Mempertahankan Sistem Proporsional Terbuka

Oleh: Edbert Gani Suryahudaya

SISTEM elektoral dapat menjadi penyebab sekaligus konsekuensi dari karakter politik sebuah bangsa. Sistem yang ada merefleksikan dan membentuk budaya politik dari bangsa itu. Kata-kata itu dikemukakan salah satu ilmuwan politik, Arend Lijphart, dalam bukunya Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries yang dipublikasikan pada 1999.

Memasuki 2023, isu politik Indonesia dihangatkan dengan perdebatan terkait dengan pengajuan perubahan sistem proporsional terbuka menjadi kembali proporsional tertutup. Pemicunya ialah gugatan terhadap UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, ke MK terkait dengan sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif.

Delapan fraksi di DPR telah menyatakan penolakan mereka terhadap sistem proporsional tertutup, meninggalkan PDIP sebagai satu-satunya partai yang mendukung ide itu.

Pendidikan politik Terlepas momentum yang bermasalah karena kita telah memasuki kalender pemilu, perdebatan soal sistem elektoral itu menarik sekaligus penting sebagai pendidikan politik bagi masyarakat.

Ahli hukum, politikus, serta pengamat politik telah banyak memberikan argumen untuk memperdebatkan persoalan ini, mulai persoalan konstitusionalitas hingga isu manuver penguasa. Hanya saja, masih sedikit yang memberikan perspektif pada publik dalam sudut pandang keilmuan politik.

Artikel ini berusaha secara objektif mengisi kekosongan itu. Pada hakikatnya, setiap sistem elektoral menyimpan tradeoff yang tidak bisa dilepaskan dari setiap pilihan. Tujuan dari baik pemilihan sebuah sistem maupun rekayasa elektoral (electoral engineering) perlu ditempatkan pada luaran apa yang ingin dicapai.

Bukan persoalan apakah satu sistem lebih unggul secara moral jika dibandingkan dengan yang lain. Pertama-tama, perlu dijelaskan apa karakter utama dari sistem proporsional, baik itu dengan daftar terbuka atau tertutup, berdasarkan literatur yang ada saat ini. Ilmuwan politik telah banyak berpendapat bahwa sistem proporsional menjanjikan representasi yang kuat karena memberikan kursi wakil rakyat yang cenderung lebih banyak sehingga bisa menyentuh semua golongan.

Ini merupakan salah satu alasan kuat, mengapa sistem proporsional dipilih di tengah masyarakat Indonesia yang multikultural. Namun, sisi negatif yang juga telah banyak diuji secara empiris ialah celah korupsi yang tinggi dalam sistem proporsional. Alasan utamanya ialah akuntabilitas yang terbilang rendah dalam sistem proporsional ketimbang sistem majoritarian atau disebut juga plurality, yakni hanya ada satu calon yang mewakili satu wilayah pemilihan.

Selanjutnya, apa yang menjadi ciri khas dari sistem proporsional dengan daftar terbuka? Ciri khas pertama yang cukup jelas ialah adanya ruang kompetisi antarcalon dalam partai yang sama. Karakter ini banyak muncul dalam perdebatan publik sebagai alasan kuatnya politik uang di Indonesia.

Kedua, sistem ini memberikan insentif pada para calon yang memiliki latar belakang kuat di daerah pemilihan (Shugart et al., 2005). Sementara itu, ketiga, para wakil yang terpilih dapat membangun relasi yang kuat dengan daerah pemilihan dengan menyajikan pelayanan khusus kepada pemilihnya (Carey & Shugart, 1995).

Keempat, pada sisi terburuknya, sistem ini memberikan insentif pada perilaku koruptif (Chang, 2005). Lalu, bagaimana kita perlu menempatkan sistem proporsional terbuka jika dibandingkan dengan proporsional tertutup? Misalnya, dalam indikator insentif pada perilaku korupsi, mana yang secara empiris lebih buruk?

Berdasarkan studi empiris yang dilakukan Chang dan Golden (2006), titik tekannya bukanlah pada pilihan antarkedua sistem, melainkan pada besaran kursi dapil. Chang dan Golden berkesimpulan bahwa untuk menurunkan kerawanan korupsi bukan pada pilihan proporsional tertutup atau terbuka, melainkan pada menjaga kursi dapil dalam angka yang relatif kecil.

Dengan mengurangi kursi dapil, keduanya berargumen, akuntabilitas dapat ditingkatkan karena pemilih dapat lebih mudah mengontrol wakil mereka yang jumlahnya sedikit. Kepentingan utama parpol pada sistem elektoral yang ada ialah pada kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan kekuasaan.

