Dibalik Misteri Persaingan Sunan Kudus versus Sunan Kalijaga, Siapa yang Menang?

Ilustrasi (Dok:Net)

 

JAKARTA (SURYA24.COM)- Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus adalah dua tokoh besar dalam sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia. Keduanya memiliki peran penting dalam mengembangkan agama Islam di wilayah Jawa Tengah pada abad ke-15 hingga ke-16. Kedua tokoh ini memiliki perbedaan dalam gaya dakwah dan pandangan keagamaan, namun keduanya juga memiliki persamaan dalam memperjuangkan Islam di Indonesia.

Sunan Kali Jaga dikenal sebagai seorang tokoh yang memiliki gaya dakwah yang khas. Ia sering menggunakan bahasa Jawa dalam menyampaikan ajaran agama Islam. Ia juga dikenal sebagai seorang sufi yang memiliki keahlian dalam mengajar tari-tarian sufi yang dianggap sebagai bentuk ibadah. Sunan Kali Jaga juga dikenal sebagai salah satu tokoh yang memperjuangkan hak-hak rakyat kecil, dan ia sering kali melawan kebijakan penguasa yang tidak adil.

Di sisi lain, Sunan Kudus memiliki gaya dakwah yang lebih formal. Ia sering menggunakan bahasa Arab dalam menyampaikan ajaran agama Islam. Sunan Kudus juga dikenal sebagai seorang ahli dalam ilmu tafsir Al-Quran dan ilmu hadis. Ia merupakan salah satu tokoh yang memperjuangkan keutamaan ilmu pengetahuan dan pendidikan di dalam Islam.

Meskipun keduanya memiliki perbedaan dalam gaya dakwah, keduanya juga memiliki persamaan dalam memperjuangkan Islam di Indonesia. Keduanya memiliki tekad yang kuat dalam menyebarkan ajaran agama Islam dan mengajarkan nilai-nilai kebenaran. Keduanya juga memiliki peran penting dalam membuka jalan bagi penyebaran agama Islam ke seluruh Indonesia.

Persaingan antara Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus terjadi pada saat itu, terutama dalam hal penyebaran agama Islam di wilayah Jawa Tengah. Meskipun keduanya memiliki perbedaan dalam gaya dakwah, namun keduanya tetap saling menghormati dan bekerja sama dalam menyebarkan ajaran agama Islam.

Dalam sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia, Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus dikenal sebagai dua tokoh besar yang memiliki peran penting. Meskipun keduanya memiliki perbedaan dalam gaya dakwah, namun keduanya tetap memiliki persamaan dalam memperjuangkan Islam di Indonesia. Keduanya menjadi teladan bagi kita semua dalam memperjuangkan ajaran agama Islam dan memperjuangkan kebenaran.

Perjuangan Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus tidak hanya berhenti pada penyebaran agama Islam, namun keduanya juga berperan dalam pengembangan sosial dan budaya di wilayah Jawa Tengah. Sunan Kali Jaga terkenal dengan keahliannya dalam seni tari-tarian sufi, yang kemudian diwariskan kepada masyarakat setempat. Seni tari sufi tersebut kemudian menjadi salah satu bentuk budaya yang berkembang di wilayah Jawa Tengah.

Di sisi lain, Sunan Kudus juga memperjuangkan pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan di wilayah Jawa Tengah. Ia membangun banyak sekolah dan pondok pesantren di wilayah tersebut, sehingga masyarakat setempat dapat memperoleh pendidikan yang lebih baik.

 

Selain peran dalam pengembangan sosial dan budaya, Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus juga memiliki peran dalam pelestarian lingkungan. Keduanya memperjuangkan keberlanjutan lingkungan di wilayah Jawa Tengah, seperti menjaga kelestarian hutan dan mengembangkan pertanian yang ramah lingkungan.

