Ini Dia Kisah Kematian Eks Gubernur Jawa Timur di Tangan Tentara Pro PKI

(Dok:Gubernur Soerjo. ©blogspot.com)

JAKARTA (SURYA24.COM) -Sudah diingatkan untuk tidak melanjutkan perjalanan, Wakil Ketua DPA yang merupakan eks gubernur Jawa Timur meninggal di tangan para algojo kaum komunis. Pertengahan September 1948, Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Moeso menjalankan gerakan untuk melawan pemerintahan Sukarno-Hatta. Pada mulanya mereka memfokuskan gerakannya di Solo dan Madiun, namun berhasil dipukul mundur TNI ke pelosok-pelosok Jawa Timur.

Dikutip dari merdeka.com. dalam gerakan mundur itulah, pada November 1948, mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap feodal. Salah satunya adalah adik laki-laki R.M.T.A. Soerjo (eks gubernur Jawa Timur) bernama R.M. Sarjoeno yang tak lain adalah wedana Sepanjang.

Menurut Sutjiatiningsih dalam buku Pahlawan Nasional Gubernur Suryo, Soerjo yang saat itu tengah berada di Yogyakarta dan menjabat sebagai wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA), merasa berduka dengan berita kematian sang adik tercinta.

Namun, karena tugas-tugasnya sebagai Wakil Ketua DPA tidak bisa ditinggalkan, dia tidak bisa mengikuti pemakaman R.M. Sarjoeno. Baru pada 10 November 1948, dia memiliki kesempatan untuk ikut memperingati 40 hari kematian sang adik di Madiun.

Usai mengikuti upacara peringatan Hari Pahlawan yang ketiga, Soerjo berkemas ke Madiun dengan hanya didampingi ajudannya, Mayor Soehardi dan sopirnya, Letnan Soenarto. Banyak kawan-kawannya, termasuk Perdana Menteri Mohamad Hatta, menganjurkan Soerjo untuk tidak berangkat ke Madiun karena situasi jalan menuju kota tersebut belumlah aman saat itu. Namun dia bersikeras.

Pertanda Buruk

Pertanda buruk mulai terasa ketika baru saja keluar kota Yogyakarta. Ban mobil depan tiba-tiba meletus. Ban cadangan pun dipasang dan mobil kembali melaju. Tiba-tiba mogok karena ternyata bensinnya habis. Menjelang Solo, hari sudah mulai gelap. Soerjo dan kedua pendampingnya pun memutuskan untuk menginap di rumah Residen Solo.

Keesokan harinya, mereka bertiga melanjutkan perjalanan sejak pagi. Perjalanan mulanya lancar-lancar saja. Hingga pada siang menjelang sore, sampailah mereka di kawasan hutan jati yang termasuk dalam wilayah Bogo, Kedungalor, Ngawi.

Tanpa sepengetahuan mereka, kawasan hutan tersebut beberapa hari sebelumnya telah dijadikan tempat beristirahat sekitar 3.000 prajurit yang pro PKI pimpinan Maladi Yusuf. Mereka tengah meluputkan diri menuju Gunung Lawu.

Mobil yang ditumpangi Soerjo lantas dihentikan. Mereka bertiga ditahan. Ikut pula ditahan dua anggota Kepolisian RI yakni Komisaris Besar M. Doerjat dan Komisaris Soeroko yang pada saat bersamaan mobilnya tengah melewati kawasan tersebut. Setelah membakar dua mobil itu, anggota pasukan Maladi Yusuf menggiring kelimanya ke Kampung Sundi di Desa Bangunrejo Lor (sekitar 5 km dari tempat mereka dicegat).

Kepala Dipenggal

Menurut Trisno (98), malam itu Soerjo dan keempat tawanan lain diinapkan di Kantor Kehutanan Sundi. Seiring dengan itu, santer terdengar kabar bahwa besok hari Bangunrejo Lor akan diserang oleh pasukan pemerintah. Pagi harinya (12 November 1948), dalam kondisi hanya memakai celana dalam dan mata tertutup secarik kain, mereka dibawa ke tepi Kali Kakah di Dusun Ngandu. Dengan menggunakan senjata tajam, orang-orang Maladi Yusuf menghabisi satu persatu kelima tawanan tersebut dengan cara memenggal kepala mereka.

"Saya ingat, ada sekitar tujuh orang dewasa di desa kami yang disuruh tentara-tentara itu menguburkan mayat Pak Soerjo dan kawan-kawannya," ujar sesepuh di Desa Bangunrejo Lor itu.

Tiga hari kemudian, Bangunrejo Lor diserang pasukan pemerintah. Pasukan Maladi Yusuf yang tidak mengira posisinya sudah terketahui lintang pukang menuju Randublatung. Sepeninggal mereka, para lelaki Bangunrejo Lor dikerahkan untuk menggali kembali jasad Soerjo dan keempat rekannya untuk dimakamkan di tempat yang layak.

"Kami menemukan jasad Pak Soerjo tertanam secara dangkal di dalam lumpur Kali Kakah yang sedang kering kerontang," kenang Trisno.

 

Jasad Soerjo kemudian dibawa ke Madiun. Atas keinginan keluarga besarnya, ia lantas dikebumikan di pemakaman keluarga besar istrinya di Desa Kapalorejo, Magetan. Banyak kalangan yang ikut bersedih dan mengecam pembunuhan itu sebagai sesuatu yang seharusnya tak dilakukan kepada orang yang sangat berjasa kepada Indonesia.

Soeripno, tokoh PKI yang terlibat dalam Insiden Madiun 1948 termasuk orang yang menyesali pembunuhan itu. Demikian menurut dokumen Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang ditulis Djamal Marsudi, menyadur dari catatan tangan tokoh PKI itu selama ditahan di Penjara Solo. Bersama Amir Sjarifudin dan kawan-kawannya, Soeripno akhirnya dihukum mati di Ngalihan pada 19 Desember 1948. ***