Kisah Duka dan Nestapa Bung Hatta Usai Mundur dari Wapres. Kok Bisa? Begini Ceritanya

Mohammad Hatta (Dok:©Koleksi pribadi keluarga)

JAKARTA (Surya24.com)- Bung Hatta menerima sumbangan lauk pauk Rp1.000 sebulan. Tak tahan, dia berkirim surat kepada Paduka Yang Mulia.

Masa pensiun Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia tidak selalu menyenangkan. Ada kalanya jauh dari perspektif hidup layak. Bahkan bertahan hidup dalam kekurangan.

Ini kisah masa pensiun Wakil Presiden Mohammad Hatta. Usai mundur dari pemerintahan tahun 1957, Hatta merasakan sulitnya menjalani hidup sebagai 'orang biasa'. Bapak Koperasi Indonesia tersebut kesulitan membayar tagihan listrik, gas, dan air minum.

Dalam buku Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman, Bung Hatta sampai tidak bisa melunasi pajak mobil yang dibelinya dari subsidi pemerintah. Tak hanya itu. Kediamannya di Vila Megamendung terpaksa diputus sambungan teleponnya. Lantaran tak mampu membayar tagihan yang nilainya berkali-kali lipat dari uang pensiunannya.

Saat Bung Hatta Omeli Perwira Tinggi Jepang Jelang Proklamasi Kemerdekaan

"Terserah kalau (telepon) mau dicabut," ujar Hatta pasrah melalui surat kepada Dirjen Pos, Telegraf, dan Telepon.

 

Sumbangan makan Rp1.000 per bulan

Urusan makan juga tak kalah menyedihkan. Hatta hanya menerima sumbangan lauk pauk Rp1.000 sebulan.

"Apakah ini bukan suatu penghinaan kepada RI?" kata Hatta kepada Menteri Urusan Anggaran Negara.

"Makanan kucing saya saja tidak akan kurang dari segitu sebulan" tambahnya.

Hatta lantas mengirimkan surat kepada Presiden Sukarno pada tahun 1963.

"Kepada 'Paduka Yang Mulia' Pensiunan ini mengeluhkan beban rakyat yang semakin berat, jurang kaya-miskin yang belum pernah terjadi, dan munculnya elite kapitalis baru yang tak tahu diri," tulis Bung Hatta dikutip merdeka.com.

 

Sebagai penutup, dia menambahkan bahwa tiga perempat uang pensiunannya habis untuk membayar tagihan listrik. Sehingga jumlah uang pensiun yang didapat tidak mencukupi kebutuhannya. Bahkan, istrinya terbiasa mencicil barang untuk menyiasati kekurangan.

 

Ketika Bung Hatta pensiun, belum ada ketentuan bagi pensiunan seorang Wakil Presiden Republik Indonesia. Berdasarkan sumber yang didapat dari Arsip Nasional Republik Indonesia, uang pensiun Bung Hatta pada tahun 1971 hanya berkisar Rp25.000.

Naik menjadi Rp1 juta pada tahun 1978. Jumlah tersebut sangat kecil bila dibandingkan dengan gaji yang didapatkan dengan penawaran-penawaran posisi penting dalam pemerintahan.

Kesederhanaan Bung Hatta

Dalam wawancara di sebuah televisi tahun 2021, Putri dari Bung Hatta yakni Meutia Hatta berbagi kisah kesederhanaan sang Wakil Presiden pertama Indonesia. Meutia menceritakan bagaimana Bung Hatta memisahkan kepentingan pribadi dan kepentingan nasional. Misalnya penggunaan mobil dinas.

"Mobil dengan plat mobil B 1745 hanya boleh digunakan oleh Bung Hatta ketika menjalankan tugasnya sebagai Wakil Presiden, bahkan sebagai anaknya tidak diizinkan untuk menggunakannya," kata Meutia.

Lalu, ada suatu riwayat ketika adik Bung Hatta meminta bantuan pemasangan telepon. Bung Hatta menolaknya. Dia lantas menyuruh adiknya untuk langsung menghubungi Telkom.

"Hal ini sudah termasuk ke dalam ranah pribadi, adiknya Bung Hatta bukanlah seorang pejabat, sehingga dia tidak mau membantunya."