Meskipun keduanya memiliki perbedaan dalam gaya dakwah dan pandangan keagamaan, namun Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus tetap memiliki persamaan dalam memperjuangkan kebenaran dan kebaikan. Keduanya menjadi teladan bagi kita semua dalam memperjuangkan agama, sosial, budaya, dan lingkungan yang lebih baik di Indonesia. Kita dapat mengambil hikmah dari perjuangan keduanya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan lebih berkeadilan.

Misteri Persaingan S

Dikutip dari intisari-online.com, Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga adalah dua tokoh penting dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa.

Mereka adalah bagian dari Wali Songo, sembilan wali yang berjasa dalam mengislamkan tanah Jawa pada abad ke-15 dan ke-16.

Namun, Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga juga memiliki persaingan yang terkait dengan konflik politik dan budaya di Kerajaan Demak, salah satu kerajaan Islam terbesar di Jawa saat itu.

Persaingan ini juga berdampak pada perkembangan Islam di Jawa, yang menjadi salah satu contoh dari keberagaman dan keindahan Islam Nusantara.

Konflik Politik di Demak

Persaingan Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga bermula dari konflik politik yang terjadi di Kerajaan Demak pada tahun 1546.

 

Konflik ini dipicu oleh kematian Sultan Tranggana, penguasa Demak yang juga merupakan ayah dari Sunan Prawata.

Setelah kematian Sultan Tranggana, ada dua wilayah yang bersaing untuk menguasai takhta Demak, yaitu Jipang dan Pajang.

Jipang dipimpin oleh Aria Panangsang, keponakan Sultan Tranggana yang merasa berhak atas takhta Demak sebagai pewaris sah.

Pajang dipimpin oleh Jaka Tingkir, menantu Sultan Tranggana yang mengklaim dirinya sebagai pilihan rakyat Demak. Jaka Tingkir kemudian memindahkan pusat pemerintahan Demak ke Pajang, beserta seluruh benda-benda pusaka Demak.

Sunan Prawata sendiri tidak tertarik untuk naik takhta, dan lebih memilih untuk menjadi Susuhunan di wilayah Prawata.

Hal ini membuat Jaka Tingkir lebih mudah untuk mengambil alih kekuasaan Demak. Namun, Aria Panangsang tidak mau menyerah begitu saja, dan terus melakukan perlawanan terhadap Jaka Tingkir.

Sunan Kudus sebagai Penengah

Konflik antara Jipang dan Pajang menimbulkan keresahan di kalangan rakyat. Untuk meredam konflik ini, Sunan Kudus dipercaya menjadi penengah oleh para raja.

Sunan Kudus adalah salah satu Wali Songo yang berperan sebagai penyebar Islam dan Imam Besar Masjid Agung Demak. Sunan Kudus memiliki wibawa besar dan pengaruh kuat terhadap para raja dan penguasa di Jawa.

Sunan Kudus kemudian mengangkat Aria Panangsang, Jaka Tingkir, dan Sunan Prawata menjadi muridnya. Hal ini dilakukan agar perselisihan di antara ketiganya dapat diredam.

Mereka menjadi murid Sunan Kudus yang paling setia. Sunan Kudus juga mengajarkan mereka ilmu agama dan politik.

Sunan Kalijaga sebagai Saingan

 

Namun, kemudian keadaan kembali memanas ketika dua murid Sunan Kudus, yaitu Jaka Tingkir dan Sunan Prawata, memilih untuk berguru juga kepada Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga adalah salah satu Wali Songo yang menggunakan strategi budaya untuk menyebarkan Islam di Jawa. Sunan Kalijaga mengadaptasi budaya Jawa sebagai media dakwah, seperti gamelan, wayang, tembang, dan cerita-cerita.

Keputusan Jaka Tingkir dan Sunan Prawata untuk berguru kepada Sunan Kalijaga membuat Sunan Kudus merasa tersinggung.

Perbedaan Pendekatan dalam Berdakwah

Persaingan Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga juga berkaitan dengan perbedaan pendekatan dalam berdakwah. Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga memiliki cara yang berbeda dalam mengenalkan Islam kepada masyarakat Jawa, yang mencerminkan kekayaan budaya dan kearifan lokal Jawa.

