Kemenkes Minta Apotek-Nakes Setop Sementara Obat Sirup, Larang Masyarakat Minum Meski Sudah Beli

(Surya24.com)  JAKARTA - Buntut 192 kasus gagal ginjal akut misterius dilaporkan di Indonesia, pemerintah mengimbau seluruh apotek untuk menyetop sementara penjualan obat bentuk cair atau sirup. Pelarangan ini dikeluarkan hingga batas waktu yang belum ditentukan.

Seluruh nakes juga diminta Kemenkes RI menghentikan sementara resep obat-obatan dalam bentuk sirup atau cair. "Sampai dilakukan pengumuman resmi dari pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," imbau Kemenkes.

"Seluruh apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan atau bebas terbatas dalam bentuk sirup kepada masyarakat sampai dilakukan pengumuman resmi dari pemerintah," demikian penegasan Kemenkes RI dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Rabu (19/10/2022).

Kasus penyakit pada anak usia 0-18 tahun dengan gejala anuria atau oliguria yang terjadi secara tiba-tiba.

Kasus probable

Kasus suspek ditambah dengan tidak terdapatnya riwayat kelainan ginjal sebelumnya atau penyakit ginjal kronik, disertai atau tanpa disertai gejala prodromal seperti demam, diare, muntah, batuk, pilek.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan ureum kreatinin lebih dari 1,5 kali atau naik senilai lebih dari sama dengan 0,3 mg/dL/, dan pemeriksaan USG didapatkan bentuk dan ukuran ginjal normal, tidak ada kelainan seperti batu, kista, atau massa.

Sementara poin imbauan lengkap Kemenkes RI adalah sebagai berikut:

Setiap fasilitas pelayanan kesehatan baik Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama dan/atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan yang menerima kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal/Atypical Progressive Acute Kidney Injury harus melakukan pelaporan melalui link yang tersedia pada aplikasi RS Online dan Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR).

- Tenaga Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk sementara tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair/syrup sampai dilakukan pengumuman resmi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

- Seluruh apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk syrup kepada masyarakat sampai dilakukan pengumuman resmi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

- Dinas Kesehatan Daerah Provinsi, Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus melakukan edukasi kepada masyarakat

mengenai:

 

a. Perlunya kewaspadaan orang tua memiliki anak (terutama usia < 6 tahun) dengan gejala penurunan volume/frekuensi urin atau tidak ada urin, dengan atau tanpa demam/gejala prodromal lain untuk segera dirujuk ke Fasilitas Kesehatan terdekat.

b. Orang tua yang memiliki anak terutama usia balita untuk sementara tidak mengkonsumsi obat-obatan yang didapatkan secara bebas tanpa anjuran

dari tenaga kesehatan yang kompeten sampai dilakukan pengumuman resmi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Perawatan anak sakit yang menderita demam dirumah lebih mengedepankan tatalaksana non farmakologis seperti mencukupi kebutuhan cairan, kompres air hangat, dan menggunakan pakaian tipis. Jika terdapat tanda-tanda bahaya, segera bawa anak ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan terdekat.

 

Larang Masyarakat Minum Obat Sirop

Dibagian lain, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meminta masyarakat yang sudah terlanjur mengonsumsi atau membeli obat sirop di apotek maupun fasilitas kesehatan untuk menyetop sementara penggunaan obat tersebut.

Hal itu menyusul ketetapan baru agar apotek maupun tenaga kesehatan di Indonesia tidak menjual atau meresepkan obat bebas dalam bentuk cair atau sirop kepada masyarakat buntut kasus gangguan ginjal akut misterius.

"Lebih baik seperti itu (berhenti minum obat sirop) sampai selesai semua penyelidikan epidemiologi kami ya," kata Pelaksana tugas Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes Yanti Herman saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (19/10).

Imbauan ini juga sesuai dengan Surat Edaran (SE) Nomor SR.01.05/III/3461/2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak yang diteken oleh Plt. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Murti Utami pada 18 Oktober lalu.

Menurut Yanti, masyarakat tidak boleh lagi membeli obat sediaan sirop bebas. Selain itu tenaga kesehatan juga telah diminta untuk melakukan racikan obat saja dan tidak memberikan atau meresepkan obat sirup.

Yanti menyatakan pihaknya telah meningkatkan kewaspadaan atas temuan gangguan ginjal akut progresif atipikal yang mayoritas menyerang anak-anak di Indonesia.

