Apa Istilah 'Kuda Putih' dan Perilaku Pejabat Orde Lama saat Kunjungan ke Luar Negeri, Simak Yuk

(Dok:JusufMudaDalam. ©2022 Istimewa)

JAKARTA (SURYA24.COM)  - Kecenderungan 'nakal' sebagian pejabat Republik Indonesia (RI) di era pemerintahan Orde Lama pada 1960-an banyak direkam sejumlah buku dan media massa. Seperti apa perilaku mereka?

Beberapa tahun lalu, jagad perpolitikan kita diributkan dengan sejumlah skandal seks yang melibatkan pejabat teras negara dan sejumlah elit partai politik. Jika ditarik secara historis, soal tersebut sejatinya bukan hal yang asing. Setidaknya itu pernah dikisahkan oleh Soe Hok Gie dalam surat kabar Indonesia Raya pada akhir tahun 1960-an.

Ceritanya, pada suatu hari saat Soe (panggilan akrab tokoh mahasiswa 1966 itu) mengunjungi Amerik Serikat (AS), dia bertemu sejumlah mahasiswa Indonesia yang tengah menimba ilmu di sana. Usai berdiskusi mengenai situasi-situasi politik tanah air pasca terjadinya Gerakan 30 September, tiba-tiba salah seorang dari mereka nyeletuk :

"Soe, kamu mau naik mau naik 'kuda putih' enggak?" tanya mahasiswa itu sambil tertawa.

"Maksudnya? Apa itu 'kuda putih'?," Soe malah balik bertanya dikutip dari laman merdeka.com..

Alih-alih menjawab, sang mahasiswa dan kawan-kawannya malah tergelak. Setelah reda, mereka baru menjelaskan jika istilah 'kuda putih' itu mengacu kepada 'pekerja seks komersial' kulit putih yang disukai sebagian pejabat Indonesia. Itu sudah seperti 'tradisi mereka' jika berkunjung ke AS.

Cerita Pak Dubes

Soal perilaku pejabat-pejabat Indonesia itu seolah seperti rahasia umum di kalangan para mahasiswa Indonesia di luar negeri. Bukan hanya para mahasiswa dari negeri sendiri, para diplomat asing dan dan kaum intelijen negara-negara lain juga sudah mafhum akan kebiasaan tersebut.

Ladislav Bittmann, eks pejabat Dinas Rahasia Chekoslovakia pernah mengungkap soal itu di sebuah bukunya berjudul The Deception Game. Dia menyebut tentang beberapa diplomat Indonesia yang sangat rakus akan seks dan kerjaannya 'memesan perempuan'.

Coba simak tulisan dia yang mengisahkan perbincangan Mayor Louda, seorang petugas telik sandi Departemen D Dinas Rahasia Chekoslovakia, dengan seorang pejabat di Kedutaan Besar RI di Praha pada sekitar awal 1960-an.

"Adakah sesuatu yang dapat saya bantu, Yang Mulia Duta Besar?" tanya Mayor Louda

"Ya kebetulan saja ada," kata sang Dubes.

"Saya memerlukan apartemen yang lebih besar untuk pesta-pesta pribadi saya; apartemen saya yang sekarang terlalu kecil. Dan penghuni-penghuni lain terlalu banyak menaruh perhatian terhadap saya."

"Oh ya, saya maklum," jawab Mayor Louda.

"Tetapi Anda harus sedikit bersabar. Saya yakin Anda pun mengetahui betapa susahnya mendapat tempat yang cocok untuk anda. Kami akan berusaha, tapi anda harus bersabar."

"Ada satu lagi permintaan saya," lanjut sang Dubes.

"Dapatkah Anda memperkenalkan saya dengan wanita lain? Yang terakhir Anda sodorkan kepada saya, terlalu banyak permintaannya, selalu meminta uang maksud saya."

"Oh tentu saja, Yang Mulia Duta Besar. Itu soal kecil. Bagaimana kalau tiga minggu lagi?" tanya Louda.

"Bagus, saya setuju," jawab sang Duta Besar.

Maka berlanjutlah pembangunan relasi politik melalui seks di sebuah negara yang sekarang sudah pecah menjadi dua itu.

Hubungan dengan Artis dan Sosialita

Selain skandal yang melibatkan pejabat luar negeri, para pejabat dalam negeri pun tak terlepas dari kehidupan gelap. Sebut saja salah satunya adalah Jusuf Muda Dalam, Gubernur Bank Indonesia sekaligus loyalis Presiden Sukarno yang diduga memiliki hubungan istimewa dengan sejumlah artis dan sosialita tahun papan atas pada era 1960-an.

Soal itu lantas mengemuka pada pada 9 September 1966, ketika pengadilan memvonis mati Jusuf Muda karena dinilai terbukti melakukan kejahatan subversif, memiliki senjata tanpa izin, tindak pidana korupsi dan pernikahan yang dilarang undang-undang.

Sebulan sebelum vonis ini jatuh, dalam sebuah ulasannya pada 30 Agustus 1966, harian Api Pantjasila menuliskan:

  1. tidak akan mengungkit-ungkit bagaimana seremnya dia main wanita yang amoral itu, tetapi kejadian tokoh Jusuf Muda Dalam itu telah memberikan pelajaran bagi kita, bahwa tiap-tiap tokoh yang pegang tampuk pimpinan negara apa lagi yang pegang posisi penting, misalnya keuangan, bila punya perbuatan asusila dan amoral tidak akan sukses dalam pekerjaannya. Bahkan akan membawakan bencana bagi tugas-tugas yang dipikulkan negara kepadanya..". ***