura tewas.

Kerusuhan selanjutnya pecah ke Jalan Tidar yang berjarak sekitar 500 meter dari Jalan Padat Karya. Lokasi tersebut dihuni lebih banyak orang Madura dan terjadi pula aksi pembakaran rumah. Akibatnya 3 penghuni rumah menjadi korban tewas sementara 1 orang meninggal karena terkena senjata tajam.

 Warga di Jalan Tidar yang mengetahui adanya kerusuhan kemudian berhamburan dan ada yang bersembunyi di semak belukar.

Meletusnya konflik sampit dijelaskan Abdul Rachman Patji dalam "Tragedi Sampit 2001 dan Imbasnya ke Palangka Raya (Dari Konflik ke (Re) konstruksi)" yang ditulis pada 2003 silam. Dalam publikasinya, ia menggarisbawahi bahwa konflik tersebut tidak disebabkan oleh kecemburuan orang Dayak terhadap orang Mandura yang dinilai lebih sukses di bidang ekonomi. 

Konflik Sampit, menurut Abdul menukil pernyataan tokoh masyarakat Dayak berinisial DC, disebabkan oleh benturan budaya. Ia menuliskan, pada saat itu orang Madura tidak mau memahami budaya masyarakat Dayak sebagai penduduk asli Kalimantan Tengah. 

Menurut catatannya, Kotawaringin yang menjadi daerah konflik pada saat itu merupakan wilayah dengan konsentrasi warga keturunan Madura terbanyak di Kalimantan Tengah.

Diperkirakan sebanyak 75.000 orang Madura tinggal di wilayah tersebut. Bahkan, orang Madura juga memiliki 4 wakil di DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur. Banyaknya jumlah orang Madura membuat kelompok ini merasa berpengaruh dan menguasai Sampit. 

Orang Madura menganggap Sampit merupakan Sampang II, wilayah lain dari Sampang yang berada di Pulau Madura. Orang Madura kemudian melakukan pembunuhan terhadap orang Dayak namun aksi ini diduga dipicu oleh perlakuan yang sama dari penduduk asli.

Konflik Sampit yang berawal dari kerusuhan antara orang Dayak dan Mandura di Sampit kemudian meluas ke kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Pada saat itu, sudah terjadi gelombang pengungsi menuju Palangkaraya namun kepindahan mereka diiringi berbagai isu. 

Pedagang di pasar, guru di skeolah, dan kantor-kantor pemerintah kemudian memutuskan untuk menghentikan aktivitas. Pada Senin (19/2/2001), Pemerintah Kota Sampit lalu menggelar pertemuan dari pagi hingga sore dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat. 

Pertemuan digelar untuk mencari solusi supaya Palangkaraya tidak mengalami kondisi seperti terjadi di Sampit. Sementara itu, berkembang pula kabar bahwa pihak keamanan di Sampit menahan sejumlah orang yang diduga terlibat kerusuhan. Beberapa di antara orang yang ditangkap merupakan orang Dayak. Karena jumlah yang cukup banyak,sekitar 38 orang yang semuanya orang Dayak kemudian dipindahkan ke tahanan Mapolda Kalimantan Tengah. 

Penahanan tersebut berujung pada protes yang dilayangkan orang Dayak yang menggelar unjuk rasa pada 21 Feruari 2001. Mereka meminta Kapolda Kalimantan Tengah untuk membebaskan para tahanan. 

Merujuk publikasi "Konflik Muslim Madura Vs Dayak di Sampit serta Diskursus Kaharingan Sebagai Klaim Agama", konflik Sampit juga diwarnai dengan ngayau. Ngayau meripakan pemenggalan kepala orang-orang Madura lalu mayat tanpa kepala dibiarkan bergelimpangan di jalan. 

Latar Belakang, Konflik, dan Penyelesaian 

Dikutip dari kompas.com, klnflik Sampit adalah kerusuhan antaretnis yang terjadi di Sampit pada awal Februari 2001.  Konflik ini dimulai di kota Sampit, Kalimantan Tengah yang kemudian meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya.  Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran Madura. 

