Apa Sih Makna Cawe-Cawe Kata yang Lagi Ramai Dibicarakan? Kata Pengamat Menimbulkan Kemunduran Demokrasi dan Dinilai Berbahaya

JAKARTA (SURYA24.COM)- Kata cawe-cawe belakangan ini menjadi topik pembicaraan para warganet. Istilah tersebut populer setelah diucapkan oleh Presiden Jokowi dalam sebuah pertemuan di Istana Negara bersama dengan para pemimpin redaksi serta para content creator.

Pada saat pertemuan, para pimpinan media menanyakan soal sosok calon presiden (capres) dan wakil calon presiden (cawapres) pada Pemilu 2024 mendatang. Jokowi menyatakan bahwa dalam hal itu dirinya harus ikut 'cawe-cawe' demi kepentingan negara.

Sebelum pertemuan tersebut, Jokowi juga pernah mengucapkan kata cawe-cawe bersama beberapa ketua umum parpol (partai politik) pendukungnya di Istana Negara pada tanggal 2 Mei 2023.

Dikutip dari merdeka.com, lantas apa pengertian kata cawe-cawe yang diucapkan oleh Presiden Jokowi terkait Pilpres 2024 itu? Simak informasinya berikut ini.

Apa itu Cawe-cawe?

Dilansir dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), istilah cawe-cawe merupakan kata yang diambil dari bahasa Jawa. Pengertian dari cawe-cawe yaitu membantu mengerjakan (merampungkan, membereskan); ikut menangani.

Secara umum kata cawe-cawe bisa diartikan sebagai tindakan ikut campur dalam suatu hal atau urusan yang tak seharusnya menjadi tanggung jawab atau kewenangan seseorang.

Cawe-cawe yang dimaksud dalam ucapan Presiden Jokowi sangat berpotensi dimaknai sebagai tindakan ikut campur dalam hal politik. Istilah tersebut sangat mungkin bermakna politis hingga menimbulkan stigma negatif.

Cawe-cawe untuk Kepentingan Nasional

Mulanya, Presiden Jokowi membahas soal momentum negara dalam 13 tahun ke depan, sehingga dibutuhkan pemimpin agar Indonesia tumbuh positif.

"Jadi Pak Jokowi menegaskan saya tidak netral dalam hal ini. 'Memang betul saya cawe-cawe tapi untuk kepentingan nasional'," kata kata GM News and Curent Affairs Kompas TV Yogi Nugraha usai pertemuan di Istana Negara.

 

Menurut Yogi, Jokowi tidak mengartikan soal soal momentum negara dalam 13 tahun ke depan untuk kepentingan Indonesia. Jokowi menegaskan tak akan menyalahgunakan kekuasannya sebagai presiden. Dia akan memakai cara berpolitik yang baik.

Jokowi akan cawe-cawe namun lebih kepada urusan kepentingan nasional dan terfokus pada visi 13 tahun kedepan.

"'Saya tahu cara cawe-cawe, saya tahu persis bagaimana cara berpolitik yang baik'. Ketika ditanya bagaimana capres cawapres mengarah pada siapa, presiden mengatakan masih jauh dan itu urusan parpol," kata Yogi.

"Jadi presiden mengatakan cawe-cawe lebih kepada untuk urusan kepentingan nasional menjaga momentum 13 tahun, menjaga bonus demografi saya harus cawe-cawe," sambungnya.

7 Kali Diucapkan Jokowi

Soal pilpres 2024, kata Yogi, Jokowi tidak mengarahkan mendukung calon tertentu. Jokowi hanya menunggu siapa capres-cawapresnya yang mendaftar ke KPU.

"Kalimat pemilu misalnya ya tunggu lah masih jauh, pak presiden terakhir mengatakan lebih baik kita tunggu siapa yang daftar siapa capres cawapresnya," ungkapnya.

"Tapi yang berkali kalau enggak salah lebih dari 7 kali mengatakan cawe, bahkan sekali lagi ya mau closing sekali lagi ya cawe-cawe seperti beri pesan, memang saya cawe-cawe," pungkasnya.

Saat menutup sesi pertemuan dengan pimpinan media, Jokowi kembali mengucapkan kata cawe-cawe dengan nada tegas kepada semua hadirin terkait sikapnya di Pilpres 2024 nanti.

