Jangan Anggap Enteng Labelisasi Galon BPA, Tertunda Mengancam Masa Depan Indonesia

(©Shutterstock.com)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Penggunaan galon plastik polikarbonat memang masih banyak digunakan dalam industri air minum dalam kemasan (AMDK). Memang terkesan plastik karena bisa digunakan berulang kali, tapi fakta kandungan bahan kimia Bisphenol A (BPA) tak boleh diabaikan. Proses pelabelan galon BPA seperti yang telah diimbau oleh pemerintah pun berjalan tersendat. Sikap Indonesia terbilang melunak, tapi market leader industri AMDK yang dikuasai investasi asing masih terus menolak pelabelan tersebut.

Pelabelan yang tertunda ini tentu membuat banyak masyarakat Indonesia yang masih terus minum air dari kemasan galon BPA setiap harinya. Tak terkecuali ibu hamil dan balita yang rentan terkena paparan bahaya senyawa kimia tersebut.

Pembatasan Secara Ketat di Luar Negeri

Dikutip dari merdeka.com, Indonesia sendiri mengimbau pelabelan terhadap galon plastik BPA. Sementara itu, di luar negeri kemasan ini sudah tegas dilarang dan dibatasi secara ketat. Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA), Arist Merdeka Sirait pun mengungkapkan pendapatnya terhadap masalah yang satu ini.

“Semua pakar kesehatan dunia yang telah melakukan riset sepakat bahwa BPA sangat berbahaya bagi usia rentan, yaitu bayi, balita, dan janin pada ibu hamil. Bahkan BPA dinyatakan sebagai polusi yang tak terlihat.”

Bahaya senyawa BPA sudah dipahami oleh dunia internasional. Inilah yang membuat plastik BPA diregulasi secara ketat dan dilarang di banyak negara maju. Misalnya saja di Uni Eropa yang sudah melarang penggunaan BPA sejak 2011. Kanada juga melarang kemasan BPA untuk anak dan orang dewasa pada 2017. Negara bagian di Amerika Serikat juga sudah mengeluarkan larangan BPA untuk kemasan seperti California (2015), Connecticut (2014), Illinois (2014), Maryland (2014), Massachusetts (2014), Minnesota (2014), New York (2014), Washington (2014), termasuk juga Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Malaysia.

Dampak untuk Kesehatan Anak

Arist pun menambahkan jika Komnas PA masih terus melakukan pemantauan terhadap kemasan BPA yang mengancam kesehatan anak. Pelaku industri dan beberapa pihak terkait seperti memilih kepentingan industri dan membiarkan kekerasan tak terlihat ini terus terjadi.

“Dibiarkannya anak-anak, bayi, balita dan janin terus mengonsumsi makanan dan minuman dari wadah atau kemasan yang mengandung BPA,” kata Arist dalam Diskusi Publik ‘Bebaskan Anak-anak Indonesia dari Kemasan BPA yang Berbahaya’, di Jakarta (26/1).

Arist juga mengungkapkan bahwa senyawa BPA ini banyak ditemukan di berbagai kemasan yang digunakan sehari-hari. Seperti kemasan untuk menyeduh air susu dan wadah yang terbuat dari plastik seperti galon bekas pakai oleh industri AMDK yang digunakan berulang untuk dijual lagi ke konsumen.

“Saya kira industri wajib hukumnya membuat peringatan itu (BPA),” kata Arist.

 

Sangat disayangkan beberapa kemasan plastik seperti galon bekas pakai masih belum mencantumkan label peringatan bahaya BPA.

“Saya lihat iklan yang ada saat ini tidak menyebutkan bahwa kemasannya sudah bebas dari BPA, padahal itu wajib hukumnya oleh industri. Kalau tidak ada iklan seperti itu, maka labelnya (peringatan BPA) harus ada di dalam kemasan plastik,” katanya.

Ia pun menambahkan bahwa kemasan yang tidak dilabeli peringatan bahaya BPA dan dikonsumsi anak serta ibu tentu bisa membawa bahaya. Inilah yang membuat pentingnya regulasi yang dapat mengatur label BPA pada pangan.

“Wajib hukumnya industri menggunakan label. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Perka BPOM) No 31 Tahun 2018 sudah disusun dengan persetujuan DPR, dan sudah diserahkan ke Setneg untuk mendapatkan persetujuan Presiden,” kata Arist. “Perka itu lahir sebagai regulasi untuk melindungi para ibu dan anak-anak dari bahaya BPA.”

Seiring dengan Hari Gizi Nasional yang jatuh pada 25 Januari 2023, Arist mengungkapkan bahwa Komnas PA telah menuliskan surat terbuka kepada Presiden agar peraturan BPOM No. 31 Tahun 2018 tentang label pangan olahan agar segera ditandatangani.

“Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk melindungi kesehatan anak-anak dari bahaya senyawa kimia BPA yang banyak ditemukan di kemasan-kemasan plastik,” katanya.

Berbagai Studi tentang Bahaya BPA

Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mempelajari efek bahaya BPA, total lebih dari 130 studi hingga saat ini. Berbagai dampak kesehatan yang mungkin terjadi adalah kanker payudara, pubertas dini, penyakit jantung, infertilitas, katalisator penyakit saraf, obesitas, serta gangguan hormon dan perubahan perilaku anak.

Indonesia pun diharapkan lebih sigap untuk melindungi warganya. “Jepang sudah meninggalkan plastik BPA dan beralih 100 persen ke plastik PET untuk kebutuhan kemasan di negeri itu,” kata Prof. Mochamad Chalid, pengajar dan peneliti pada Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, belum lama ini.

Pengajar dan peneliti yang satu ini dikabarkan baru saja mengikuti workshop di Tokyo, Jepang tentang penggunaan plastik berbahan polyethylene terephthalate atau disingkat PET. Jenis plastik ini dikenal lebih aman, dan saat ini semua industri AMDK menggunakan jenis plastik tersebut untuk kemasan botol.

Sementara itu untuk kemasan galon, market leader industri AMDK dikuasai oleh investasi asing yang masih mempertahankan dominasi pasar dan menggunakan galon plastik yang mengandung BPA. Inilah yang menjadi persoalan karena kepentingan investasi asing yang terlihat dominan.

Fakta di lapangan, industri AMDK memang merupakan bisnis raksasa yang memiliki omzet triliunan rupiah. Berdasarkan data di tahun 2021, total pendapatan pasar air minum dalam kemasan di Indonesia mencapai USD 10,51 miliar atau setara dengan Rp149,9 triliun.

Artinya, bisnis AMDK memang sangat menggiurkan dan diperkirakan AMDK akan terus mengalami pertumbuhan rata-rata 5,53% per tahun hingga 2026. (Statista, 2022)***