Ini Hikayat Depok yang Luput dari Perhatian : Mulai dari Belanda Depok hingga Punya Presiden Sendiri

(Depok©2023 Merdeka.com)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Awalnya merupakan kampung para budak yang dibebaskan oleh seorang pejabat VOC, Depok kemudian mendapatkan 'wilayah istimewa' di era Hindia Belanda. Keistimewaan itu lantas dihilangkan oleh pemerintah RI. Mengapa?

Sabtu, 28 Januari 2023. Pagi baru saja meliputi Kota Depok, ketika hujan luruh ke bumi. Situasi Jalan Pemuda sedikit padat dan ramai. Di depan sebuah gereja tua, puluhan peserta tur sejarah dari BHW (Bogor Historical Walk) tampak serius menyimak paparan seorang lelaki paruh baya bernama Boy Loen.

"Meskipun Chastelein pejabat VOC, namun dia memiliki pandangan berbeda dengan pejabat-pejabat VOC lainnya. Dia mendukung apa yang disebut sebagai politik etis, yang lebih memberdayakan potensi para pribumi," ungkap pemandu dari YCC (Yayasan Cornelis Chastelein) itu.

Dikutip daroi merdeka.com, Cornelis Chastelein (1657-1714) memang memiliki nama harum di kalangan Kaum Depok, sebutan untuk penduduk Depok Lama yang beragama Kristen, selain julukan 'Belanda Depok'.

 

Mereka sangat menghormati lelaki keturunan Prancis-Belanda itu sebagai pembebas. Ya, kaum Depok memang merupakan keturunan langsung dari 120 budak yang kemudian dibebaskan oleh Chastelein pada 1696.

Sebelum dibebaskan, para budak itu diberikan tanah garapan dan alat-alat untuk bertani oleh Chastelein. Orang-orang yang umumnya berasal dari Indonesia bagian timur itu juga diajarkan tulis-baca sehingga bisa mempelajari Alkitab. Dari situ, mereka lantas memeluk agama Kristen dan membentuk komunitas sendiri.

Presiden Republik Depok

Menurut Ronald M. Jonathans dalam Cornelis Chastelein Sang Penemu Depok, ada dua belas marga di kalangan Kaum Depok: Bacas, Leanders, Laurens, Loen, Soedira, Tholense, Zadokh, Isakh, Jacob, Joseph, Jonathans dan Samuel.

"Lima nama marga terakhir memang dianjurkan oleh Chastelein agar memilih nama-nama dari Alkitab," ungkap Ronald Jonathans.

Dengan terbentuknya marga-marga di kalangan bekas budaknya, secara tak langsung, Chastelein telah melembagakan ikatan kekeluargaan di kalangan Kaum Depok lewat sebuah ikatan marga. Setiap marga bertanggungjawab atas kehidupan anggotanya.

"Perilaku mereka dikendalikan melalui kepala atau pemimpin yang dituakan marga tertentu," tulis Pendeta Hendrik Ongirwalu dan Pendeta Hallie Jonathans dalam Melacak Jejak-jejak Sang Pembebas.

Ratusan tahun kemudian, Depok berkembang menjadi daerah otonomi yang berada di bawah kendali Kaum Depok. Itu malah mendapat penegasan dari Pemerintah Hindia Belanda sendiri pada 14 Januari 1913 dengan merevisi reglement van het land Depok hingga memunculkan seorang 'pimpinan khusus' Kaum Depok yang disebut presiden. Sebagai Presiden pertama dari 'Republik Depok' adalah G. Jonathans.

"Presiden dipilih berdasarkan pemungutan suara terbanyak setiap tiga tahun sekali," ungkap Wenri Wanhar, jurnalis sejarah yang pernah menulis sebuah buku berjudul Gedoran Depok:Revolusi Sosial di Tepi Jakarta, 1945-1955.

Daerah Istimewa Depok

Depok kemudian sepenuhnya menjadi 'daerah istimewa' yang loyal terhadap pemerintah Hindia Belanda. Terlebih, ketika wilayah tersebut banyak didatangi oleh para pejabat penting bangsa Belanda di Batavia dan Buitenzorg (Bogor). Mereka lantas mendirikan banyak vila untuk peristirahatan. Gereja pun tumbuh pesat di sana.

Kedekatan dengan orang-orang Belanda menyebabkan budaya orang-orang Kaum Depok menyerupai bekas majikannya. Mulai bahasa hingga gaya makan dan berpakaian, betul-betul mengacu kepada tradisi orang-orang Belanda.

"Gaya hidup mereka memang sangat kebelanda-belanda-an," ungkap Tri Wahyuning M.Irsyam dalam Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1990-an.

Sikap hidup seperti itu menjadikan mereka menjauhkan diri dari lingkungan kaum pribumi yang ada di sekelilingnya. Eksklusivitas tersebut otomatis menimbulkan gap sosial yang jauh antara mereka dengan penduduk Depok dari etnis Betawi Ora misalnya.