 Kala itu, para transmigran asal Madura telah membentuk 21 persen populasi Kalimantan Tengah.  Akibatnya, Kalimantan Tengah merasa tidak puas karena terus merasa disaingi oleh Madura. 

Karena adanya permasalahan ekonomi ini, terjadi kerusuhan antara orang Madura dengan suku Dayak. Penyerangan ini lantas membuat 1.335 orang Madura harus mengungsi. 

Konflik Sampit yang terjadi tahun 2001 bukanlah sebuah insiden pertama yang terjadi antara suku Dayak dan Madura.  Sebelumnya sudah terjadi perselisihan antara keduanya.  Penduduk Madura pertama kali tiba di Kalimantan Tengah tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah kolonial Belanda. 

Hingga tahun 2000, transmigran asal Madura telah membentuk 21 persen populasi Kalimantan Tengah.  Suku Dayak mulai merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari Madura. Hukum baru juga telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi tersebut, seperti perkayuan, penambangan, dan perkebunan.

 Hal tersebut menimbulkan permasalahan ekonomi yang kemudian menjalar menjadi kerusuhan antarkeduanya.  Insiden kerusuhan terjadi tahun 2001. 

Kericuhan bermula saat terjadi serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Menurut rumor warga Madura lah yang menjadi pelaku pembakaran rumah Dayak tersebut.  Sesaat kemudian, warga Dayak pun mulai membalas dengan membakar rumah-rumah orang Madura. 

 Profesor Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim bahwa pembantaian oleh suku Dayak dilakukan guna mempertahankan diri setelah beberapa warga Dayak diserang. Disebutkan juga bahwa seorang warga Dayak disiksa dan dibunuh oleh diduga sekelompok warga Madura setelah sengketa judi di Desa Kerengpangi pada 17 Desember 2000.

Situasi kericuhan antara suku Dayak dengan Madura diperparah dengan kebiasaan dan nilai-nilai berbeda yang dimiliki keduanya. Seperti adat orang Madura yang membawa parang atau celurit ke mana pun, membuat orang Dayak berpikiran bahwa tamunya ini siap untuk berkelahi. 

Konflik Sampit sendiri diawali dengan perselisihan antara dua etnis ini sejak akhir 2000.  Pertengahan Desember 2000, bentrokan antara etnis Dayak dan Madura terjadi di Desa Kereng Pangi, membuat hubungan keduanya menjadi bersitegang. 

Ketegangan semakin memuncak setelah terjadi perkelahian di sebuah tempat hiburan di desa pertambangan emas Ampalit.  Seorang etnis Dayak bernama Sandong, tewas akibat luka bacok yang ia dapat. 

Kejadian ini kemudian membuat keluarga dan tetangga Sandong merasa sangat marah.  Dampak Dua hari setelah peristiwa tersebut, 300 warga Dayak mendatangi lokasi tewasnya Sandong untuk mencari sang pelaku. 

Tak berhasil menemukan pelakunya, kelompok warga Dayak melampiaskan kemarahannya dengan merusak sembilan rumah, dua mobil, lima motor, dan dua tempat karaoke, milik warga Madura. Penyerangan ini lantas membuat 1.335 orang Madura mengungsi. 

Penyelesaian 

Pada 18 Februari 2001 suku Dayak berhasil menguasai Sampit.  Polisi menahan seorang pejabat lokal yang diduga sebagai salah satu dalang di balik serangan ini.  Orang yang ditahan tersebut diduga membayar enam orang untuk memprovokasi kerusuhan di Sampit.

Kemudian, ribuan warga Dayak mengepung kantor polisi di Palangkaraya sembari meminta pembebasan para tahanan. Permintaan mereka dikabulkan oleh polisi pada 28 Februari 2001, militer berhasil membubarkan massa Dayak dari jalanan. Dari Konflik Sampit ini sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak. Konflik Sampit sendiri mulai mereda setelah pemerintah meningkatkan keamanan, mengevakuasi warga, dan menangkap provokator.

Untuk memperingati akhir konflik ini, dibuatlah perjanjian damai antara suku Dayak dan Madura.  Guna memperingati perjanjian damai tersebut, maka dibentuk sebuah tugu perdamaian di Sampit.