Natalius Pigai Sebut Jokowi Menghayal, Masa Papua Dapat Rp 1.000 Triliun: Kata HMS Center Indonesia Potensi Hilang Generasi Akibat Tumpukan Utang Pemerintah

Aktivis HAM Papua Natalius Pigai/RMOL

JAKARTA (SURYA24.COM)-Klaim Presiden Joko Widodo yang mengungkapkan pemerintah telah mengucurkan total anggaran Rp 1.036 triliun untuk pembangunan di Papua, dipertanyakan.

Presiden Jokowi menyebutkan, anggaran tersebut juga digunakan untuk menyelesaikan pembangunan jalan sepanjang 3.462 kilometer di wilayah tersebut.

Hal itu disampaikan Jokowi saat meresmikan Gedung Papua Youth Creative Hub (PYCH) di Kota Jayapura, Papua pada Selasa (21/3). Jokowi mengatakan anggaran itu digelontorkan secara bertahap selama masa pemerintahannya.

"Sejak tahun 2014-2022 pembangunan di sini telah dianggarkan oleh pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kita senilai Rp 1.036 triliun untuk pembangunan Papua," ujar Jokowi.

Salah satu yang mempertanyakan adalah aktivis HAM Papua Natalius Pigai. Dia menyebut, pernyataan Jokowi itu sebagai kebohongan.

Dikatakan Pigai, setiap tahunnya pemerintah pusat hanya mengalokasikan anggaran Rp 700 triliun untuk dana daerah.

"Bohong! Pemerintah pusat kucurkan dana desentralisasi fiskal ke daerah (DAU, DAK, Dana Otsus) untuk 34 Provinsi Rp 700 T/tahun," cuit Pigai di Twitter, seperti dilansir rmol.id,Selasa (21/3).

"Masa Papua dapat Rp 1.000 triliun. Kali ini @jokowi menghayal dan halusinasi," pungkasnya. 

Akibat Tumpukan Utang Pemerintah

Sementara itu beban utang yang sudah sangat besar, membawa Indonesia terjebak dalam situasi middle low income trap atau negara berpendapatan menengah bawah. Kondisi itu, juga mengkonfirmasi bahwa utang tidak mempunyai peranan besar dalam merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Begitu dikatakan Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho mengomentari utang pemerintah Indonesia per akhir Desember 2022, yang sudah mencapai Rp 7.733,99 triliun.

Tingginya utang itu, kata Hardjuno, akan membuat ekonomi Indonesia akan sulit berkembang. Sebab, keuangan negara tersandera untuk pembayaran pokok dan bunga utang. Mirisnya lagi, setiap tahun pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 5 persen.

Kondisi itu, lanjutnya, akan menjadi bahaya laten yang akan mengancam masa depan Indonesia, yakni potensi kehilangan beberapa generasi atau lost generation.

"Hal ini karena kekurangan gizi, kurang pendidikan, dan penurunan status kesehatan dari berjuta anak Indonesia sebagai dampak memburuknya situasi ekonomi akibat tumpukan utang pemerintah,” ujar Hardjuno di Jakarta, seperti dilansir rmol.id,Selasa (21/3).

Dia menguraikan, dari 5 persen pertumbuhan ekonomi nasional tiap tahun, 3 persen berasal dari konsumsi. Artinya tidak menambah nilai dalam rantai ekonomi alias tidak menyerap pekerjaan dan menambah pendapatan negara di masa depan.

Sementara, lanjutnya, hanya 2 persen pertumbuhan ekonomi yang menggerakkan dan memajukan ekonomi. Angka ini tidak akan cukup memenuhi pertumbuhan utang negara karena angka utang sudah mengarah pada pola gali lubang tutup lubang.

“Pada akhirnya, situasi ini pula lah yang bisa menjelaskan mengapa tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia masih berada pada level yang teramat tinggi,” tuturnya.

Menjelang pemilihan umum 2024, kata Hardjuno lagi, seluruh elemen bangsa ini, harus sadar apa masalah mendasar bangsa ini. Karena tanpa itu, yang akan terjadi rakyat akan selalu dikorbankan dalam perebutan kekuasaan para elite.

“Kalau terus dibiarkan, ketimpangan makin lebar dan rakyat makin sengsara,” pungkas Hardjuno.***