Sunan Kudus lebih menganut paham Syafi'i yang kaku dan eksklusif, yang menekankan pada aspek syariat dan hukum Islam. Ia melakukan dakwah dengan mendekati masyarakat melalui simbol-simbol Hindu dan Budha.

Hal ini terlihat dari arsitektur masjid Kudus, yang memiliki bentuk menara, gerbang, dan pancuran yang melambangkan delapan jalan Budha. Sunan Kudus juga memancing masyarakat untuk pergi ke masjid dengan menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. 

Sunan Kalijaga lebih fleksibel dan inklusif, yang menekankan pada aspek hakikat dan makrifat Islam. Ia menggunakan budaya Jawa sebagai media untuk menyebarkan Islam, seperti gamelan, wayang, tembang, dan cerita-cerita. .

Sunan Kalijaga melakukan dakwah dengan sangat toleran terhadap budaya lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi.

 

Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Sunan Kalijaga menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.

Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang 'Petruk Jadi Raja'. Sunan Kalijaga juga mengajarkan konsep momor (membaur), momong (membimbing), momot (menampung) dalam berdakwah.

Dampak bagi Islam di Pulau Jawa

Dampak dari persaingan Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga adalah adanya variasi dalam cara beragama dan bermasyarakat di Jawa.

Islam di Jawa tidak monolitik, tetapi dinamis dan adaptif. Islam di Jawa juga tidak menghapus budaya Jawa, tetapi menghormati dan mengintegrasikannya.

Islam di Jawa juga tidak hanya bersifat formalis, tetapi juga spiritualis. Islam di Jawa menjadi salah satu contoh dari keberagaman dan keindahan Islam di Nusantara.

Menurut NU, akar Islam di Nusantara dapat ditelusuri kembali setidaknya hingga abad ke-16, sebagai hasil dari interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi dan vernakularisasi nilai-nilai Islam universal, sesuai dengan realitas sosio-budaya Indonesia.***

////

Lebih Dekat dengan Ken Dedes Permaisuri Singasari yang Darahnya Mengaliri Para Raja Nusantara, Begini Wajah Aslinya?

Dedes hasil Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, yang diunggah akun Instagram @ainusantara. Foto/Tangkapan Layar/Instagram @ainusantara

JAKARTA (SURYA24.COM)- Nama Ken Dedes menempati tempat tersendiri dalam sejarah Nusantara. Sebab, dia adalah seorang tokoh sejarah Indonesia yang terkenal sebagai istri pertama dari Raja Singhasari, Tunggul Ametung sebelum dibunuh Ken Arok  dengan menggunakan keris pusaka ciptaan Mpu Gandring. Konon sumpah sang empu itu menjadi prahara di kerajaan itu. Aling tidak itu terekam dari sejumlah film maupun sinetron di layar lebar.

Syahdan, Ken Dedes dikenal sebagai seorang wanita yang cantik dan memiliki kecantikan yang luar biasa. Keindahan Ken Dedes bahkan sampai terdengar ke telinga Ken Arok yang pada saat itu masih menjadi seorang penjahat di daerah Jenggala. Ken Arok sangat ingin bertemu dengan Ken Dedes dan mengaguminya karena kecantikannya. Suatu hari, Ken Arok berhasil memenuhi hasratnya untuk bertemu dengan Ken Dedes dan ia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.

Namun, Ken Dedes sebenarnya sudah menikah dengan Tunggul Ametung, seorang penguasa kecil di daerah Jenggala. Ken Arok tidak terhalang oleh fakta bahwa Ken Dedes sudah menikah, dan ia pun berusaha memenangkan hati Ken Dedes dengan berbagai cara.

