Bertepatan Hari Pers Nasional, Ini Dia 5 Kejadian Mengerikan yang Dialami Jurnalis

(Dok:satuviral.com)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Hari Pers Nasional jatuh tepat pada hari ini, Kamis (9/2/2023). Puncak Peringatan Hari Pers Nasional 2023 berlangsung di Medan, Sumatera Utara. Pemilihan tanggal 9 Februari sebagai hari Pers Nasional bermula dari berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

PWI adalah organisasi wartawan pertama di Indonesia yang berdiri tepat pada 9 Februari 1946 di Surakarta, Jawa Tengah.

Dikutip dari satu viral.com, hari Pers Nasional memang sudah diinisiasikan sejak 1946. Tapi baru diresmikan pada 1985 oleh pemerintah di era Orde Baru. Pengesahan hari Pers Nasional diperkuat melalui Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1985. Keppres ini ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985.

Dalam Keppres disebutkan bahwa pers nasional Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan yang penting dalam melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.

Berjalannya waktu, Pers juga memiliki undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. UU Pers disahkan oleh Presiden B.J Habibie dan Sekretaris Negara Muladi pada 23 September 1999.

Dalam Undang-undang tersebut mengatur tentang prinsip, ketentuan, dan hak-hak penyelenggaraan pers di Indonesia. UU Pers itu membuat sistem kerja para jurnalistik makin jelas dan kuat.

Profesi jurnalis bukan sekedar mewartakan informasi. Dalam melakukan pekerjaannya, jurnalis menemui sejumlah tantangan, penolakan, hingga harus mempertaruhkan nyawanya. Berikut lima peristiwa mengerikan yang pernah dialami jurnalis.

Jurnalis Meregang Nyawa di Medan Perang

Jurnalis televisi Al-Jazeera Shireen Abu Aqla meninggal dunia setelah menderita luka berat di kepala. Wartawati 51 tahun itu tewas ditembak saat meliput penggerebekan Israel di wilayah pendudukan Tepi Barat pada Rabu (11/5).

 

Al-Jazeera adalah media internasional timur tengah yang berbasis di Qatar. Pemilik Al-Jazeera, mengatakan korespondennya itu dibunuh “dengan sengaja” dan “dengan darah dingin” oleh pasukan Israel.

Jurnalis TV Meninggal Saat Piala Dunia 2022

Seorang jurnalis sepak bola Grant Wahl meninggal dunia saat meliput Piala Dunia 2022. Grant adalah Seorang jurnalis sepak bola senior di media Sports Illustrated. Media itu berbasis di Amerika.

Grant meninggal usai meliput laga perempat final Piala Dunia 2022 antara Argentina dan Belanda. Ia diduga meninggal karena terlalu cape bekerja terlalu keras. Selain meliput untuk channel TV, Almarhum diketahui juga merekam podcast untuk peliputannya.

Lalu Grant tertidur dan tidak terbangun. Tenaga medis memberi pertolongan dengan kompresi dada dan nafas bantuan selama kurang lebih 20 menit. Wahl lalu dievakuasi dari Lusail Iconic Stadium untuk mendapat penanganan. Sayangnya nyawanya tidak tertolong.

Jurnalis Turki Tinggalkan Siaran live Demi Selamatkan Gadis Kecil

Seorang jurnalis Turki, Yuksel Akalan melakukan aksi heroik saat sedang siaran live TV melaporkan gempa di Turki. Ia rela meninggalkan siaran langsung (Live) demi menolong seorang gadis korban gempa.

Yuksel yang merupakan reporter dari A News, saat itu sedang siaran langsung di jalanan Malatya. Lalu terjadi gempa susulan yang cukup keras dan membuat sejumlah gedung rubuh.

Warga setempat segera berlarian menyelamatkan diri. Yuksel lalu melihat seorang gadis kecil berteriak meminta tolong. Pria itu langsung tergerak hatinya dan mendekati sang gadis lalu

Jurnalis AS di tembak di Rusia

Seorang jurnalis AS bernama Brent Renaud (50) ditembak mati oleh pasukan Rusia pada 13 Maret 2020. Peristiwa itu terjadi di di Irpin, Ukraina. Renaud saat itu berada di mobil bersama jurnalis lain. Tiba-tiba tentara Rusia menembaki kendaraan tersebut.

 

Renaud tewas seketika usai tertembak di lehernya. Rekan Renaud, Juan Arredondo, seorang fotografer, mengalami luka-luka dan mendapat perawatan medis di rumah sakit. Hal ini memicu kritik keras dari pemerintah Amerika Serikat.

Jurnalis Indonesia diculik dan disandera Kelompok Bersenjata di Irak

Dua jurnalis Indonesia pernah disandera kelompok bersenjata di Irak pada Februari 2005. Keduanya Meutya Hafid dan juru kamera Budiyanto.

Penyandera menganggap kedatangan kedua jurnalis tersebut merupakan utusan pemerintah Indonesia untuk ikut campur dalam kepentingan politik yang saat itu sedang terjadi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung mengklarifikasi bahwa kedua jurnalis tidak ada kaitannya sama sekali dengan kepentingan politik.

SBY lalu meminta Brigade Mujahiddin di Irak untuk membebaskan jurnalis tersebut. Mereka akhirnya dibebaskan pada 21 Februari 2005. Peristiwa itu pun Meutya abadikan dalam sebuah buku “168 Jam dalam Sandera: Memoar Seorang Jurnalis yang Disandera di Irak”. Begitulah lima kisah jurnalis yang cukup mendunia.***