Kisah Perempuan yang Takut Dihamili Suami Sendiri, Kok Bisa? Begini Ceritanya

Ilustrasi (Dok:Net)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Kehamilan adalah periode yang penuh keajaiban dalam kehidupan seorang wanita. Proses yang luar biasa ini membawa perubahan signifikan, baik fisik maupun emosional, yang mengarah pada munculnya kehidupan baru. Mari kita telusuri lebih dalam mengenai tahapan-tahapan kehamilan, perubahan yang terjadi, dan bagaimana proses ini merupakan perjalanan yang luar biasa.

Pembuahan: Proses dimulainya kehidupan dimulai dengan pembuahan, di mana sel sperma bertemu dengan sel telur dan membentuk zigot.

Perkembangan Embrio dan Janin: Setelah pembuahan, zigot berkembang menjadi embrio, dan kemudian menjadi janin. Janin tumbuh dan berkembang dalam rahim ibu selama sekitar 40 minggu. Namun dibalik keajaiban proses kehamilan hingga persalinan, ada kisah menari berikut ini, simak yuk?

‘Mimpi Buruk?’

Mempunyai anak ibarat 'mimpi buruk' bagi Tari, yang membuatnya kerap menolak ajakan berhubungan badan dari suami.

Dikutip dari CNN Indonesia, Saya memperhatikan Dewa dari ujung meja rias di kamar berukuran 3x3 meter tempat kami biasa menghabiskan waktu untuk berbincang dan bertukar pikiran. Tumben sekali, malam ini, dia tidak berkumpul dengan kawan-kawannya di pos depan perumahan.

"Ya, kan, kangen. Masa aku nongkrong mulu. Quality time lah sama istri. Udah jarang banget," dia menjawab pelototanku.

Sebenarnya saya tak bertanya soal kenapa dia masih ada di rumah waktu itu. Tapi memang betul, dia yang masih betah ada di rumah pada Sabtu malam jelas membuatku terheran-heran.

Perlu diketahui, suamiku, adalah tipe manusia social butterfly. Temannya ada dimana-mana. Tak betah tinggal dan diam di rumah seharian penuh. Sementara saya lebih senang di rumah, mengurung diri di kamar, dan menikmati waktu sendirian.

Menikah, Tapi Tidur Terpisah

Kami berdua bertolak belakang dari segi apa pun. Selera musik, selera film, hingga cara menghabiskan waktu luang, semuanya berbeda. Tapi perbedaan ini justru membuat kami saling memahami dan melengkapi.

Kami tak pernah mengekang satu sama lain. Selalu mengizinkan satu sama lain untuk menghabiskan dan menikmati waktunya masing-masing.

Kembali ke ruangan 3x3 meter tadi, saya masih memelototi Dewa. Bingung karena dia masih di rumah dan beralasan tiba-tiba ingin quality time dengan istri. Apa ini?

Seketika saya langsung paham maksudnya. Pikiranku tiba-tiba panas, emosi langsung memenuhi hati.

"Enggak bisa [berhubungan intim], aku lagi dapet [menstruasi]." Kalimat itu tiba-tiba saja keluar dari mulut. Sebuah kalimat bohong. Saya tak sedang menstruasi.

 

Saya sengaja berbohong untuk menghindari atau menolak secara halus permintaan suami sendiri untuk berhubungan intim.

Alasan dan penolakan itu bukan kali pertama saya lakukan. Sudah tak terhitung berapa kali saya menolak berhubungan badan dengan suami sendiri.

Beribu alasan saya lontarkan, mulai dari lelah, tak enak badan, sedang menstruasi, bahkan sering juga saya pura-pura tidur duluan.

Saya yakin betul Dewa tahu bahwa saya sering berbohong untuk menolak ajakannya bercinta. Terbukti, intensitas ajakannya makin ke sini makin berkurang.

Intensitas semakin berkurang setelah kami sempat berbicara serius sekitar dua bulan lalu. Obrolan soal kehamilan dan segala hal yang saya takutkan: hamil, menyusui, dan memiliki anak.

Perkenalkan, nama saya Tari. Saat ini, saya baru menginjak usia 29 tahun. Sementara Dewa, suami saya, telah berusia 32 tahun.

 

Awal 2024 nanti, pernikahan kami resmi memasuki tahun ketiga. Usia pernikahan yang tidak baru, tapi juga belum terlalu lama.

Pernikahan kami lurus, adem, dan biasa saja. Kami tak pernah kehabisan ide untuk menikmati hidup. Tak pernah juga saling mengekang. Sebaliknya, kami justru membebaskan satu sama lain untuk menikmati hidup.

Kami berdua juga bekerja dan sama-sama punya penghasilan. Kami juga selalu menempatkan posisi secara setara, tak ada yang lebih unggul atau rendah. Suami dan istri sama-sama manusia yang harus saling melengkapi. Kira-kira itulah prinsip kami.

Kami juga tak pernah kehabisan waktu untuk saling bicara dan mesra-mesraan.

Ciuman di pagi hari, antar-jemput saat pulang kerja, saling ejek satu sama lain. Kami juga sering memperebutkan perhatian satu-satunya kucing peliharaan kami. Singkat kata, kami bahagia dan seolah tanpa masalah.