Kalaupun ada kontak, hubungan itu didasarkan pada sistem ordinat-subordinat. Orang-orang 'Belanda Depok' saat itu merasa kedudukan sosialnya lebih tinggi dan pantang bekerja sebagai buruh kasar.

Pilihan sikap hidup seperti itu pada akhirnya menyulitkan posisi mereka ketika terjadi perubahan sosial-politik pasca runtuhnya Hindia Belanda. Ketika gejolak revolusi sosial (orang-orang Belanda menyebutnya sebagai Masa Bersiap) merambah kota-kota di Jawa pada 1945-1946, Depok menjadi salah satu target amuk kaum pribumi.

Insiden Gedoran Depok

Jeanette Tholense masih ingat suatu hari di awal Oktober 1945, segerombolan pemuda bersenjata menggeruduk rumah orangtuanya di Kerksstraat.

Selain menjarah, mereka pun membunuh salah satu saudaranya yang bernama Hendrick Tholense. Tidak merasa aman, mereka lantas pindah ke Jalan Bungur. Alih-alih aman, lusanya para pemuda beringas itu datang lagi dan mengusir mereka dari rumahnya masing-masing.

"Semua disuruh buka baju. Dengan kondisi setengah telanjang, kami digiring ke Stasiun Depok Lama," kenang perempuan kelahiran tahun 1936 itu.

Menurut Wenri yang lama melakukan riset tentang Insiden Gedoran Depok itu, para pemuda yang terlibat dalam aksi di masa bersiap tersebut rata-rata adalah para jago dan kriminal kambuhan yang tergabung dalam laskar-laskar bersenjata.

Bahkan tidak hanya dari lingkungan sekitar selatan Jakarta saja, para jago dari Klender, Karawang dan Bekasi juga ikut meramaikan aksi gedoran di Depok pada 11 Oktober 1945. Di bawah pimpinan Camat Nata, mereka datang dari arah timur Depok dengan menggunakan kereta api, truk dan gerobak sapi.

"Gerombolan tersebut dengan bebas merampok dan mengobrak-abrik rumah-rumah dan mengusir penghuninya, terutama penduduk Kristen Eropa," ungkap Wenri.

Setelah puas melakukan penjarahan dan pembunuhan, para pemuda itu memisahkan kaum laki-laki dewasa dengan kaum perempuan dan anak-anak. Kaum laki-laki itu kemudian diangkut kereta api dan dikirim ke Penjara Paledang, Bogor. Sedangkan kaum perempuan dan para bocah disekap di Gementee Bestuur (biasa disebut sebagai Gedung Padi). Tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali menangis.

"Diam! Atau mau dibakar hidup-hidup?!" teriak seorang pemuda.

Untunglah 'neraka' itu tidak lama berlangsung. Setelah empat hari disekap, pada suatu sore sekira jam 15.00, seorang jurnalis BBC bernama Johan Fabricius dengan membawa hampir satu peleton serdadu Gurkha datang membebaskan mereka. Setelah dirawat dan diberi makan, mereka lantas dibawa dengan truk ke Kota Paris Bogor, lalu ke Kedunghalang.

 

"Itu terpaksa dilakukan karena adanya ancaman dari para penembak jitu dan kelompok laskar pemuda yang dalam situasi tertentu tiba-tiba bisa datang menyerang," ungkap Johan Fabricius dalam buku memoarnya, Een wereld in beroering.

Di Bogor, mereka kembali dipertemukan dengan suami masing-masing yang menurut Fabricius nyaris saja dihabisi para pemuda. Sejak itulah mereka bertahan agak lama di kamp interniran dengan jaminan dari pasukan Sekutu dan pemerintah Belanda.

Tamatnya Republik Depok

Pada akhir 1949, atas izin pemerintah Republik Indonesia, Kaum Depok dibolehkan kembali ke rumahnya masing-masing. Mereka diberikan pilihan: ikut Republik Indonesia (RI) atau pindah ke Belanda. Mayoritas banyak yang mengambil pilihan kedua.

Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 4 Agustus 1952, pemerintah RI secara resmi mencabut status otonomi Depok dan memasukan desa itu sepenuhnya ke dalam wilayah RI yang baru.

Untuk menyampaikan soal ini diutuslah Raden Tumenggung Abas Wilaga Somantri Padmanegara dan Raden Tumenggung Mohamad Singer Wirahadikoesoemah, dua menak Sunda berpendidikan Belanda. Mereka lantas membuat kesepakatan dengan presiden terakhir 'Republik Depok' yang bernama Johanes Matheis Jonathans.

"Riwayat status kebebasan Depok pun tamat…" ungkap John Karel Kwisthout dalam Jejak-Jejak Masa Lalu Depok.***