Sentimen Negatif

Sementara dikutip dari kompas.com, pernyataan Presiden Joko Widodo soal cawe-cawe Pemilu 2024 berujung gaduh. Jokowi mengaku, cawe-cawe yang dia maksud adalah untuk bangsa dan negara. Namun, sejumlah pihak menilai, presiden tak seharusnya ikut campur urusan politik. Bahkan, cawe-cawe kepala negara tersebut dinilai tak elok dan menciptakan kegaduhan. 

Meski demikian, Jokowi dibela oleh sejumlah partai politik koalisi pemerintah. Kendati turut terlibat, kepala negara diyakini tak akan mengintervensi hasil pemilihan umum. 

Demi bangsa dan negara Sikap cawe-cawe Jokowi diungkap ketika presiden bertemu dengan para pimpinan media nasional dan sejumlah podcaster di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/5/2023). Dalam pertemuan itu, hadir sejumlah tokoh pers antara lain Pemimpin Redaksi TV One Karni Ilyas, podcaster dan pegiat media sosial Helmi Yahya, dan General Manager News and Current Affairs Kompas TV Yogi Nugraha. 

Di hadapan para pimpinan media yang hadir, Jokowi mengakui bahwa dirinya cawe-cawe dalam urusan Pemilu 2024. Presiden mengeklaim, sikap itu demi kepentingan bangsa dan negara. Tak lama, pihak Istana memberikan penjelasan atas pengakuan Jokowi tersebut. 

Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin mengatakan, cawe-cawe yang dimaksud Jokowi adalah dalam rangka mengawal Pemilu Serentak 2024 berlangsung jujur, adil, dan demokratis. 

"Terkait penjelasan tentang cawe-cawe untuk negara dalam pemilu, konteksnya adalah, presiden ingin memastikan Pemilu serentak 2024 dapat berlangsung secara demokratis, jujur dan adil," ujar Bey saat dikonfirmasi Kompas.com, Senin malam. 

Selain itu, kata dia, presiden berkepentingan agar pemilu berjalan dengan baik dan aman, tanpa meninggalkan polarisasi atau konflik sosial di masyarakat. Selanjutnya, kepala negara ingin pemimpin nasional ke depan dapat mengawal dan melanjutkan kebijakan-kebijakan strategis, seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), serta hilirisasi dan transisi energi bersih. Selanjutnya, Jokowi juga berharap seluruh peserta Pemilu 2024 dapat berkompetisi secara bebas dan adil. “Karenanya presiden akan menjaga netralitas TNI, Polri, dan ASN," kata Bey. 

Lebih lanjut, kata Bey, presiden ingin pemilih mendapat informasi dan berita yang berkualitas tentang peserta pemilu dan proses pemilu.

Dengan demikian, upaya pencegahan berita bohong/hoaks, dampak negatif artificial intelligence atau kecerdasan buatan, hingga black campaign atau kampanye hitam melalui media sosial dapat maksimal.

 "Presiden akan menghormati dan menerima pilihan rakyat. Presiden juga akan membantu transisi kepemimpinan nasional dengan sebaik-baiknya," tutur Bey. 

Dikritik 

Pengakuan Jokowi soal cawe-cawe dalam urusan Pemilu 2024 itu pun menuai kritik, salah satunya dari Partai Demokrat. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K Harman menilai, sebagai seorang Kepala Negara, Jokowi tidak sepatutnya ikut campur dalam urusan politik.

 "Loh, presiden itu kan kepala negara, bukan ketua umum partai juga. Kepala negara menurut kami sih harus netral ya, tidak boleh cawe-cawe," kata Benny di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2023). 

Jika kepala negara ikut cawe-cawe, kata Benny, terbuka peluang pemimpin lembaga negara lainnya juga turut mencampuri urusan pemilu. Padahal, itu tak semestinya terjadi.

 Menurut Benny, presiden sangat mungkin menggunakan aparatur negara untuk mewujudkan kepentingannya jika ikut campur dalam urusan pemilu. Oleh karenanya, dia berharap presiden lebih bersikap bijak.

