Urgensi Fatwa untuk Penguatan Zakat di Indonesia

Oleh: Erni Juliana al-Hasanah Nasution

ZAKAT merupakan salah satu rukun Islam ketiga yang universal. Zakat bukan hanya ibadah murni, melainkan juga sudah menjadi bagian dari sistem keuangan, sistem sosial, dan sistem ekonomi dari suatu negara. Zakat juga menjadi alat penghubung antara negara dan orang-orang yang mempunyai kekayaan serta orang-orang yang berhak menerima zakat. Fungsi sosial zakat semakin meluas, sejalan dengan semakin meluasnya persoalan-persoalan kemanusiaan. Selain sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, fungsi utama zakat juga sebagai sarana pencegah konflik yang diakibatkan disparitas sosial.

Dengan kata lain, (idealnya) kesenjangan sosial bisa diminimalisasi dengan zakat. Seiring dengan dinamika masyarakat yang terus berkembang disertai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak persoalan-persoalan baru yang muncul yang belum ada aturannya dalam Al-Qur’an atau hadis. Persoalan baru tersebut terkait aspek penghimpunan zakat, pendistribusian zakat, dan pengelolaan zakat. Terkait penghimpunan zakat, Al-Qur’an hanya menyebutkan dengan rumusan yang sangat global mengenai zakat. Hanya beberapa jenis harta yang wajib dibayarkan zakatnya,

yaitu: (1) emas dan perak (Qs At-Taubah:34);

(2) barang perniagaan (QS Al-Baqarah:267);

(3) barang tambang yang dihasilkan dari perut bumi (QS Al-Baqarah:267);

(4) tanaman dan buah-buahan (QS Al-An’am:141). Dalam hadis, penafsirannya juga masih bersifat umum.

Disebutkan bahwa zakat wajib atas; (1) barang tambang, yaitu emas dan perak; (2) empat jenis hewan, yaitu unta, sapi, kambing, dan domba (biri-biri); serta (3) empat jenis tumbuhan, yaitu gandum, kurma, kismis (anggur yang dikeringkan), dan terigu. Terkait pendistribusian zakat, untuk siapa zakat itu, Al-Qur’an juga sudah mengaturnya dalam QS At-Taubah ayat 60, yaitu orang-orang fakir, miskin, pengurus zakat (amil), para mualaf yang dilembutkan hatinya, untuk membebaskan budak (riqab), orang yang berutang (gharim), untuk jalan Allah (sabilillah), dan mereka yang sedang dalam perjalanan (ibnusabil) dengan pemaknaan berdasarkan kontekstual masyarakat saat itu.

Terkait pengelolaan zakat, Al-Qur’an dan hadis juga telah menentukan bahwa amil ialah pihak yang diperkenankan secara syariat untuk melakukan mengelola zakat. Amil yang dimaksud ialah yang diangkat pemerintah atau diangkat masyarakat yang disahkan negara dengan tata kelola yang masih sederhana belum memperhatikan akuntabilitas. MI/Seno

Urgensi fatwa zakat Agar fungsi zakat benar-benar bisa direalisasikan, dibutuhkan upaya-upaya strategis agar perolehan zakat terus meningkat. Salah satu caranya ialah dengan menghadirkan fatwa-fatwa yang bisa mendorong penguatan kelembagaan dan peningkatan peran serta fungsi zakat. Secara umum, fatwa merupakan manifestasi ijtihad dalam hukum Islam kontemporer. MB Hooker (2003) menyebutkan fatwa sebagai respons atas suatu masalah, nasihat resmi dari otoritas keagamaan mengenai status hukum yang sudah menjadi dogma dalam Islam.

Fatwa tidak terbatas pada masalah-masalah baru, kadang kala fatwa itu mengulang-ulang pendapat sebelumnya atau peninjauan kembali pendapat-pendapat sebelumnya berdasarkan kondisi saat ini. Seiring berjalannya waktu, nash (teks) dalam Al-Qur’an dan hadis terkait penghimpunan, pendistribusian, dan pengelolaan dirasakan sangat terbatas kurang menjawab secara kontekstual kebutuhan masyarakat saat ini. Hal itu mengakibatkan adanya kesenjangan antara sumber hukum Islam dan realitas kontemporer.

Persoalan baru tersebut memerlukan hukum baru berupa fatwa-fatwa zakat yang dapat melepaskan manusia dari ketidakpastian dan keragu-raguan. Jika fatwa zakat tidak ada, tentu masyarakat, terutama dari kalangan awam yang kurang paham tentang agama, akan kebingungan atau bahkan kehilangan arah karena tidak ada pegangan yang jelas dan tegas dalam membayar, mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikan zakat.