Pada suatu hari, Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung dengan bantuan orang-orangnya. Setelah kematian Tunggul Ametung, Ken Dedes menjadi janda dan Ken Arok berhasil menikahinya. Namun, Ken Dedes tidak bahagia dengan pernikahannya dengan Ken Arok karena ia merasa bersalah terhadap kematian suaminya yang sebelumnya.

Ken Dedes kemudian melahirkan seorang putra yang diberi nama Anusapati. Ken Arok sangat mencintai anaknya dan menganggap Anusapati sebagai pewaris tahta Singhasari. Namun, Anusapati merasa tidak senang dengan keputusan ayahnya dan ia memutuskan untuk memberontak melawan Ken Arok.

Konflik antara ayah dan anak ini berakhir dengan kematian Ken Arok oleh Anusapati. Setelah kematian Ken Arok, Ken Dedes menjadi ratu dan memerintah Singhasari bersama putranya, Anusapati.

Hasil Artificial Intelligence

Sebelumnya Ken Dedes dikenal juga sebagai sebagai Paramesywari Tumapel, duduk di singgasana menggantikan Sang Akuwu. Empat orang menteri duduk di bawah mengapitnya. Yang Suci Belakangka berdiri, bertumpu pada tongkat. Sang Patih tidak hadir, karena dibawa oleh Sang Akuwu dalam menindas kerusuhan". "Paramesywari memerintahkan padanya, menceritakan jalannya pertempuran. Arok mengangkat muka dan mengagumi kecantikan Dedes. Dalam hati ia membenarkan Tunggul Ametung mendudukkannya pada tahta Tumapel,".

 "Ia adalah mahkota untuk kerajaan manapun, karena kecantikannya, karena pengetahuannya, karena ke-brahmanaannya, karena ketangkasannya, karena keinginannya untuk mengetahui persoalan negeri,". 

Dikutip dari sindonews.com, petikan paragraf dalam novel karya Pramudya Ananta Toer, yang berjudul "Arok Dedes", menggambarkan begitu pentingnya sosok Ken Dedes di Tumapel. 

Selain sebagai putri dari Mpu Purwa yang merupakan sosok Brahmana, Ken Dedes juga dianugerahi kecantikan serta kecerdasan luar biasa. Hal ini membuat banyak pria terpikat, termasuk Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, dan Ken Arok.

 Dalam unggahannya di Instagram, akun @ainusantara menunjukkan begitu mempesona dan cantiknya wajah Ken Dedes, hasil Artificial Intelligence. Sorot matanya begitu tajam, dan bibirnya begitu indah kala tersenyum manis. Begitu melegendanya kisah Ken Dedes dan Ken Arok, sampai diangkat dalam sebuah drama karya Muhammad Yamin. 

Dilansir dari dapobas.kemdikbud.go.id, naskah drama Ken Arok dan Ken Dedes karya Muhammad Yamin, dipentaskan pertama kali di acara puncak Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, yang melahirkan Sumpah Pemuda. 

Setelah pementasan drama tersebut, kisah Ken Arok dan Ken Dedes yang sumber kisahnya berasal dari Kitab Pararaton tersebut, dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana, pada tahun 1934, atau enam tahun setelah Sumpah Pemuda. 

"Drama ini mengangkat masalah perjuangan dan kehidupan Kerajaan Singasari, yang pernah jaya pada masa lalu. Temanya adalah rasa keadilan harus ditegakkan. Dalam drama itu, antara lain, diperlihatkan keadaan suatu sidang kerajaan menanggapi situasi negeri," tulis dapobas.kemdikbud.go.id.

Dalam naskah drama itu disebutkan, sidang kerajaan tersebut membahas pengangkatan seorang putra mahkota Kerajaan Singasari. Ken Arok yang telah dinobatkan menjadi Raja Singasari, berkeras hati hendak mengangkat putra pertamanya dari permaisuri Ken Dedes, Mahisa Wong Ateleng menjadi putra mahkota Kerajaan Singasari. 