 "(Sebaliknya) dia (Jokowi) harus menjaga iklim demokrasi, menjaga iklim persaingan sehat dalam politik sebab dia adalah Kepala Negara, dia bukan kepala petugas partai," tutur anggota Komisi III DPR RI tersebut. Demokrat juga meminta Jokowi fokus bekerja untuk rakyat ketimbang cawe-cawe urusan Pemilu 2024.

 Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra menilai, cawe-cawe berarti melakukan sesuatu di luar wewenang dan tanggung jawabnya. “Seharusnya beliau menyampaikan, saya akan fokus dengan tugas dan tanggung jawab utama saya. Bukan malah menyampaikan saya akan cawe-cawe demi kepentingan negara,” kata Herzaky dalam keterangannya, Selasa (30/5/2023). Menurut Herzaky, saat ini masyarakat lebih ingin Jokowi menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah sebelum lengser pada akhir 2024. Salah satu yang masih belum terselesaikan yakni tingginya angka kemiskinan dan tingkat pengangguran.

 “Fokus saja bekerja untuk rakyat di sisa masa kepemimpinannya, agar bisa meninggalkan hal baik untuk penerusnya,” tutur dia. 

Sementara, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai bahwa pernyataan soal cawe-cawe urusan Pemilu 2024 menunjukkan bahwa Jokowi adalah presiden partisan. 

Dedi berpandangan, tindakan Jokowi selama ini menunjukkan bahwa sikap cawe-cawe atau intervensi tersebut bukan untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi politik pribadi.

 "Apa yang ditunjukkan presiden juga yang ia sampaikan, jelas menempatkan Jokowi sebagai presiden partisan. Secara umum bisa dianggap telah lakukan kolusi," kata Dedi kepada Kompas.com, Selasa (30/5/2023). 

Menurut Dedi, jika intervensi yang dilakukan demi kepentingan bangsa dan negara, Jokowi mestinya mengintervensi Mahkamah Konstigusi (MK) agar tidak membuat keputusan yang melanggar konstitusi. Kemudian, mengintervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tidak menjadi alat kekuasaan, atau mengintervensi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Menteri Keuangan agar semua proses pemilu berjalan sesuai koridor konstitusi dan tepat waktu.

 "Intervensi dalam hal pelaksanaan, sah saja karena memang tanggung jawab presiden, tetapi intervensi politis jelas tidak dibenarkan," ujarnya. 

Sementara, yang terjadi saat ini adalah Jokowi turut andil dalam menentukan siapa capres yang dia inginkan, berupaya memberikan fasilitas negara untuk pembahasan koalisi, hingga mengucilkan partai lain yang berseberangan. Menurutnya, perbuatan tersebut jelas-jelas merupakan tidak etis dan merusak wibawa kepala negara.

 “Cawe-cawe Jokowi hanya untuk kepentingannya pribadi, keluarga, atau kelompok politiknya, imbasnya cukup berbahaya. Mulai dari potensi rusaknya tata kelola pemerintahan hingga menjadikan negara ini seolah milik personal," kata Dedi. 

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno meyakini, sikap cawe-cawe Jokowi tak sepenuhnya demi pemilu yang demokratis.

 Mengingat Jokowi berulang kali meng-endorse bakal calon presiden, Adi menduga kepala negara cawe-cawe supaya presiden 2024 terpilih adalah yang sesuai dengan kemauannya. 

"Publik juga tidak bisa menutup mata bahwa istilah cawe-cawe yang diistilahkan Jokowi itu ingin menegaskan bahwa pemimpin yang terpilih di 2024 itu adalah mereka yang bisa melanjutkan semua hal yang sudah dilakukan oleh Jokowi," kata Adi saat dihubungi Kompas.com, Selasa (30/5/2023). 

Menurut Adi, mungkin saja presiden khawatir kinerja Indonesia ke depan menurun dan penggantinya tidak melanjutkan apa yang sudah dia kerjakan. Oleh karenanya, Jokowi ingin presiden selanjutnya adalah “orangnya sendiri”.

 "(Harus) all Jokowi's men. Karena kalau yang jadi Presiden 2024 itu yang bukan orangnya Jokowi, tentu ‘jogetnya’ itu bukan ke depan, tapi ke belakang," kata dia.