 

Tapi, masalah muncul saat kami, tepatnya Dewa, secara sepihak melepas alat kontrasepsi yang sudah setahun dipakainya setiap kali kami berhubungan badan.

"Kita kayaknya udah siap sekarang, aku udah mau punya anak." Tiba-tiba saja kalimat itu muncul dari suamiku.

Saat itu, Dewa menginjak usia 31 tahun dan saya 28 tahun. Menurutnya, secara psikologis, finansial, dan kemampuan, kami berdua siap untuk punya momongan. Tapi, kalau boleh jujur, mungkin lebih tepat kalau dibilang hanya dia yang merasa sudah sangat siap.

Saat itu, jawaban saya iya-iya saja, meski berbagai pertanyaan hilir mudik di kepala.

"Memang aku siap ya?"

"Memang aku mau ya punya anak?"

"Memang aku bisa ngurus anak?"

Semua pertanyaan itu selalu muncul. Tapi kala itu, saya masih bisa menepisnya dan mencoba sambil memberikan afirmasi, 'Bisa, pasti bisa. Kayaknya aku juga mau punya anak'.

 

Tapi, entah mengapa saya selalu tegang. Berhubungan badan tanpa pengaman rasanya malah sakit.

Kata beberapa dokter, rasa sakit dan tidak nyaman saat berhubungan seks bisa muncul karena pikiran.

Saya tak menikmati hubungan suami-istri itu. Salahnya, saya pura-pura enjoy dan tak berani jujur pada Dewa.

Ribuan tanya menyelimuti kepala. Apa yang membuat saya tak menikmati hubungan badan dengan Dewa? Padahal jelas, pernikahan kami bahagia dan tak ada masalah.

Sampai di satu titik saya sadar bahwa saya belum siap untuk memiliki bayi kecil yang menggemaskan. Atau, bisa juga dibilang, saya tak mau punya anak.

Saya takut setiap kali berhubungan badan. Saya takut dihamili suami sendiri.

Mulanya saya memilih diam. Tak pernah sekali pun mengutarakan perasaan yang sebenarnya. Saya paham, Dewa begitu menantikan kehadiran seorang anak di pernikahan ini.

 

Tapi apa lacur, pilihan untuk diam itu justru bikin saya sering menolak ajakan berhubungan badan. Kami praktis jadi jarang melakukannya. Jika dihitung, mungkin hanya sekali dalam dua bulan, atau bahkan tidak sama sekali.

Kau boleh saja bilang bahwa saya adalah istri yang egois. Tapi percaya-lah, saya juga merasa bersalah. Rasa bingung dan takut berkecamuk dalam diri.

Saya mencoba meminta pendapat beberapa teman dekat. Mereka tak mempermasalahkan soal pilihan saya untuk tak mempunyai anak.

Tapi, mereka bilang saya jahat. Semakin jahat jika saya terus menolak berhubungan tanpa mengatakan alasannya dan mencari solusi bersama.

Dari sana, saya memutuskan untuk bicara tentang semuanya pada Dewa. Tentang anak, dan tentang ketakutan yang terus menyelimuti diri.

Di luar prediksi, Dewa tak marah. Alih-alih marah, dia justru meminta maaf karena tak peka dan membiarkan saya menanggung beban itu seorang diri.

 

"Kamu seharusnya bilang dari awal, jadi bisa dicari solusinya bersama, bukan dipendam sendiri. Kalau begini, ngapain punya suami kalau ada masalah dimakan sendiri," kata dia waktu itu mencoba menenangkanku yang tak kuasa menahan tangis.

Bagi Dewa, keputusan memiliki anak harus berasal dari kedua pihak. Dia selalu ingin mempunyai anak. Tapi dia mencoba memahamiku, yang menurutnya, belum siap punya anak.

Ah.. Sesungguhnya saya kurang setuju dengan jawabannya. Dia bilang 'belum siap'. Padahal, saya jelas-jelas tak mau punya anak.

Tapi tak apa. Setidaknya itu cukup melegakan dibandingkan memendamnya seorang diri dan menjadi istri yang jahat seperti yang disebut teman-temanku.

Dewa tak masalah menunggu jika saya belum siap punya anak. Tapi, jika memang Tuhan memberikan kami anak di tengah kondisi saya yang belum siap, maka saya harus menerimanya.

"Ya, enggak apa-apa, aku enggak maksa. Tapi kalau dikasih [anak], ya alhamdulillah, jangan ditolak," kata dia.

Pelik memang jika kita bicara soal pilihan hidup di zaman kiwari. Kompromi sebenarnya jadi jawaban. Tapi mungkin baru kompromi seperti ini yang bisa kami lakukan sekarang.

Saya sadar, masalah belum sepenuhnya terselesaikan. Saya masih saja menolak berhubungan badan, Dewa juga masih saja berpikir bahwa saya 'hanya' belum siap punya anak.

Tapi, kami masih mesra dan baik-baik saja. Dan saya masih takut punya anak.***

Tulisan ini merupakan cerita dari pembaca CNNIndonesia.com, Alit (44). Love Story merupakan program kanal Gaya Hidup CNNIndonesia.com yang berisi tentang kisah cinta dan peliknya lika-liku kehidupan masa kini yang disajikan secara intim dan personal. Kirim tulisan pengalaman pribadi Anda dengan minimal 800 kata ke [email protected].