Oleh karena itu, fatwa zakat memiliki posisi penting dalam pengelolaan zakat di Indonesia sebagai acuan, panduan dan pedoman, serta dasar operasional dalam pelaksanaan pengelolaan zakat. Fatwa zakat juga sebagai salah satu instrumen dalam mengukur kepatuhan syariat pengelolaan zakat. Fatwa zakat muncul disebabkan adanya pertanyaan masyarakat atas persoalan-persoalan zakat. Fatwa zakat penting dalam memberikan pedoman, pandangan, arah, dan sikap keberagaman umat Islam tekait persoalan zakat, juga sebagai dasar operasional bagi organisasi pengelola zakat (OPZ) dalam melakukan pengelolaan zakat. Fatwa zakat penting dalam memberikan pedoman, pandangan, arah, dan sikap keberagaman umat Islam terkait persoalan zakat, juga sebagai dasar operasional bagi masyarakat, OPZ, dan pemerintah dalam melakukan pengelolaan zakat agar tetap dalam koridor hukum Islam.

Di samping memberi jalan keluar dari setiap pertanyaan yang diajukan, fatwa zakat juga bisa berfungsi menjadi wahana untuk merespons perkembangan permasalahan aktual dan kontemporer seputar zakat. Dalam konteks inilah fatwa zakat bisa memberi kepastian status hukum pada suatu persoalan zakat yang muncul. Jika tidak ada fatwa zakat, suatu persoalan zakat bisa jadi tidak bisa dipecahkan yang membuat pengelolaan zakat menjadi stagnasi. Namun, berdasarkan hasil riset itu, peran penting fatwa zakat tersebut tidak disertai dengan sosialisasi yang memadai.

Sosialisasi fatwa zakat yang dilakukan lembaga fatwa sangat minim, sebagian besar dilakukan hanya dengan media internal yang dimiliki organisasi. Belum ada upaya bersama yang terstruktur dan masif dalam sosialisasi fatwa-fatwa zakat untuk stakeholder yang lebih luas. Kurangnya sosialisasi fatwa-fatwa zakat pada OPZ berpengaruh pada rendahnya tingkat literasi dan kompetensi amil zakat. Selain itu, dapat memengaruhi performance kepatuhan syariat OPZ. Minimnya sosialisasi fatwa zakat pada masyarakat memengaruhi tingkat literasi masyarakat, berdampak pada rendahnya niat masyarakat membayar zakat yang pada akhirnya berpengaruh terhadap masih sedikitnya jumlah zakat yang berhasil dihimpun.

Antara Muhammadiyah, NU, dan MUI Ada beberapa lembaga fatwa di Indonesia, tiga di antaranya dimiliki organisasi besar dan berpengaruh di Indonesia, yang fatwa-fatwanya banyak digunakan masyarakat Indonesia, yaitu Muhammadiyah dengan lembaga fatwanya disebut Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT-Muhammadiyah), Nahdlatul Ulama dengan lembaga fatwanya bernama Lembaga Bahtsul Masail (LBM-NU), dan Majelis Ulama Indonesia dengan lembaga fatwanya yang dikenal dengan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. (KF-MUI) Dalam kurun waktu 96 tahun, terdapat 135 fatwa zakat yang dikeluarkan Muhammadiyah, NU, dan MUI.

Fatwa zakat pertama kali dikeluarkan LBM-NU pada 1926 dan pada 2022 ada fatwa zakat yang dikeluarkan MUI. Secara kuantitatif, jumlah tersebut cukup banyak. Namun, dari sisi produktifitas, masih lamban dalam menjawab persoalan-persoalan zakat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Adanya prosedur yang ketat membuat percepatan lahirnya fatwa tidak cukup memadai untuk merespons setiap perkembangan sosial yang terjadi.

Ketiga lembaga fatwa, baik lembaga fatwa Muhammadiyah, NU, maupun MUI, belum mampu mencakup semua hal tentang permasalahan zakat disebabkan belum adanya keseimbangan antara kepesatan masalah zakat yang muncul dan kecepatan respons (fatwa zakat) yang diberikan. Perkembangan persoalan zakat seperti deret ukur, sementara fatwa-fatwa zakat seperti deret hitung. Dari 135 fatwa-fatwa zakat tersebut, terdapat titik temu ketiga lembaga fatwa dalam merespons isu kontemporer terkait penghimpunan, pendistribusian, dan pengelolaan zakat dapat berpengaruh pada penguatan pengelolaan zakat di Indonesia

