Siapa Sangka Jam Gadang Menjadi Saksi Bisu Pembantaian Rakyat yang Dituduh Pro PRRI

Tugu Jam Gadang di Bukittinggi. Arsip Nasional Belanda©2023 Merdeka.com

JAKARTA (SURYA24.COM)- Siapa yang tidak tahu jam Gadang yang bderlokasi Bukittinggi, Sumatera Barat (Sumbar). Ya, jam gadang  adalah sebuah menara jam yang menjadi ikon dari Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Dibangun pada tahun 1926 oleh pemerintah kolonial Belanda, jam ini memiliki ketinggian sekitar 26 meter dengan empat sisi yang dihiasi oleh relief-relef bersejarah dan patung kuda sebagai lambang kekuatan.

Selain sebagai penanda waktu bagi masyarakat setempat, Jam Gadang juga memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi bagi masyarakat Minangkabau. Bangunan yang menjadi ciri khas Kota Bukittinggi ini menjadi saksi bisu dari sejarah panjang Minangkabau yang kaya akan budaya dan tradisi.

Di dalam Jam Gadang, terdapat sebuah ruangan khusus yang dikenal sebagai "ruang jam". Di sinilah mesin jam berukuran besar ditempatkan, yang masih berfungsi hingga saat ini dan menjadi saksi bisu dari perjalanan waktu sejak pertama kali dioperasikan.

Jam Gadang Bukittinggi menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dalam berbagai acara dan perayaan, seperti pesta perkawinan, khitanan, dan selamatan. Selain itu, pada malam hari, lampu-lampu yang menyala di sekitar menara jam ini memberikan pemandangan yang indah dan mempesona bagi siapa saja yang melihatnya.

 

Sebagai sebuah simbol budaya, Jam Gadang Bukittinggi juga menjadi inspirasi bagi seniman dan budayawan dalam berbagai karya seni, seperti lukisan, puisi, dan lagu. Kecintaan masyarakat terhadap jam ini juga tercermin dalam lagu daerah yang terkenal, yaitu "Ayam Den Lapeh" yang bercerita tentang seorang lelaki yang sedang menunggu kekasihnya di bawah Jam Gadang.

Namun, seiring berjalannya waktu, Jam Gadang Bukittinggi mengalami berbagai masalah dan kerusakan. Oleh karena itu, perlu dilakukan perawatan dan restorasi yang tepat agar keindahan dan keaslian jam ini tetap terjaga.

Jam Gadang Bukittinggi tidak hanya menjadi sebuah menara jam, tetapi juga merupakan simbol budaya dan identitas masyarakat Minangkabau. Keindahan dan keunikannya yang melekat dalam sejarah dan budaya masyarakat Sumatera Barat harus dijaga dan dilestarikan untuk generasi yang akan datang.

 Saksi Bisu 

Selain pengingat waktu dan menjadi salah satu magnet bagi masyarakat di luar Sumbar mengunjungi Kota Bukittinggi yang terkenal berhawa sejuk, maka dalam peristiwa pemberontakan PRRI menimbulkan luka mendalam di kalangan orang-orang Minang. Banyak menimbulkan korban jiwa di kalangan sipil.

Dikutip dari merdeka.com, kenangan Sutan Iskandar (kelahiran 1947) masih segar mengingat kejadian itu. Saat itu usianya baru saja beranjak 12 tahun ketika sekelompok tentara pusat (sebutan orang-orang Minang kepada tentara pemerintahan Sukarno) menggiring ratusan lelaki dalam kelompok-kelompok kecil ke arah tugu Jam Gadang.

"Selanjutnya saya tidak menyaksikan lagi mereka diapakan, tapi memang saya mendengar tembakan berkali-kali dari arah Jam Gadang," kenangnya.

Pada 10 Februari 1958, tercetuslah yang disebut sebagai PRRI (Pemerintah Revolusiener Republik Indonesia). Pimpinan Letnan Kolonel Ahmad Husein (tokoh pejuang kemerdekaan Sumatera Barat) di Padang.

 

Awalnya, menurut sejarawan R.Z. Leirissa dalam PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, gerakan itu sebagai koreksi politik terhadap pemerintahan Presiden Sukarno yang dianggap berat ke sebelah kiri.

