Penasaran Mengapa Orang Indonesia Pendek-pendek? Ini Ulasan Ilmuwan

Orang Rampasasa, berasal dari desa Waemulu, Flores, NTT. (Dok:©Dean Falk/Florida State University)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Manusia beragam dalam ukuran dan bentuk – tetapi beberapa populasi memiliki tinggi rata-rata yang relatif pendek, dan secara historis dideskripsikan menggunakan istilah “kerdil”. Beberapa peneliti berpendapat, penduduk Rampasasa di dataran tinggi Flores, Indonesia adalah salah satunya.

Satu makalah yang diterbitkan di jurnal Science mengamati apakah orang Rampasasa terkait dengan makhluk mirip manusia purba yang juga bertubuh kecil dan pernah tinggal di pulau Flores – hominin purba Homo floresiensis, yang biasa disebut sebagai “Hobbit”. Rampasasa tinggal di dekat Liang Bua, tempat fosil Hobbit pertama kali ditemukan.

Penelitian tersebut menemukan tidak ada bukti hubungan genetik. Namun dalam makalah yang terbit sebelumnya pada 2006 menyatakan sebaliknya.

Dikutip dari merdeka.com, klaim utama yang dibuat oleh makalah terbaru adalah, ada dua kasus independen kerdil insular(pengurangan ukuran dari waktu ke waktu) yang berkembang di Flores: satu di spesies Home sapiens kita, dan satu lagi yang menyebabkan munculnya Homo floresiensis. Demikian dikutip dari Ancient Origins, Kamis (9/2).

Dalam antropologi, istilah "pygmy atau kerdil" itu mengacu pada populasi dengan tinggi rata-rata pria kurang dari 150 cm dan tinggi rata-rata perempuan kurang dari 140cm.

Menurut data tahun 1940-an yang dikumpulkan oleh antropolog misterius W. Keers, tinggi rata-rata pria bervariasi antara 154 cm dan 163 cm di dataran tinggi Flores, Timor tengah, dan Sumba. Mereka adalah orang-orang pendek, tapi tidak disebut "pigmi" menurut definisi klasik.

Hal yang sama berlaku untuk orang Rampasasa, berdasarkan tinggi rata-rata 146 cm dari 35 laki-laki dan 41 perempuan. Mengingat ini adalah sampel jenis kelamin campuran, agak membingungkan ketika makalah baru di jurnal Science menyebut Rampasasa sebagai "kerdil".

Perawakan kecil 110 cm untuk tipe Homo floresiensis "hobbit" khususnya perempuan jauh di bawah kisaran yang tercatat untuk manusia modern. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengaitkan perawakan kecil "Hobbit" dengan penyakit seperti mikrosefali, kretinisme, down syndrome, dan sindrom Laron .

Eksistensi "Hobbit" didasarkan pada fosil asli yang dilaporkan di Liang Bua pada tahun 2004, dan kemungkinan bukti tambahan yang terletak di situs Mate Menge sebelumnya yang dilaporkan pada tahun 2016.

Jadi bagaimana mungkin Homo floresiensis mengembangkan ciri-ciri uniknya, yang ukurannya kecil hanyalah satu?

Menurut bukti arkeologis, nenek moyang mereka tiba di Flores kira-kira 1 juta tahun yang lalu, yang memberikan cukup waktu bagi evolusi melalui isolasi suatu spesies (jika kita menerima fosil Mate Menge sebagai juga Homo floresiensis ) bertanggal 700.000–60.000 tahun yang lalu.

Beberapa ahli paleoantrologi berpendapat, nenek moyang langsung Hobbit adalah Homo erectus Asia, biasanya disebut "Java Man" atau "Manusia Jawa" karena menetap di Jawa dari sekitar 1,7 juta tahun lalu sampai sebelum 100.000 tahun lalu.

Sejumlah ilmuwan yang menggunakan teknik filogenetik yang biasa digunakan di seluruh paleontologi mengatakan, hominin yang lebih kuno, mungkin yang lebih dekat hubungannya dengan Homo habilis pasti telah mencapai Flores untuk memunculkan Hobbit.

Temuan arkeologi baru-baru ini di China berasal dari 2,1 juta tahun yang lalu mendukung gagasan bahwa hominin pra-erectus yang lebih tua mungkin telah ada di Asia.

Manusia modern pertama kali pindah ke wilayah Pulau Asia Tenggara paling cepat 65.000 tahun yang lalu, menandai kolonisasi laut Australia dan New Guinea. Migrasi manusia modern selanjutnya dari Asia Timur Laut terjadi ke Pulau Asia Tenggara dalam 4.000 tahun terakhir.

Karakteristik fisik yang berbeda pada masyarakat di wilayah ini mungkin mencerminkan dua migrasi ini. Makalah Science memang menemukan kontribusi genetik kecil pada Rampasasa dari dua populasi purba lainnya, tetapi ini tidak membedakan mereka dari manusia modern lainnya di wilayah tersebut.

Salah satu populasi purba ini adalah Neanderthal, yang tanda genetiknya ada pada semua manusia modern di luar Afrika. Yang lainnya adalah Denisovans, yang DNA-nya hanya diketahui dari tulang jari yang ditemukan di gua Siberia.

Denisovans telah diidentifikasi sebagai kontributor kecil pada DNA populasi saat ini di Filipina, pulau-pulau dekat Flores, dengan frekuensi yang sedikit lebih tinggi dalam DNA orang-orang dari New Guinea dan Australia.

 

Data genetik Rampasasa yang diperoleh ilmuwan seluruhnya cocok dengan nenek moyang ganda seperti yang juga ditemukan pada orang Indonesia bagian timur lainnya. ***