. Sayangnya, titik temu itu terbatas baru pada isu zakat penghasilan atau profesi dan isu amil zakat secara kebetulan, belum menjadi konsensus bersama. Dari sisi sosialisasi, fatwa-fatwa zakat kurang tersosialisasi dengan baik. Muhammadiyah, NU, dan MUI baru sebatas mengunakan media internal miliknya. Jaringan organisasi yang luas belum dioptimalkan serta belum ada upaya yang terorganisasi untuk meyosialisasikan fatwa-fatwa zakat secara masif dan bersama-sama. Demikian juga dari sisi implementasinya, OPZ sebagai pengguna utama fatwa-fatwa zakat kurang memahami tentang kepentingan mengunakan fatwa-fatwa zakat dalam pengelolaan zakat.

Padahal, semakin tinggi mutu implementasi fatwa zakat pada OPZ, semakin tinggi kompentensi amil dan performa OPZ dalam hal kepatuhan syariat. Sebaliknya, semakin rendah mutu implementasi fatwa zakat pada OPZ, semakin rendah kompentensi amil dan performa OPZ dalam hal kepatuhan syariat. Namun, dari respons lembaga fatwa terhadap isu-isu kontemporer, terlihat bahwa fatwa-fawa zakat mengalami perkembangan dari masa ke masa. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan masyarakat sangat beragam, menyangkut tradisi sehari-hari dalam kehidupan sosial, dari isu sederhana sampai isu kekinian, yang menunjukkan keseharian kehidupan masyarakat pada umumnya serta mengambarkan sejauh mana zakat masuk dalam ruang kehidupan masyarakat.

  1. integrasi fatwa-fawa zakat sudah ada. Upaya saling merujuk juga sudah tampak. Di era sekarang, kehadiran fatwa-fatwa zakat semakin urgen karena beberapa hal. Di antaranya, sudah menjadi hukum alam (sunatullah) bahwa kehidupan manusia selalu berubah dan berkembang, baik dari sisi tatanan sosial, budaya, ekonomi, politik, maupun perkembangan ilmu pengetahuan. Misalnya, datangnya revolusi industri membuat perubahan drastis pada mata pencaharian masyarakat dari sektor pertanian ke sektor industri padat teknologi. Rekomendasi Agar pengelolaan zakat di Indonesia semakin kuat, diharapkan Muhammadiyah, NU, dan MUI dapat berperan lebih maksimal dalam mengoptimalkan gerakan zakat, terutama dengan cara mengeluarkan fatwa-fatwa zakat yang lebih progresif dan inovatif.

Dengan begitu, ada haapan besar bahwa zakat di Indonesia akan lebih maju dengan tetap berpedoman pada syariat Islam. Selain itu, Muhammadiyah, NU, dan MUI juga diharapkan lebih memasifkan sosialisasi fatwa-fatwa zakat secara terstruktur dan sistematis kepada seluruh stakeholder perzakatan di Indonesia. Kepada OPZ, diharapkan bisa menggunakan fatwa-fatwa zakat sebagai rujukan operasional dalam pengelolaan zakat.

Dengan dasar syariat yang kuat, akan mendekatkan zakat pada tujuannya: dapat meningkatkan kompetensi amil serta menambah performa OPZ . Kepada Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) didorong untuk lebih memajukan pengelolaan zakat di Indonesia dengan cara mengoptimalkan fungsi dan peran fatwa zakat yang ada serta menyegerakan meminta fatwa manakala ada persoalan-persoalan baru yang perlu penjelasan dari perspektif hukum Islam. Kepada Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), diusulkan agar membentuk DPS pada Badan Amil Zakat (BAZ) seluruh Indonesia sebagai pihak yang bertanggung jawab agar kepatuhan syariat konsisten dijalankan BAZ.

Kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas (Kemenag RI dan Baznas), disarankan untuk memperhatikan fatwa-fatwa zakat sebagai sumber referensi dan landasan dalam membuat kebijakan-kebijakan publik, terutama yang berkaitan dengan zakat pada masa yang akan datang. Last but not least, kepada umat Islam Indonesia, agar terus meningkatkan wawasan dan pemahaman tentang fatwa-fatwa zakat untuk menambah literasi zakat sehingga bisa memberikan motivasi dan memperkuat niat dalam menunaikan kewajiban agama dalam membayar zakat sebagaimana seorang muslim. ***

Penulis Dosen Institute Teknologi dan Ahmad Dahlan (ITB-AD), Jakarta Pengurus Lazis Muhammadiyah (Lazismu) Bendahara Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Sumber:mediaindonesia.com