Ini Pengelaman Nostalgia dari Keringat Para Pemburu Baju Bekas

Ilustrasi (Dok: CNN Indonesia)

BANDUNG (Surya24.com) - Pasar Cimol Gedebage, namanya. Bagi sebagian orang, pasar itu mungkin punya banyak kenangan. Pasar yang berada di timur Kota Bandung itu jadi tempat mereka berburu baju-baju bekas demi nama eksistensi. Katanya, supaya terlihat keren.

"Dulu, pakai baju yang dibeli di Gedebage, tuh, rasanya udah jadi yang paling keren," ujar Sada pada CNNIndonesia.com, Kamis (6/10) lalu. Lahir dan besar di Kota Bandung, Sada jadi salah satu para pemburu baju bekas di Gedebage sejak awal 2000-an.

Pusat baju bekas ini berada di dalam kawasan Pasar Induk Gedebage, Bandung. Letaknya agak menjorok ke dalam, tapi gedung itu menyimpan ratusan atau bahkan ribuan potong baju bekas yang masih layak pakai.

Melansir cnnindonesia.com, pasar ini memulai ceritanya di kawasan Cibadak, Bandung. Para penjual menjajakan baju-baju bekas layak pakai di sepanjang jalan.

Sejak awal 2000-an, Pemerintah Kota Bandung menyediakan tempat baru untuk para penjaja baju bekas itu di area Pasar Induk Gedebage. Di masa ini-lah, Pasar Cimol Gedebage menikmati masa emasnya.

"Dulu sering belanja di Gedebage, apalagi pas kuliah," ujar Sada.

Tabungan duit jajan yang seadanya, alih-alih dibelikan kaus dan jaket trendi ala clothing atau distro, justru duit dihabiskan untuk memborong baju dari Gedebage.

Alasan utamanya sederhana saja: murah. Sada membandingkan, satu kaus di clothing bisa sama dengan lebih dari tiga potong baju di Gedebage.

Lagi pula, namanya juga mahasiswa. Duit masih pas-pasan, hanya bergantung pada bekal jajan yang diberikan orang tua.

Selain murah, Gedebage juga menyimpan banyak pilihan mode. Turtleneck blouse, kardigan, dress lawas, bahkan hingga long coat selalu jadi incaran Sada. Udara dingin Kota Bandung memungkinkan Sada untuk bebas bergaya.

Sada tak pernah malu mengenakan baju bekas. Baju-baju itu bahkan dikenakannya dari acara ke acara demi eksistensi.

 

"Kayaknya dulu ada masa-masanya kamu bakal ngerasa bangga saat pakai baju produk Gedebage," ujar Sada. Dulu bahkan ada istilah 'made in Gedebage' yang digunakan untuk membanggakan baju-baju yang dibeli dari pasar tersebut.

Itu-lah mengapa, menurut Sada, Pasar Cimol Gedebage berperan penting dalam membangun eksistensi kawula muda pada masanya.

Rela keringat bercucuran

Pasar Cimol Gedebage selayaknya pasar pada umumnya. Kios-kios saling berhimpitan. Lorong jalan mungkin hanya cukup untuk satu orang. Bisa untuk dua orang, jika keduanya saling memiringkan badan.

Beruntung jika Anda datang saat pasar sedang tak terlalu ramai. Tapi, jika sedang ramai, jangan tanya soal bagaimana udaranya.

"Panas bukan main," kata Sada.

Kawasan Gedebage memang dikenal agak gersang. Dibandingkan kawasan utara Bandung, terik matahari tampaknya lebih terasa menyengat di Gedebage dan sekitarnya.

Tapi, kondisi itu tampaknya tak jadi soal bagi para pemburu baju bekas. Mereka rela bercucuran keringat demi mendapatkan baju dengan harga murah meriah.

 

"Keluar [pasar] bisa nenteng baju banyak. Tapi baju yang dipakai justru basah karena keringat," ujar Sada.

Belum lagi, belanja di pasar loak tentu tak semudah yang dipikirkan. Pembeli butuh waktu untuk memperhatikan baju dengan baik agar jangan sampai ada cacat.

Ditambah lagi, keinginan untuk menengok semua kios yang ada di pasar untuk memastikan mendapatkan baju yang tepat tak bisa dilawan.

Misalnya, saat ada yang menarik di satu kios, Sada memilih untuk tak langsung membelinya. Alih-alih demikian, Sada memilih untuk kembali berkeliling pasar mencari baju yang lain. Siapa tahu ada baju lain yang lebih menarik?

"Akhirnya enggak kelar-kelar. Misal udah keliling, tahunya tetap keukeuh pengin baju yang pertama dilihat. Eh, tapi lupa kios yang mana, jalannya lewat mana. Ya, udah, muter-muter lagi," cerita Sada, seraya tertawa mengenang.

Prada Lirik Pasar Busana Branded Bekas

Sada punya tips bagi siapa pun yang ingin berbelanja baju bekas di pasar loak. "Tak usah dandan aneh-aneh, biasa aja kayak mau ke warung," ujarnya. Kaus, celana pendek, sandal jepit, dan tas kecil. Penampilan itu cukup kece bagi para pemburu baju bekas.

 

Selain itu, ada juga tips yang tersebar di antara para pemburu baju bekas di Gedebage. Yakni, datang berbelanja di hari-hari tertentu. "Agak lupa, tapi kalau enggak salah hari Kamis atau Jumat," kata Sada.