Sikap Ken Arok ini, bertentangan dengan para pembesar Kerajaan Singsari, yakni Mahamenteri Rakian Hino, Mahamenteri Sirikan, dan Mahamenteri Hulu. Para petinggi Kerajaan Singasari tersebut, lebih memilih Anusapati yang merupakan putra Ken Dedes dari suami pertamanya, Tunggul Ametung.

Para petinggi Kerajaan Singasari menilai, Anusapati layak menjadi putra markota Kerajaan Singasari, karena merupakan anak sulung. Akan tetapi Ken Arok tetap memilih Mahisa Wong Ateleng, yang merupakan adik Anusapati, sebagai putra mahkota Kerajaan Singasari, tanpa memberikan alasan yang jelas. 

Anusapati terluka dan kecewa dengan keputusan ayahnya. Bersamaan dengan itu, Anusapati bertemu ibunya, Ken Dedes. Melihat anaknya terluka dan kecewa, Ken Dedes tanpa sengaja membongkar rahasia siapa sebenarnya Anusapati.

Terbongkarnya rahasia tersebut, membuat Anusapati murka dan menuntut balas atas kematian ayahnya, Tunggul Ametung. Dalam akhir naskah drama di tahun 1928 itu, diungkapkan, Anusapati menggunakan keris sakti buatan Mpu Gandring, yang pernah digunakan Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, untuk membalaskan dendam kesumat tersebut.

 Ken Arok tewas di tusuk keris sakti yang dahulu menjadi senjata andalannya. Kematian Ken Arok, akhirnya membawa Anusapati ke tampuk singgasana Kerajaan Singasari.

Sejarawan Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono menyebutkan, menurut Kitab Pararaton, Ken Dedes adalah putri dari Mpu Purwa, seorang pendeta Buddha aliran Mahayana dari desa Panawijen. 

Pada suatu hari Tunggul Ametung singgah di rumah Ken Dedes, dan jatuh hati pada Ken Dedes, dan segera ingin mempersunting gadis itu. Karena saat itu Mpu Purwa sedang berada di hutan, Ken Dedes meminta Tunggul Ametung supaya sabar menunggu.

 Namun Tunggul Ametung tidak kuasa menahan diri. Ken Dedes dibawa pulang secara paksa ke Tumapel untuk dinikahi. Ketika Mpu Purwa pulang ke rumah, dia marah mendapati putrinya telah diculik.

 "Hai orang yang melarikan anakku, semoga tidak mengenyam kenikmatan, matilah dia dibunuh dengan keris. Demikian juga orang-orang Panawijen, keringlah sumurnya, semoga tidak keluar air dari kolamnya," demikian Mpu Purwa marah dan mengucapkan sumpah. 

Sumpah Mpu Purwa itu akhirnya menjadi kenyataan. Tunggul Ametung tewas oleh strategi Ken Arok, yang memanfaatkan seorang kesatria Kerajaan Kerdiri, bernama Kebo Ijo.

 Ken Dedes akhirnya dipersunting Ken Arok. Demikian juga dengan sumur warga Desa Panawijen, yang pada akhirnya kering. Bahkan, petilasan Ken Dedes di kini berada di wilayah adminsitrasi Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, juga kering. Yang tersisa hanya batu-batu kuno.

 Padahal, menurut Dwi Cahyono, petilasan tersebut dahulunya merupakan sendang. Situs Ken Dedes di Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang.

"Situs yang ada saat ini, pada awalnya merupakan sumber air yang sangat besar. Tetapi, di era tahun 1900-an, kondisinya telah mengering. Sebelumnya, sumber air tersebut digunakan masyarakat kuno untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari," ungkap Dwi Cahyono. 

Kini, situs Ken Dedes, tidak lebihnya hanya sebuah cekungan tanah di sebelah selatan pemakaman umum Kelurahan Polowijen. Tidak banyak orang yang tahu, karena tidak ada akses jalan besar untuk masuk ke wilayah tersebut. Tetapi, setelah melintasi jalan sempit, barulah akan diketahui keberadaan situs bersejarah tersebut, melalui bangunan pendopo, dan keterangan yang ada di depannya.