Suatu ketika pada tahun 1950. Dikeluarkan Kebijakan Sanering alias pemotongan nilai mata uang. Bung Hatta tidak bercerita kepada istrinya mengenai kebijakan tersebut. Alasannya jelas, rahasia negara. Kebijakan itu bisa saja berimbas pada istrinya yang sedang mencicil mesin jahit.

"Tidak bisa saya beri tahu, nanti kamu akan memberi tahu orang-orang yang dekat dengan kamu, kalau tidak bisa membeli mesin jahit sekarang, nanti kita menabung lagi," pesan Bung Hatta pada istrinya.

 

Di periode setelah mundur sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, Bung Hatta pernah berpesan kepada anaknya untuk menjual buku-buku di perpustakaannya agar uangnya bisa digunakan sehari-hari. Akan tetapi, Meutia dan kedua anaknya yang lain tidak menghendaki hal tersebut.

Hatta Kritik Sosialisme Sukarno

Merasakan sulitnya kehidupan sebagai rakyat biasa, Hatta menuangkan pemikirannya. Hattanomics lahir sebagai kritik dan tanggapan atas kondisi Indonesia. Semuanya tak lepas dari Sosialisme ala Sukarno.

"Kita selalu berkoar-koar tentang Sosialisme. Tapi tindakan pemerintah kebalikan dari itu," kata Hatta kepada seorang Menteri di tahun 1960-an.

 

Harga bensin naik 62 kali lipat, tarif gas dan listrik melambung 20 kali, serta harga beras melompat-lompat tak terbeli. Bagi Hatta, cita-cita Sosialisme bisa dirumuskan dengan sederhana. Yakni bagaimana membuat ongkos hidup rakyat murah.

Sosialisme ala Hatta, ketidakadilan dan ketimpangan dapat diatasi dengan tiga jurus yang disebut sebagai Hattanomics. Yakni penguasaan aset oleh negara, kontrol terhadap pengusaha swasta, dan tumbuhnya perekonomian rakyat secara mandiri melalui koperasi.

Pilihan Hatta atas ketiga konsep tersebut bukan tak beralasan. Saat itu, Republik masih berusia masih berusia sangat muda. Tingkat pembangunannya masih terbatas. Publik pun belum memiliki tabungan yang memadai. Dengan modal kekayaan alam yang melimpah, jumlah penduduk yang besar dan kebiasaan tolong-menolong, Hatta yakin bahwa Sosialisme akan menjadi resep manjur.

Bung Hatta memberi catatan tentang penyakit yang menghalangi Sosialisme. Penyakit tersebut adalah nepotisme dan korupsi. Bung Hatta dikenal sebagai salah seorang yang sangat menjunjung tinggi kejujuran dan membenci korupsi.

"Jika tidak cukup uang untuk membeli ya sudah tidak usah membeli," ujar Bung Hatta.

Setelah mengetahui banyaknya penyelewengan, Hatta menjadi sulit membantah bahwa penolakan kekuatan kapital juga ikut mengerem laju perekonomian.

 

Menjelang tahun 1980, Hatta 'Sang Pejuang Anti-Kapitalis' mulai membuka diri untuk gelombang modal.

"Jika pemerintah tidak dapat melakukannya sendiri, maka modal boleh saja dipergunakan dengan syarat tetap menjaga kesuburan dan kelestarian alam Indonesia dan memberi upah yang layak," kata Bung Hatta.

Salah seorang wartawan, Dwi Setyo Irawanto memuji konsep yang dibidani Bung Hatta.

"Konsep Perekonomian Bung Hatta boleh saja usang, tetapi komitmennya terhadap rakyat kecil akan hidup abadi, terbukti bahwa pemikiran-pemikiran Hatta masih tersimpan dalam UUD 1945," katanya.

Dalam surat wasiat yang ditulis oleh Bung Hatta pada tahun 1975, Bung Hatta berpesan sebagai berikut.

"Apabila saya meninggal dunia saya ingin dikuburkan di Jakarta tempat diproklamasikannya Indonesia merdeka, saya tidak ingin dikuburkan di taman makam pahlawan (Kalibata), saya ingin dikubur di tempat kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya," pesan Hatta.***