 Dihubungi terpisah, pengamat politik dari Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam menilai, meski presiden mengaku tidak akan melanggar hukum dan konstitusi terkait upaya cawe-cawe itu, keberpihakan politik Jokowi secara terbuka berpotensi disalahgunakan sebagai alat politisasi kekuasaan negara. Umam menuturkan, gelagat tersebut sudah terlihat ketika Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyebut Jokowi sebagai panglima tertinggi dalam pengambilan keputusan politik praktis mereka.

 Selain itu, Jokowi juga pernah berjanji akan membisiki para ketua umum partai terkait calon presiden yang akan didukung di hadapan jaringan relawannya. Ketika menyampaikan itu, lencana kepresidenan masih menempel di dada Jokowi. "Alhasil, tidak mudah memisahkan klaim kepentingan negara dan dengan kepentingan politik pribadi presiden atau kelompoknya. Keduanya menjadi kabur," kata Umam kepada Kompas.com, Selasa (30/5/2023). 

Umam pun mewanti-wanti agar jangan sampai pernyataan soal cawe-cawe Pemilu 2024 menjadi alat untuk melegitimasi kepentingan politik pribadi. “Jangan sampai klaim cawe-cawe presiden untuk kepentingan bangsa dan negara ini hanya menjadi 'alat pembenaran' untuk melegitimasi manuver politik pribadi dan pihak-pihak di lingkaran kekuasaan istana untuk masuk lebih dalam ke ranah politik praktis," tutur dosen Universitas Paramadina itu.

 Dibela Parpol Pendukung Pemerintah

 Namun demikian, pernyataan Jokowi soal cawe-cawe Pemilu 2024 tersebut dibela oleh elite partai politik pendukung pemerintah. Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP PDI-P Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul misalnya, meyakini bahwa Jokowi akan cawe-cawe sesuai adab dan tidak akan mengintervensi hasil Pemilu 2024.

 "Cawe-cawe ini bahasa kosakata diksi Jawa, diksi Jawa Tengah kalau orang Jawa Tengah tahu. Cawe-cawe itu artinya adalah akan ikut campur, ikut mewarnai," kata Pacul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2023).

 Pacul pun setuju presiden tak boleh ikut campur dalam penetapan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Sebab, menurutnya, hal itu merupakan urusan partai politik. 

Dia menegaskan bahwa Jokowi tidak punya keinginan untuk melakukan intervensi hasil pemilu. "Enggak dong, itu maka saya katakan kepatutannya cawe-cawe dalam bahasa Jawa ada kepatutannya. Enggak boleh cawe-cawe mengintervensi itu, enggak boleh," kata Pacul lagi.

 Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman juga mengaku tak mempersoalkan jika presiden cawe-cawe dalam urusan politik. Menurutnya, sikap tersebut menandakan bahwa Jokowi ingin capaiannya selama 10 tahun menjabat sebagai Kepala Negara dilanjutkan oleh pemimpin sesudahnya.

 "Saya memang berpendapat apa yang disampaikan Pak Jokowi sangat tepat, sangat benar. Jangan dianggap salah. Karena sebagai warga punya kepentingan Indonesia ke depan," kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2023). 

Menurut Habiburokhman, cawe-cawe Jokowi merupakan hak politik dan aspirasi pribadi. Namun, ia menilai Jokowi harus menyampaikan sekali lagi pada publik terkait cawe-cawe yang tak melanggar aturan dan ketentuan Pemilu 2024. 

Tak hanya itu, partai beringin juga berada di sisi Jokowi dalam polemik ini. Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menilai, presiden justru harus terlibat dalam urusan politik, termasuk Pemilu 2024. 

"Menurut saya enggak ada masalah, bahkan semua orang saya menafsirkan cawe-cawe itu ikut terlibat dalam semua proses dalam pemilu," kata Doli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2023). 

"Semua orang harus terlibat termasuk Pak Presiden, apalagi dia dua periode," tambah dia. 

Doli mengatakan, selama dua periode memimpin, sudah banyak program kerja Jokowi yang diekesekusi, meski ada pula yang belum selesai. Oleh karenanya, menurut dia, wajar jika presiden ingin penggantinya dapat melanjutkan kerja-kerjanya saat ini. 