Di hari itu, biasanya para penjual baru membuka bal--istilah untuk satu karung baju bekas--yang baru. Baju belum digantung dengan rapi, tapi masih dijajakan saling bertumpukan di lantai.

Dengan begitu, pengunjung masih bisa memilih baju-baju dalam tumpukan. Cara itu membuat kemungkinan untuk mendapatkan baju kece dengan harga yang lebih murah jadi lebih besar.

 

"Soalnya bajunya belum disortir [oleh penjual], terus harganya biasanya lebih murah," kata Sada mencoba mengingat.

Sama seperti Sada, Rima juga menghabiskan masa belianya dengan berbelanja baju bekas di Pasar Gedebage. Vest atau rompi adalah salah satu item favoritnya.

"Dulu hobi banget pakai vest, biar terkesan old school," kata Rima, Rabu (5/10).

Striped t-shirt, rompi, dan celana berbahan corduroy berwarna-warni jadi tampilan andalan Rima semasa kuliah.

 

"Dapat barang-barang kayak gitu yang murah, ya, di pasar loak," katanya.

Apalagi dulu, lanjut Rima, platform e-commerce belum banyak bermunculan seperti saat ini. Media sosial yang ada saat itu juga belum banyak digunakan sebagai medium berjualan. Belanja langsung ke pasar jadi satu-satunya pilihan.

Namun memang, Rima mengakui, seiring berjalannya waktu, harga baju bekas di pasar kian melambung. Ia menduga, salah satu pasalnya adalah penjual yang sudah mulai mengerti tren.

Rima mencontohkan saat kemeja berbahan flanel motif kotak-kotak tengah naik daun. Sebelum ngetren, Rima masih bisa mendapatkan kemeja flanel seharga Rp15 ribu.

"Tapi, pas makin ngetren, kok, harganya naik. Kaget," ujar Rima. Dalam waktu sekitar satu tahun, tiba-tiba saja Rima mendapati kemeja flanel di pasar yang dipatok harga Rp40-50 ribu.

Apalagi sekarang, saat muda-mudi mulai mengenal istilah 'thrifting', harga jelas semakin melambung. Beberapa baju bekas juga kini tak lagi hanya dijual di pasar, tapi juga di berbagai festival, toko offline yang lebih fancy, dan platform e-commerce.

Munculnya istilah thrifting dan ramainya isu soal limbah tekstil bikin pamor baju bekas kian melambung. Tapi, belanja baju bekas di zaman kiwari dirasa berbeda dengan dulu.

Dulu, belanja baju bekas tak pakai embel-embel ini dan itu. Tak ada juga istilah thrifting, thrift shop, atau preloved.

"Belanja baju bekas, ya, baju bekas aja. Belanjanya di pasar," kata Sada.

Alasannya juga sederhana, karena harga yang ditawarkan jauh lebih murah dibandingkan baju baru. Sada juga tak peduli dengan label baju yang dibeli.

"Merek kayaknya enggak jadi pertimbangan. Yang penting murah, fungsional, dan bagus," tambah Sada.

Sementara sekarang, Sada melihat, merek tampaknya jadi pertimbangan para pemburu baju bekas. Barang bekas tapi orisinal dirasa lebih baik dibandingkan barang palsu.

Tak ada pula iming-iming berkontribusi untuk mengurangi limbah tekstil. Sada menduga, isu mengenai limbah tekstil waktu itu tak semasif saat ini. Alhasil, kesadaran pun belum terbentuk.

"Dulu, beli baju bekas, karena murah aja intinya. Tapi kalau sekarang orang udah mikirin konsep gaya hidup berkelanjutan, bagus sih," ujar Sada.

Tak cuma itu, kini penjual baju bekas juga punya wadah yang lebih besar dari sekadar pasar loak. Baju bekas muncul di berbagai gelaran thrift festival dan toko online.

Di thrift festival, pembeli bisa berbelanja lebih nyaman, dihibur dengan penampilan band-band yang tengah naik daun. Barang-barang yang dijual juga secara khusus telah dikurasi oleh para penjual. Barang bagus jadi jaminan, tak perlu takut cacat.

"Sekarang nyari baju bekas, jujur aja, kayaknya lebih gampang ya," kata Rima.

Meski memang, harga yang ditawarkan agak jauh lebih mahal daripada harga di pasar.

Tak jadi masalah. Toh, menurut Rima, ada harga yang harus dibayar untuk mereka yang mau bercucuran keringat di pasar untuk mencari baju yang paling bagus.

 

"Kayaknya, apa yang saya lakukan dulu, keringetan ngubek-ngubek pasar milih baju terus nyuci sampai bersih, dilakukan sama para penjual sekarang. Ya, itung-itung bayar tenaga. Sekarang, pembeli tinggal beli barang yang udah pasti oke di thrift shop," ujar Rima.

Tak ada yang salah sebenarnya. Toh, namanya juga perkembangan, hampir pasti akan menyebabkan adanya perubahan dan kemudahan.

Hanya saja, Sada dan Rima sepakat, tak ada yang bisa mengalahkan sensasi rasa puas yang muncul saat keluar dari pasar loak. Menenteng keresek berisi baju bekas yang lusuh sambil mengelap keringat yang membasahi dahi.***