Anies dalam Relasi Kesadaran Diponegoro-Dwitunggal

Oleh: Willy Aditya

KATANYA, dia sengaja menata letak gambar Pangeran Diponegoro di sisi timur ruang tengah joglonya dan Soekarno-Hatta di sisi baratnya. “Karena ialah yang mula,” jelasnya sembari menunjuk lukisan Diponegoro.“Dan merekalah ujungnya,” lanjutnya dengan sudut mata yang menunjuk pada gambar Soekarno-Hatta, Proklamator Kemerdekaan 1945.

  1. Rasyid Baswedan kemudian menjelaskan hubungan di antara keduanya melalui sebuah telaah yang disebutnya path dependency: sebuah cara pandang yang melihat hubungan antara satu peristiwa sejarah pada masa lalu yang kemudian memengaruhi masa depan. Titik sambung Dalam pada itu, wayang bagi masyarakat Jawa bukan hanya sekadar hiburan.

Menurut Ben Anderson (1965), berbagai cerita wayang telah memberikan kesempatan yang luas bagi seorang individu Jawa untuk mengidentifikasi beraneka ragam kepribadian dan keadaan. Bahkan, beberapa meyakiniwayang merupakan sarana pengungkapan spiritualitas orang Jawa. Sunan Kalijaga, seperti dilaporkan oleh Rinkes (1912), pernah mengatakan pada Sultan Demak,

“Sesungguhnya pertunjukan wayang itu ialah bayang (cermin) dari Yang Tunggal…”

Sebagai seorang keturunan keraton, Diponegoro terbilang sangat menyukai dan bahkan banyak terinspirasi wayang. Dia bahkan mempunyai seperangkat gamelan dan ruang khusus untuk menggelar wayang. Saat ditunjuk sebagai wali atas keponakannya, Sultan Hamengkubuwono V, dia memerintahkan pengikutnya, Satrowinangun, untuk membacakan cerita Arjunawijayakepadanya. Arjuna memang secara khusus dianggap sebagai inspirasi bagi Diponegoro. Sebagai kesatria ketiga Pandawa, Arjuna memang terasa istimewa. Selain sosoknya yang halus lembut, rupawan, tangguh, dan piawai dalam peperangan, dia juga mempunyai kemampuan spiritualitas yang tinggi.

Dalam kisahnya yang paling populer, Arjuna pernah bertapa dan menyaru sebagai pandit bernama Begawan Mintaraga: seorang lakon yang sarat dengan nilai spiritual. Laku tersebut dilakukan Arjuna sebagai persiapan mental dan batin dalam menyongsong Perang Bharatayudha. Diponegoro melakukan hal serupa dalam persiapannya menjelang Perang Jawa. Dalam perjalanan spiritualnya itulahDiponegoro disebut bertemu dengan Ratu Adil di Gunung Rosomuni: sebuah kisah yang dianggap mengonfirmasi ramalan kakek Diponegoro, Sultan Hamengkubowono I, bahwa Diponegoro-lah sosok yang akan membuat Belanda kewalahan.

Periode bertapa inilah yang dianggap mematangkan pribadi dan mengukuhkan semangat berlawan Diponegoro. Sebuah fase yang dianggap paling sulit sebagai seorang kesatriakarena harus menahan diri menggunakan senjata. Dua predikat yang disandang Diponegoro, sebagai ksatria sekaligus ulama, jelas tidak memberinya peluang untuk menghindar dari kewajiban menegakkan pranata yang dirusak Belanda sekaligus mengentaskan penderitaan rakyat. Alasan terakhir ini kiranya yang paling memberi dorongan baginya untuk membatalkan pajak puwasa yang dibebankan kepada rakyat.

Digambarkan, saking banyak dan beratnya pajak yang dibebankan pada rakyat, seorang ibu yang menggendong anaknya pun dipunguti pajak karena dianggap membawa barang. Sebagaimana banyak diketahui, Perang Jawa yang dilancarkan Diponegoro pada 1825-1830, selain menimbulkan korban jiwa di kedua belah pihak, juga menguras perbendaharaan kas kolonial Belanda. Dengan kerugian mencapai 20 juta gulden, Belanda merasa perlu mengeruk kekayaan Hindia Belanda lebih dalam lagi. Sistem tanam paksakemudian diberlakukan demi pulihnya perbendaharaan kas Belanda.

Upaya industrialisasi tanah jajahan inilah yang kemudian mendorong terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap Hindia Belanda. Ihwal ini kemudian hari membuat kelompok oposisi di Belanda mengkritik dan menuntut diberikannya balas budi yang setimpal bagi Hindia Belanda. Lahirlah politik etis sebagai respons atas situasi dan kondisi yang terjadi pascaperang tersebut.

Soekarno dan Hatta ialah dua dari banyaknya kelompok terdidik yang lahir dari kebijakan politik etis Belanda. Soekarno sering dianggap sebagai wujud Ratu Adil, Erucokro bagi rakyat Hindia Belanda waktu itu. Karismanya digambarkan sebagai sesuatu yang luar biasa, sebuah kemampuan alami yang lahir dari pengalaman perjuangan panjang di medan juang melawan kolonialisme. Onghokham dalam Soekarno: Mitos dan Realitas (1983) menyajikan deskripsi tentang sosok luar biasa Soekarno yang memiliki peran besar atas revolusi di Indonesia.