'Dikompori' kelompok-kelompok kiri, terutama Partai Komunis Indonesia (PKI), kritik dan permintaan untuk membubarkan kabinet Djuanda itu malah disikap Presiden Sukarno secara keras.

Presiden memerintahkan tentara menyerang Sumatera Barat. Maka diadakanlah Operasi 17 Agustus 1958 yang dipimpin oleh Kolonel Achmad Jani. Sejak itulah ranah Minang dibekap perang saudara yang memilukan.

187 Orang Dibunuh di Dekat Jam Gadang

Dalam buku PRRI: Pemberontakan atau Bukan? karya Syamdani, apa yang pernah disaksikan Sutan Iskandar adalah kenyataan sejarah adanya. Mengacu kepada sebuah artikel yang pernah dimuat surat kabar Singgalang pada 20 Januari 2000, ada 187 orang Minang yang pernah dibunuh di dekat tugu kebanggan masyarakat Bukittinggi tersebut.

Ironisnya, dari jumlah itu, hanya tujuh belas orang yang teridentifikasi sebagai gerilyawan PRRI, sedangkan seratus tujuh puluh lainnya merupakan warga sipil yang tidak mengerti apa-apa.

Selain Insiden Jam Gadang, pembunuhan, penyiksaan dan teror pun banyak dialami oleh rakyat Sumatera Barat kala itu. Betti Yusfa dalam sebuah makalah yang dikeluarkan oleh IKIP Padang pada 1998, ‘Kekerasan dalam Zaman PRRI di Tlatang Kamang 1958-1961’, menuliskan kisah pilu keluarga seorang ulama asal Kamang bernama Kari Mangkudung.

Dari hasil wawancara Betti dengan seorang tokoh masyarakat di Kamang, Z.Sutan Kabasaran, dituturkan bagaimana keluarga Kari Mangkudung musnah dibantai tentara pusat.

 

"Mereka hanya menyisakan seorang bayi berusia tiga bulan yang kemudian dibawa seorang tentara pusat dan sampai sekarang tidak diketahui lagi di mana rimbanya,” ungkap Sutan Kabasarn seperti yang dikutip oleh Betti dalam makalahnya.

Mayat Digulingkan dari Bukit

Betti juga mengungkap insiden di Desa Bansa pada 1959. Dari saksi sejarah bernama M. Datuk Manindieh dikisahkan tentang kisah sedih tiga pemuka masyarakat Desa Bansa. Yakni Datuk Kabasaran, Datuk Beco dan datuk Alam.

Tanpa sebab musabab, ketiga orang tua yang tak berdaya itu diperintahkan jalan ke Desa Pauh (berjarak 4 km dari Bansa) sambil diiringi oleh sekelompok tentara pusat.

Begitu sampai di Desa Pauh, para tentara itu menyuruh ketiga orang tua tersebut mendaki sebuah bukit. Sambil terseok-seok, ketiganya menuruti apa yang diperintahkan oleh para prajurit tersebut. Alih-alih dibebaskan, ternyata ketiganya hanya menjadi sasaran latihan tembak.

"Dari jarak yang cukup jauh, tentara pusat menembaki mereka satu persatu hingga mayat-mayat ketiganya bergulingan ke kaki bukit," ungkap Datuk Manindieh.

Tank Tembaki Rumah Warga

Teror juga dilakukan oleh tentara pusat terhadap orang-orang Kuala Tangkar. Kesaksian seorang penduduk bernama Sanur dalam surat kabar Singgalang, 2 Februari 2000 menyebutkan bahwa pernah karena orang-orang Kuala Tangkar dianggap pro PRRI, mereka menyerang desa itu dengan mengerahkan empat tank baja.

"Tank-tank itu menghujani rumah-rumah penduduk dengan peluru-peluru secara membabibuta hingga musnah terbakar," ungkap Sanur.

Pembantaian massal juga pernah dilakukan tentara pusat pada November 1959 di Kamang. Pada hari Senin saat diadakan hari pakan/pasar, sejak pukul 7 pagi, tak hentinya tentara pusat mengirimkan peluru-peluru mortir dari Bukittingi.

Tak cukup dengan menggunakan mortir, artileri berat dari Angkatan Darat pun ikut berbunyi disusul dengan serangan udara dari sebuah pesawat tempur. Akibatnya banyak rakyat bersimbah darah.***