Dwi Cahyono menyebutkan, sebelum dikenal sebagai situs Ken Dedes, masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai Sendang Dedes, atau Sumur Windu. Kawasan tersebut, dikenal sebagai permukiman kuno. Letaknya di sisi utara Kota Malang, yang berdekatan dengan wilayah Kabupaten Malang. 

Di areal makam, banyak ditemukan struktur bata kuno, fragmen gerabah dan keramik kuno, dan bahkan mata uang kuno. Dari hasil eskavasi yang dilakukan Pusat Peneliti Arkeologi Nasional, pada tahun 1998. Ditemukan fondasi rumah tinggal dari bata, dan sebuah umpak.

Masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut, juga sering menemukan adanya arung. Yaitu, saluran air bawah tanah kuno, yang dibuat masyarakat pada masa lalu sebagai saluran untuk mengairi area persawahan yang banyak ditanami padi gaga. Hal ini, juga termuat pada prasasti Kanjuruhan B, yang dibuat tahun 943 Masehi.

"Pada prasasti Wurandungan, yang juga terbit pada tahun 943 Masehi. Desa ini masuk dalam desa pertanian yang maju. Yakni, sebagai desa swasembada pangan. Kondisi tersebut, dapat dilihat dari statusnya dalam prasasti Wurandungan, yang menyatakan Panawijen, sebagai sima sawah, atau tanah perdikan pertanian," ungkap Dwi Cahyono.

 Jauh sebelum masa Mpu Purwa, Dwi Cahyono menduga, kawasan ini sudah menjadi wilayah kehidupan masa prasejarah. Hal itu dapat dilihat dari penemuan watu kenong, dan lumpang batu. Watu kenong ini, diduga menjadi landasan atau pondasi untuk mendirikan rumah panggung. Wilayah Polowijen, diakuinya merupakan kawasan yang kaya akan peninggalan sejarah.

 Bahkan, di kawasan ini Mpu Purwa telah mampu mendirikan tempat pendidikan yang maju, serta menjadi tanah pertanian yang subur dan penghasil pangan. Sementara, kisah pertemuan antara Ken Dedes dan Ken Arok, justru terjadi disebuah pemandian.

 Kisah itu juga muncul di Kitab Pararaton. Di mana disebutkan, Ken Arok pertama kali melihat Ken Dedes yang kemaluannya bersinar terang di Patirtan Watu Gede, hingga membuat Ken Arok jatuh hati pada Ken Dedes. Sumber air yang sampai sekarang masih ada itu, dikenal oleh masyarakat sebagai Situs Patirtan Watu Gede, yang berada di wilayah Desa Watu Gede, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, yang jaraknya sekitar 5 km ke arah utara dari Kelurahan Polowijen. Patirtan Watu Gede di Desa Watu Gede, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.

Dwi Cahyono menyebut, sumber air di Watu Gede tersebut sangat disakralkan, sehingga disebut sebagai patirtan. Di masa lalu, Patirtan Watu Gede ini digunakan khusus untuk para ratu. Salah satu yang utama adalah untuk Permaisuri Ken Dedes. Patirtan Watu Gede, memiliki air yang sangat jernih. Di sekitarnya tumbuh pohon-pohon besar. Daun-daunnya yang rindang, menaungi telaga penuh kedamaian itu.

 Salah satu sudut telaga, tepatnya di bawah pohon besar, masih mengalirkan mata air. Air yang mengalir dari sela-sela pohon besar menuju ke telaga, terasa sangat menyegarkan, dan begitu jernih. Suaranya gemercik, berirama, saat berjatuhan di dalam telaga. Beberapa arca kecil, masih nampak berdiri di tepian telaga.

 Sisa-sisa bangunan masa lalu itu, menjadi saksi bisu kecantikan Ken Dedes, yang darahnya mengaliri para raja di Nusantara.***