Atas perannya ini, secara berlebihan kaum reaksioner di Belanda bahkan sampai mengatakan, “Sayang, pada waktu itu mereka tidak mampu ‘men-Diponegoro-kan’ Soekarno”. Penyesalan ini merujuk pada ketidakmampuan Belanda membendung gelombang kemerdekaan tanah kolonial yang paling berlimpah sumber daya alamnya. Maka itu, tidak berlebihan jika Anies kemudian melihat politik etis sebagai titik sambung era dan kesadaran Diponegoro dengan Soekarno-Hatta; yang jika diperiksa lebih jauh lagi maka segera kita lihat, itu semua ialah lanjutan dari kesadaran dan perjuangan era sebelumnya.

  1. sambung yang menempatkan harkat, martabat, danspiritualitas sebagai yang utama dalam kehidupan manusia Indonesia. Lebih dari sekadar pantas Apakah ada orang asli Indonesia? Pada diri Diponegoro mengalir darah dari Bima, Nusa Tenggara. Dalam diri Soekarno ada darah Bali. Adapun pada diri Mohammad Hatta mengalir kental darah Minangkabau. Demikian pula atas kebanyakan diri kita. Persilangan dan percampuran terus menyertai interaksi dan dialektika sosial yang terjadi. Atas semua kenyataan itu, apakah perlu dipertanyakan siapa yang lebih berhak atas keberadaan negeri ini?

Baik Soekarno maupun Hatta sepenuhnya menyadari bahwa bukan ideologi yang akan menyatukan bangsa ini, melainkan sebuah weltanschauung yang disarikan dari nilai-nilai yang hidup di seluruh negeri. Arah perjalanan kita telah berada pada kemampuan dan keberanian tekad untuk meyatukan diri dalam satubangsa, satu negara. Tekad itu diuji dengan sekian persoalan, terselesaikan dengan berbagai kemauan dan kesepakatan, dan maju terus dengan harapan yang lebih besar ke masa depan.

Perjuangan dua era dan generasi, Diponegoro dan Soekarno-Hatta, berada pada dimensi yang berbeda. Perjuangan Diponegoro berhadapan dengan sesuatu yang ‘asing’ meskipun dengan alasan penderitaan rakyat belum sampai merujuk pada bayangan tentang ‘Indonesia’. Bahkan, secara merendahkan, kadang kala, perjuangan Diponegoro dianggap hanya karena tanah pribadinya tergerus oleh proyek Jalan Raya Pos. Namun, justru berkat perjuangannya itu, seabad kemudian, para pemuda cerdik-pandai berkalang dengan rakyat berjuang membangun satu komitmen politik Indonesia modern, cikal bakal sebuah ‘bangsa’.

Dalam bingkai Indonesia, semangat berkorban (will sacrifice) menjadi aspek penting dalam nasionalisme. Arah jalan yang digagas pendiri bangsatidak hanya meletakkan nasionalisme sebagai titik puncak kemerdekaan, tetapi juga upaya membangun keadilan dan kesejahteraan sosial. Masa depan Indonesia dengan demikian harus berada dalam komitmen peningkatan kualitas, struktur, dan relasi manusia. Sudah saatnya frasa ‘pembangunan nasional’kembali pada makna sejatinya: pembangunan mental-spiritual manusia Indonesia sebagai penopang utama eksistensi bangsa ini. Tanpa komitmen yang ditujukan ke arah sana, sesungguhnya kita hanya tengah menciptakan lubang yang akan menjerumuskan bangsa ini pada kerendahan martabat dan hilangnya jati diri.

Garis yang menghubungan antara kesadaran era Diponegoro dan era Soekarno-Hatta mestilah berada dalam kontinuitasnya sebab dua era tersebut menautkan idealitas bangsa ini terkait makna harga diri dan sikap menentukan nasib sendiri: sebuah spirit yang mendasari dicetuskannya Kemerdekaan 1945. Dalam pada itu, sebagai bangsa, kita terus dihadapkan pada tantangan yang lebih serius dan kompleks, baik di tingkat nasional maupun menyangkut konstelasi dan persoalan di level global.

Terkait hal tersebut, Indonesia harus lebih arif dan hikmat dalam memilih pemimpin. Pemimpin yang lebih dari sekadar memiliki kapasitas atau kepantasan. Pemimpin yang tidak hanya memiliki visi dan misi, tetapi juga pemimpin yang akan menjadi bagian terjaganya relasi kesadaran yang telah dirintis oleh Diponegoro hingga Soekarno-Hatta.

Epilog Sejak masa remaja, Mas Anies telah tertarik dan bahkan terobsesi dengan sosok Diponegoro. Sosok yang telah membuka gerbang bagi lahirnya dwitunggal Soekarno-Hatta sebagai proklamator kemerdekaan di kemudian hari. Dalam sebuah kesempatan, dia pernah bercerita tentang kuatnya energi yang mendorongnya untuk berulang kali melawat ke Tegalrejo, tempat museum Diponegoro berada. Entahapakah ketertarikannya itu berisi narasi kosmik dan menjadi bagian dari ‘tirakatnya’ menuju pada amanat lebih besar dan tugas yang luar biasa penting.

Yang pasti, dalam beberapa patahan sejarah hidupnya, dia kerap menerima amanat yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Mungkin inilah saatnya Mas Anies mengingat kembali apa yang dituturkan Pangeran Diponegoro kepada Penghulu Rahmanudin, “Alhamdulillah, Kakek! Apa gerangannya yang orang nantikan dalam hidup ini jika, wahai Kakek, bukan tugas yang luar biasa penting?”

Penulis Politisi Partai NasDem

Sumber: mediaindonesia.com