Sebuah studi eksperimental di Inggris menunjukkan sistem proporsional terbuka menguntungkan bagi parpol yang secara internal cenderung terfragmentasi, atau memiliki keberagaman pendapat dan posisi dalam berbagai isu di antara kader di internal partai (Blumenau et al., 2016). Akan tetapi, efek ini cenderung lebih menguntungkan partai-partai besar.

Alasannya tidak lain karena adanya langkah strategis dari pemilih (strategic voting). Misalkan, ada Partai Hijau yang memiliki satu platform utaSma, yakni ekonomi hijau, tetapi basis pemilihnya kecil. Lalu, ada partai besar, sebutlah Partai Konservatif, yang memiliki kandidat yang diketahui memiliki fokus pada isu-isu ekonomi hijau pula.

Seorang pemilih yang fokus pada program ekonomi hijau akan cenderung memilih calon dari partai besar itu karena memiliki kemungkinan masuk parlemen lebih besar ketimbang memberikan suara pada Partai Hijau.

Namun, apabila sistem daftar tertutup yang diadaptasi, pemilih itu akan cenderung memilih Partai Hijau karena platform partai yang lebih jelas. Pertanyaannya kemudian bagaimana dengan partai yang memiliki kohesivitas tinggi? Apakah sistem proporsional terbuka akan selalu merugikan? Sebuah studi kasus di Kolombia dapat memberikan kita perspektif menarik.

Kolombia memiliki sistem yang unik, yakni partai diberikan kebebasan memilih sendiri, apakah ingin menggunakan daftar tertutup ataupun daftar terbuka pada tiap daerah pemilihan. Dengan kata lain, kesuksesan elektoral sangat bergantung strategi tiap partai memainkan pilihan atas daftar calon mereka.

Temuan dari penelitian Achury et al. (2017) menunjukkan bahwa partai dengan kohesivitas tinggi tetap akan cenderung memilih daftar terbuka pada daerah yang memiliki district magnitude tinggi dan menggunakan daftar tertutup pada daerah dengan district magnitude rendah.

Pada wilayah dengan district magnitude tinggi, partai diuntungkan dengan daftar terbuka karena memberikan kesempatan bagi tiap kandidat menangkap lebih banyak basis konstituen untuk bersaing dengan partai-partai dengan segmen pemilih lebih khusus.

Salah satu argumen yang ditawarkan pendukung proporsional tertutup ialah penguatan kontrol parpol pada kandidat. Apakah proporsional terbuka tidak menyediakan ruang itu? Kontrol partai sesungguhnya tetap eksis dengan pengajuan nama-nama terbaik yang dilempar untuk diuji pemilih dalam daftar terbuka.

Lebih jauh lagi, partai juga bisa melakukan mekanisme kontrol dengan membatasi jumlah kandidat yang mereka calonkan pada satu dapil untuk meminimalkan kandidat yang berpotensi menyimpang dari posisi partai (Achury et al., 2017).

Efek positif Partai yang minim tawaran platfrom merupakan karakter dari demokrasi di Indonesia. Dalam konteks ini, sayangnya proporsional tertutup tidak dapat menjanjikan adanya peningkatan ke arah lebih baik. Dari sisi partai, proporsional terbuka memang secara pragmatis memberikan efek positif pada jangkauan kepada pemilih yang beraneka ragam melalui usaha individual dari tiap kandidat.

Dukungan mayoritas Fraksi DPR terhadap proporsional terbuka mengindikasikan dukungan atas argumen ini, sedangkan bagi pemilih, proporsional terbuka setidaknya masih memberikan harapan untuk memunculkan variasi gagasan yang dibawa tiap kandidat di tengah kekosongan perdebatan antarpartai. Dengan demikian, berlandaskan pada elaborasi di atas, sistem proporsional terbuka di tengah kekurangannya masih menyimpan potensi bagi demokrasi Indonesia ke arah yang lebih baik ke depan.

Tentunya apabila diimplementasikan secara ideal. Apabila tujuannya ialah perbaikan kualitas, ruang electoral engineering masih tersedia apabila kita masuk pada detail dari sistem proporsional terbuka yang ada sekarang ketimbang beralih ke sistem daftar tertutup, yang tidak menjanjikan perubahan berarti. Pada saat yang sama, kita perlu menghindari perubahan sistem untuk memuaskan kepentingan satu kelompok. Terlebih ketika agenda pemilu telah berjalan dan baik peserta maupun pemilih memerlukan kepastian.***

Penulis: Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Mahasiswa PhD in Political Science, University of TorontoOleh

Sumber: mediaindonesia.com