China Dilanda Tsunami Covid, Krematorium Penuh Mayat Pasien Corona: Kematian Diprediksi Capai 1 Juta, Pakar Perkirakan Sekitar 60 Persen Populasi akan Terinfeksi Virus

(Foto: REUTERS/ALESSANDRO DIVIGGIANO)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Selepas aturan ketat 'Zero-COVID' dicabut, China kini diterpa lonjakan kasus COVID-19. Mobil jenazah yang mengangkut jenazah berbaris memasuki krematorium khusus pasien COVID-19. Sementara itu, para pekerja di sejumlah rumah duka bekerja lebih sibuk dibanding biasanya.

Dikutip dari detik.com, dalam beberapa hari terakhir, Beijing dihantam penyebaran varian Omicron yang menular dengan amat cepat. Rumah duka dan krematorium di seluruh kota berpenduduk 22 juta kini berjuang karena seiring tingginya kebutuhan pelayanan, banyak pekerja dan pengemudi dinyatakan positif COVID-19.

Sejak 7 Desember, terhitung sejak aturan ketat 'Zero-COVID' dicabut, China belum secara resmi melaporkan kasus kematian akibat COVID-19. Mengingat, aturan ketat tersebut dicabut karena banyak protes publik terhadap protokol penanganan COVID-19 yang dinilai terlalu keras.

Kematian Diprediksi Capai 1 Juta Kasus

Sebuah lembaga penelitian yang berbasis di AS mengatakan pada pekan ini bahwa imbas ledakan kasus COVID-19, China bisa mencatat lebih dari satu juta orang meninggal pada tahun 2023.

Dikutip dari Reuters, pada Sabtu (17/12/2022) sore, terdapat sekitar 30 mobil jenazah berhenti di jalan masuk menuju rumah duka Dongjiao, yakni krematorium yang diperuntukkan pasien COVID-19 di Beijing. Di antaranya, terdapat ambulans dengan mayat terbungkus sprei di bagasi terbuka, yang kemudian diangkut oleh pekerja berseragam hazmat untuk dipindahkan ke ruang persiapan menunggu kremasi.

Kemudian di Rumah Duka Huairou, seorang staf melaporkan jenazah disimpan selama tiga hari sebelum dapat dikremasi.

"Anda bisa membawa jenazah ke sini sendiri, baru-baru ini sibuk," beber staf itu.

Segawat Apa Kondisinya?

Sementara itu, peneliti di Amerika Serikat memprediksi kematian pasien COVID-19 di China bakal menembus satu juta kasus di 2023. Pasalnya, kini China diamuk lonjakan kasus COVID-19 pasca aturan ketat penanganan COVID-19 'Zero-COVID' dicabut, menyusul maraknya protes warga atas aturan yang terlalu keras.

Prediksi tersebut mengacu pada proyeksi terbaru dari Institute of Health Metrics and Evaluation (IHME) yang berbasis di AS. Menurut proyeksi kelompok tersebut, kasus di China akan mencapai puncaknya sekitar April 2023, ketika kematian akan mencapai 322.000. Direktur IHME Christopher Murray menyebut, sekitar sepertiga populasi China akan terinfeksi pada saat itu.

Mengingat, China mencabut aturan pembatasan COVID-19 yang amat ketat baru-baru ini di Desember 2022. Pasalnya, aturan yang amat ketat bernama 'Zero-COVID' menuai protes besar-besaran dari publik. Kini, China mengalami lonjakan infeksi, dengan kekhawatiran COVID-19 melanda 1,4 miliar populasinya selama liburan Tahun Baru Imlek bulan depan.

Murray menyoroti, kebijakan Zero-COVID China mungkin efektif untuk mencegah varian virus sebelumnya. Namun untuk varian Omicron yang menular dengan amat cepat, kebijakan tersebut sudah tidak lagi efektif.

Diketahui, grup pemodelan independen di University of Washington di Seattle tersebut telah diandalkan oleh pemerintah dan perusahaan selama pandemi COVID-19. Mereka menggunakan data dan informasi provinsi dari wabah Omicron baru-baru ini di Hong Kong.

 

"China sejak wabah di Wuhan (dengan varian Corona) yang asli hampir tidak melaporkan kematian sama sekali. Maka dari itu, kami melihat ke Hong Kong untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat kematian infeksi (akibat COVID-19)," ungkap Murray, dikutip dari Channel News Asia.

Pakar lain memperkirakan, sekitar 60 persen populasi China pada akhirnya akan terinfeksi virus Corona. Puncak lonjakan kasus diperkirakan tiba Januari mendatang, yang paling parah menyerang populasi yang rentan seperti lansia dan pengidap komorbid.

Dalam kesempatan sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyoroti lonjakan kasus COVID-19 China sebenarnya sudah terjadi sebelum pemerintah melonggarkan aturan Zero-COVID. Ditegaskannya, penularan varian Omicron yang amat cepat, terdeteksi di China sekitar setahun lalu.

Artinya, aturan pembatasan COVID-19 yang berlangsung ketat di China tidak berguna melawan terpaan varian Corona baru. Terlebih, cakupan vaksinasi COVID-19 masih terhitung rendah.

"Ledakan kasus di China bukan karena pencabutan pembatasan COVID. Ledakan kasus di China telah dimulai jauh sebelum pelonggaran kebijakan nol-COVID," ungkap kepala kedaruratan WHO Michael Ryan.

"Penularan super Omicron benar-benar menggagalkan kesempatan untuk menggunakan langkah-langkah kesehatan masyarakat dan sosial yang bertujuan untuk menahan virus secara penuh," ujarnya lebih lanjut.***