Soal netralitas, Doli yakin Jokowi akan memerhatikan hal tersebut dan tidak melakukan intervensi pada kandidat calon presiden. "Prosesnya jelas, dalam mekanisme pilpres itu jelas bahwa penetapan capres dan cawapres di tetapkan oleh partai atau gabungan parpol," kata dia.

Kemunduran Demokrasi

Dibagian lain, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta tidak ikut campur dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2023. Sebab, cawe-cawe Kepala Negara bisa menimbulkan kemunduran demokrasi.

 

"Kita melihat hari-hari ini presiden mengabaikan aturan main demokratis," kata Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto dalam telekonferensi seperti dilansir rmol.id, Minggu (14/5).

 Wija menilai Jokowi saat ini terlalu ikut campur dalam Pemilu 2024. Sikap itu dinilai salah besar. Bahkan, Jokowi dinilai melakukannya secara terang-terangan.

Wija mencontohkan saat Jokowi mengundang enam pimpinan partai ke istana beberapa waktu lalu. Saat itu, Partai NasDem tidak diajak bergabung.

Jokowi mengeklaim pertemuan itu berisikan partai koalisi. Wija menilai kelompok itu bukan koalisi pemerintahan karena tidak ada NasDem di dalamnya.

"Kalau koalisi yang mendukung dia sebagai presiden maka seharusnya di sana ada NasDem di sana, tapi kan enggak ada NasDem, berarti koalisi ini adalah koalisi untuk pemilu 2024 dan seterusnya," ujar Wija.

Tindakan Jokowi ini dinilai tengah membahayakan demokrasi. Kepala Negara seharusnya tidak ikut campur dalam pemilu yang akan digelar pada tahun depan.

"Pertanyaannya apakah sah seorang presiden yang masih menjabat itu kemudian pekerjaannya justru bukan yang diamanatkan konstitusi, untuk bekerja mengawal dijalankannya demokrasi, pemilu yang adil, yang jujur dan adil," ujar Wija.

Jokowi disarankan berhenti mengarahkan bahkan mengatur soal pencalonan presiden. Kepala Negara tidak boleh memihak kelompok tertentu. "Bahwa presiden seharusnya netral dalam pemilu," tutur Wija.

Berpotensi Rusaknya Tatakelola Pemerintah

Pernyataan politik Presiden Joko Widodo yang akan cawe-cawe dalam urusan pemilihan presiden (Pilpres) demi kepentingan negara sah saja sepanjang bukan intervensi politis.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah, menjelaskan bahwa dalam menentukan siapa Capres yang diinginkan bahkan mungkin berupaya memberikan fasilitas negara untuk pembahasan koalisi jelas masuk kategori tindakan tidak etis.

 

Kata Dedi, jika sampai Jokowi terkesan mengucilkan partai yang berseberangan akan merusak wibawa kepala negara.

"Apa yang ditunjukkan Presiden juga yang ia sampaikan, jelas menempatkan Jokowi sebagai presiden partisan, secara umum bisa dianggap telah lakukan kolusi," demikian kata Dedi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (31/5).

Dedi mengingatkan, cawe-cawe Jokowi hanya untuk kepentingannya pribadi, keluarga, atau kelompok politiknya, imbasnya cukup berbahaya. Beberapa risiko yang diprediksi Dedi diantaranya: mulai dari potensi rusaknya tatakelola pemerintahan hingga menjadikan negara ini seolah milik personal.

Pendapat Dedi, jika Jokowi ingin cawe-cawe untuk kepentingan bangsa, maka intervensi saja MK agar tidak membuat keputusan yang melanggar konstitusi, atau intervensi UU KPK agar tidak menjadi alat kekuasaan.

"Atau intervensilah KPU dan Menkeu agar semua proses Pemilu berjalan sesuai koridor konstitusi dan tepat waktu. Di luar itu, jelas hanya untuk ambisi politik pribadi," jelas Dedi.

Selain itu, cawe-cawe Jokowi tentu akan meningkatkan apatisme publik. Masyarakat akan sulit percaya pada Jokowi, tapi pada pemerintahan secara umum akan dianggap sebagai pihak yang hanya haus kekuasaan.

"Jokowi sudah waktunya mengakhiri intervensi politik praktis ini," pungkasnya.***