Mengenal Lebih Dekat dengan Dua Metode Penentuan Awal Ramadhan di Indonesia, Simak Yuk

Ilustrasi (Dok:Net)

JAKARTA (SURYA24.COM)-Ramadhan adalah bulan suci dalam agama Islam di mana umat muslim berpuasa selama satu bulan penuh. Namun, penentuan awal Ramadhan seringkali menjadi perdebatan di kalangan umat muslim di Indonesia. Ada dua metode penentuan awal Ramadhan yang umum digunakan di Indonesia, yaitu rukyat dan hisab. Dalam artikel ini, kita akan membahas kedua metode tersebut.

Namun, kapan sebenarnya awal Ramadhan dimulai? Bagaimana cara menentukannya?

Di Indonesia, ada dua metode yang digunakan untuk menentukan awal Ramadhan, yaitu rukyat dan hisab.

Kedua metode ini berbeda dalam cara melihat posisi bulan sabit atau hilal yang menjadi tanda masuknya bulan baru dalam kalender Hijriyah.

Metode rukyat adalah metode yang mengandalkan pengamatan langsung terhadap hilal dengan mata telanjang atau alat bantu seperti teleskop.

Metode ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan:

"Berpuasalah kamu ketika telah melihat hilal Ramadan dan berhentilah kamu berpuasa ketika telah melihat hilal bulan Syawal. Jika hilal tertutup bagimu, maka genapkanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari." (HR Bukhari dan Muslim)

Dikutip dari intisarionline.com, metode rukyat biasanya digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan pemerintah melalui sidang isbat yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama (Kemenag).

Sidang isbat adalah rapat tertutup yang mengumpulkan para ulama, ahli falak, astronomi, dan perwakilan ormas Islam untuk membahas hasil pengamatan hilal dari berbagai titik di seluruh Indonesia.

Metode hisab adalah metode yang menggunakan perhitungan matematis atau astronomis untuk mengetahui posisi hilal secara pasti tanpa harus melihatnya secara langsung.

Metode ini didasarkan pada ayat Al-Quran yang menyatakan:

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan haji." Dan bukanlah kebajikan dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya; tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 189)

Metode hisab biasanya digunakan oleh Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Muhammadiyah menggunakan kriteria hisab hakiki wujudul hilal yang artinya penentuan awal Ramadhan didasarkan pada adanya hilal meskipun tidak terlihat dengan mata telanjang selama memenuhi syarat tertentu seperti tinggi mar’i (ketinggian bulan) dan elongasi haqiqy (jarak sudut antara matahari dan bulan).

 

MUI menggunakan kriteria hisab imkanur rukyat yang artinya penentuan awal Ramadhan didasarkan pada kemungkinan adanya hilal yang bisa dilihat dengan mata telanjang jika langit cerah dan tidak ada halangan.

Perbedaan metode antara rukyat dan hisab seringkali menyebabkan perbedaan pendapat tentang kapan awal Ramadhan dimulai.

Namun, hal ini tidak perlu menjadi sumber perselisihan atau pertikaian di antara umat Islam.

Yang terpenting adalah niat tulus untuk menjalankan ibadah puasa sebagai salah satu rukun Islam.

Sidang isbat merupakan tradisi yang sudah berlangsung sejak masa Nabi Muhammad SAW untuk menentukan awal Ramadhan dengan cara melihat hilal secara langsung atau dengan perhitungan matematis.

Sidang isbat juga bertujuan untuk menyatukan umat Islam dalam menjalankan ibadah puasa.

Sejarah Sidang Isbat

  Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, biasanya melakukan sidang isbat untuk menentukan awal Ramadan pada 29 Syaban.Pixabay

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, biasanya melakukan sidang isbat untuk menentukan awal Ramadan pada 29 Syaban.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, biasanya melakukan sidang isbat untuk menentukan awal Ramadan pada 29 Syaban.

Seperti diketahui  Muhammadiyah sudah jauh-jauh hari menentukan awal puasa 2023. Sementara di sisi lain, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, masih harus menggunakan metode sidang isbat.

 

Sidang isbat sendiri biasanya dilakukan pada 29 Syaban, tahun ini jatuh pada 22 Maret 2023.

Mengutip Kompas.com, dalam sidang isbat biasanya akan dipaparkan terkait pengamatan posisi hilal di awal Ramadan. Setelah itu akan dilakukan sidang secara tertutup dan hasilnya dipaparkan secara langsung dan disiarkan media massa.

Untuk informasi, sidang isbat pertama kali diadakan untuk menentukan awal Ramada tak lama setelah Departemen Agama didirikan pada 3 Januari 1946.

Kini Departemen Agama sudah berganti menjadi Kementerian Agama, gedungnya di seberang Lapangan Banteng.

Kegiatan isbat mulai berjalan pada 1950 dengan menghadirkan para ulama untuk penentuan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.

Dalam sidang isbat ketika itu, menteri agama mendengarkan paparan dari para ulama dan organisasi massa Islam.

Departemen Agama kemudian membentuk Badan Hisab Rukyat (BHR) pada 1972 untuk menyeragamkan pelaksanaan hari raya Islam.

Ketika itu pemerintah menggandeng astronom untuk memberikan pandangan dari sisi ilmu pengetahuan.

Kemenag mulai mengundang sejumlah duta besar negara sahabat untuk mengikuti sidang isbat mulai 2013.

Dua organisasi massa Islam besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, kerap berbeda dalam menentukan awal Ramadhan.

Perbedaan itu disebabkan oleh metode yang dianut masing-masing lembaga.

Untuk NU, penentuan awal Ramadhan mengacu kepada rukyatul hilal.

Caranya adalah dengan pengamatan langsung hilal atau bulan baru.

 

Sedangkan Muhammadiyah memilih metode wujudul hilal dengan cara hisab.

Hisab dalam hal ini adalah menghitung posisi Bumi terhadap Matahari dan Bulan secara matematika dan astronomi.

Sifat utama sidang isbat adalah musyawarah.

Sebab hasil dalam sidang itu merupakan kesepakatan antara masing-masing ormas Islam yang diwakili oleh utusan masing-masing.

Maka dari itu, baik NU dan Muhammadiyah pun tidak pernah memaksakan supaya masyarakat mengikuti mereka dalam hal penetapan awal Ramadhan dan 1 Syawal atau Idul Fitri.***