"Jadi semuanya ditunda sementara sampai ada pengumuman resmi dari pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan, terutama terkait dengan bidang kefarmasian," ujarnya.

 

Sampai kemarin, tercatat 49 anak meninggal akibat penyakit yang kemudian dinamai gangguan ginjal akut progresif atipikal.

Rinciannya 25 kasus kematian dilaporkan di DKI Jakarta. Kemudian 11 kasus kematian di Bali, satu kasus kematian di Nusa Tenggara Timur (NTT), tujuh kasus kematian di Sumatera Utara, dan lima kasus kematian di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Bijak

Sebelumnya, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) meminta pemerintah bijak dalam mengambil keputusan melarang sementara obat sirop anak di Indonesia.

Hal ini terkait dengan 66 anak meninggal akibat gagal ginjal yang merebak di Gambia, Afrika. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyarankan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menghindari penggunaan parasetamol sirop.

 

"Kami dari IAI meminta lebih bijak dalam mengambil satu keputusan karena jangan sampai keputusan tersebut menimbulkan tantangan baru," ungkap Juru Bicara Dewan Pakar IAI Keri Lestari Dandan kepada CNNIndonesia.com, Rabu (19/10).

Keri memang menghormati keputusan pemerintah sebagai strategi kehati-hatian agar tidak ada anak-anak yang jatuh sakit gagal ginjal. Namun, menurutnya tidak semua obat sirop mengandung etilen glikol (EG) dan residunya.

Keri menyebut pada akhirnya konsumsi obat beralih ke puyer. Padahal tidak semua obat bisa dijadikan obat puyer.

Karenanya, pemilihan bentuk sediaan obat, antara sirop atau puyer, tidak bisa disamaratakan.

"Ada juga faktor risiko dan benefit yang kami pertimbangkan. Contoh misalkan ada anak-anak dalam kondisi sulit menelan jika diberi puyer, maka harus diberi sirop. Nah, ada yang biasa konsumsi obat sirup tidak masalah. jadi tidak semua terdampak," imbuhnya.

Oleh karena itu, Keri mengatakan pihaknya sedang menyusun rekomendasi langkah bijak untuk menanggulangi risiko masalah ini. Apalagi, sejawat dokter Indonesia tidak mengklasifikasikan ini sebagai gagal ginjal, tapi anak dengan gangguan ginjal.

Lebih lanjut, IAI masih menunggu penjelasan dari Kemenkes tentang kadar EG yang diperbolehkan dalam obat sirop.

Keri menjelaskan, berdasarkan USP 43 tahun 2020, EG diethylene glycol adalah bisa jadi cemaran dari gliserin, propilen glikol, dan polietilena glikol (PEG).

  1. saja EG pada sediaan yang mengandung gliserin/propilen dan kurang dari sama dengan 0,1 persen masih ditolerir. Yang jadi masalah jika diatas itu. ada juga PEG tidak boleh lebih dari 0,25 persen. Jadi temuan tersebut pada kadar berapa," kata Keri. Ia juga mengatakan pihaknya akan menelisik anak-anak yang mengalami gangguan ginjal tersebut. IAI akan mencari tahu makan dan obat apa saja yang dikonsumsi si anak.

"Jadi harus bijak. Karena kalau hanya satu obat, ini mudah melihatnya karena pengguna obat tersebut bakal terdampak. Tapi ini tidak. Jadi ada berbagai kemungkinan," tandasnya.

Kemenkes telah menginstruksikan agar apotek maupun tenaga kesehatan di Indonesia untuk sementara ini tidak menjual atau meresepkan obat bebas dalam bentuk cair atau sirop kepada masyarakat.

Upaya itu dilakukan sebagai kewaspadaan atas temuan gangguan ginjal akut progresif atipikal yang mayoritas menyerang usia anak di Indonesia.

"Untuk sementara ini Kemenkes sudah mengambil langkah untuk menyelamatkan kasus yang lebih banyak, atau kematian yang berikutnya. Kita berhentikan sementara penggunaannya sampai selesai penelitian atau penelusuran kami," ujar Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril.

Syahril menjelaskan dari temuan 206 kasus yang berdasarkan laporan 20 provinsi di Indonesia, 99 orang di antaranya dinyatakan meninggal dunia.***