Delman

Oleh Adiyanto

DULU, hingga pada awal 2000-an, di kawasan Pesanggarahan, Ulujami, Jakarta Selatan, delman masih beroperasi sebagai sarana transportasi. Kendaraan yang ditarik kuda itu bersaing dengan ojek dan metromini sebagai sarana mobilitas warga sekitar, terutama untuk jarak dekat.

Namun, dengan semakin banyaknya sarana angkutan, terutama ojek online dan makin banyaknya warga yang memiliki sepeda motor, keberadaan delman kian terdesak hingga nyaris tidak terlihat lagi. Mungkin tinggal satu-dua. Itu pun sudah beralih fungsi dari sarana transportasi menjadi sekadar wahana rekreasi anak-anak, seperti yang mangkal di kawasan Monumen Nasional (Monas). Kini,

Pemprov DKI pun bakal melarang kendaraan itu mangkal di kawasan tersebut. Kata Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Wali Kota Jakarta Pusat, Iqbal Akbarudin, larangan itu sebetulnya telah dikeluarkan sejak 2016 melalui Surat Edaran (SE) Wali Kota Nomor 36. Bukan hanya di Monas, delman juga bakal dilarang beroperasi di seputaran Bundaran Hotel Indonesia.

Menurut Kepala Suku Dinas Perhubungan Jakarta Pusat, Wildan Anwar, salah satu alasan dilarangnya delman beroperasi di kedua kawasan tersebut ialah kotoran kuda penarik kendaraan itu dapat mengganggu kenyamanan masyarakat pengguna jalan. Sebelum maraknya kendaraan bermotor, delman menjadi primadona sebagai sarana transportasi masyarakat di Hindia Belanda.

Penemunya ialah seorang insinyur sekaligus seorang pandai besi berkebangsaan Belanda bernama Charles Theodore Deeleman. Masyarakat Belanda sendiri menyebut kendaraan itu dengan nama dos-a-dos. Nama itu diambil dari bahasa Prancis. Secara harfiah berarti 'punggung ketemu punggung' karena posisi duduk penumpang kendaraan tersebut saat itu memang didesain untuk saling memunggungi.

Kendaraan itu lantas oleh sebagian penduduk pribumi disebut sado. Di beberapa daerah seperti di Yogyakarta, kendaraan sejenis itu disebut andong atau orang Minangkabau menyebutnya bendi. Seiring dengan makin majunya sarana transportasi yang serbacepat, keberadaan kendaraan tradisional itu pun kini kian terdesak.

Fenomena itu merupakan hal yang lumrah. Kendati demikian, dalam diskursus kebijakan publik, pemerintah kota tetap harus memikirkan solusinya sebelum mengeluarkan aturan. Setidaknya, mereka perlu memperhatikan nasib pemilik dan para kusir delman. Sejauh ini, Pemprov DKI berjanji akan menyosialisasikan aturan itu kepada pemilik dan kusir delman, tetapi belum jelas apa solusinya, terutama terkait dengan potensi hilangnya mata pencarian mereka.

Dengan melihat moda transportasi yang masih bertahan hingga saat ini sebagai bagian dari kehidupan dan penghidupan masyarakat, tentu perlu strategi untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. Pentingnya melestarikan tujuan asli moda transportasi tradisional, serta fungsi barunya di era modern, kiranya perlu juga dikaji dalam konteks keberlanjutan dan kelangsungannya sebagai bentuk warisan budaya.

Wacana itu penting untuk mempromosikan visibilitas fenomena budaya kepada publik dalam mendorong perlindungan dan keberlanjutannya. Persoalan semacam itu juga terjadi di belahan dunia lain, bukan cuma di Indonesia. Di Slovakia, misalnya, hingga saat ini keberadaan sherva (serpa) masih dipertahankan.

Sherva ialah porter pengangkut barang bawaan pendaki gunung. Profesi yang ditekuni penduduk lokal secara turun-temurun di perdesaan itu berperan sebagai medium transportasi karena medan di wilayah tersebut sulit dilalui kendaraan.

Mereka berjalan kaki dengan menjunjung sejumlah barang bawaan. Bahkan, kini ada festival Sherva Rally yang rutin digelar tiap tahun guna menarik wisatawan. Pemerintah kiranya memang perlu memikirkan bentuk angkutan tradisional dengan tetap mempertahankan mata pencarian masyarakat.

Bukan sekadar merekonstruksi sebatas untuk mengenang masa lalu. Delman, andong, sado, dokar, bendi, atau segala bentuk angkutan tradisional lainnya, dapat dialihdayakan dari sekadar sarana transportasi menjadi wahana hiburan sekaligus untuk mendatangkan wisatawan, seperti baik di kawasan Setu Babakan, Ragunan, maupun beberapa ruas jalan di Yogyakarta dan sekitarnya.

Dengan begitu, tuk tik tak tik tuk, suara sepatu kuda (berikut dengus napas kusirnya) masih bisa tetap kita dengar, bukan sekadar terngiang dalam ingatan seperti tertera pada sepenggal lirik lagu anak-anak ciptaan Ibu Sud. Wasalam.***

Penulis Wartawan Media Indonesia

Sumber:mediaindonesia.com