Jusuf Kalla Bongkar Utang Pemerintah Indonesia Rp8.000 T, Konon Rakyat Harus Bayar Bunga Rp 9,9 Juta Per Detik!

Ilustrasi (Dok:Net)

JAKARTA (SURYA24.COM)-Persoalan tingginya utang Indonesia menjadi pembicaraan hangat di tengah masyarakat termasuk sejumlah pakar. Bahkan ada yang berpendapat utang tersebut menjadi ancaman. Sebaliknya Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) membantah bahwa utang pemerintah Indonesia yang mencapai Rp8.000 triliun menjadi ancaman bagi perekonomian nasional.

Menurutnya, pemerintah mampu mengelola utang dengan baik dan tetap menjaga kemampuan bayar dan kesinambungan fiskal.

JK mengatakan bahwa pemerintah tidak membayar utang sebesar Rp1.000 triliun per tahun seperti yang diberitakan oleh sejumlah media.

Ia menjelaskan bahwa angka tersebut merupakan jumlah utang yang jatuh tempo dan harus dilunasi oleh pemerintah setiap tahun.

"Utang itu kan ada jangka waktunya, jadi untuk yang jatuh tempo maupun untuk pembayaran utangnya sudah ada di dalam APBN dan itu masuk dalam strategi pembiayaan setiap tahun," kata JK dalam acara diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia, Senin (5/6/2023).

Dikutip dari intisarionline.com, JK menambahkan bahwa pemerintah juga membayar bunga utang setiap tahun, namun jumlahnya tidak sampai Rp1.000 triliun.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi pembayaran bunga utang pada 2022 sebesar Rp386,34 triliun, sedangkan pada 2021 sebesar Rp343,49 triliun.

 

"Jadi kalau ditambahkan, pembayaran pokok dan bunga utang pemerintah tidak lebih dari Rp500 triliun per tahun," ujar JK.

JK menilai bahwa utang pemerintah Indonesia masih dalam batas aman dan tidak perlu dikhawatirkan.

Ia mengatakan bahwa rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia per April 2023 sebesar 39,17 persen, jauh di bawah rata-rata negara-negara berkembang yang mencapai 71,5 persen.

"Utang itu tidak menjadi ancaman selama kita bisa menggunakannya untuk membangun infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi," tutur JK.

Lantas dari mana sumber utang tersebut?

Menurut data Kementerian Keuangan, sebagian besar utang pemerintah berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 5.580,02 triliun.

SBN adalah surat berharga yang diterbitkan pemerintah untuk mendapatkan dana dari investor dan memberikan imbal hasil atau keuntungan kepada investor tersebut.

SBN bisa diterbitkan dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.

 

SBN dalam mata uang rupiah antara lain Surat Perbendaharaan Negara (SPN), Obligasi Negara Ritel (ORI), Sukuk Negara Ritel (SR), Obligasi Negara (ON), Sukuk Negara (SN), dan Savings Bond Ritel (SBR).

SBN dalam valuta asing antara lain Global Bond, Global Sukuk, Samurai Bond, dan Panda Bond.

Selain dari SBN, sumber utang pemerintah lainnya adalah pinjaman dari lembaga multilateral, bilateral, maupun komersial sebesar Rp 838,13 triliun.

Pinjaman multilateral adalah pinjaman yang berasal dari lembaga keuangan internasional yang anggotanya terdiri dari beberapa negara, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Bank Pembangunan Islam (IDB).

Pinjaman bilateral adalah pinjaman yang berasal dari negara lain atau lembaga keuangan yang dimiliki oleh negara lain, seperti Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), Jerman melalui Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KfW), dan Prancis melalui Agence Francaise de Developpement (AFD).

Pinjaman komersial adalah pinjaman yang berasal dari lembaga keuangan swasta, seperti bank, perusahaan asuransi, atau dana pensiun.

 

Pinjaman komersial biasanya memiliki bunga yang lebih tinggi daripada pinjaman multilateral atau bilateral.

Menurut JK juga menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh takut berutang asal bisa menghasilkan nilai tambah yang lebih besar dari biaya utangnya.

Ia mencontohkan bahwa China adalah negara dengan utang terbesar di dunia, namun juga memiliki ekonomi terbesar kedua di dunia.

"Utang itu bukan masalah besar selama kita bisa mengelolanya dengan baik dan bertanggung jawab," pungkas JK.

Rakyat Harus Bayar Bunga Rp 9,9 Juta Per Detik!

Dikutip dari intisarionline.com, apakah Anda tahu bahwa utang pemerintah Indonesia saat ini sudah mencapai Rp7.000 triliun?

Jumlah ini setara dengan 38% dari produk domestik bruto (PDB) kita. Artinya, setiap warga Indonesia memiliki utang sekitar Rp26 juta kepada pihak asing.

Tidak hanya itu, utang pemerintah juga terus bertambah setiap bulannya. Pada akhir Maret 2023, utang pemerintah mencapai Rp7.879 triliun, naik Rp 17 triliun dari Februari 2023.

Pada akhir Januari 2023, utang pemerintah mencapai Rp 7.754 triliun, naik Rp 702 triliun dari akhir tahun 2022.

 

Utang pemerintah terdiri dari dua jenis, yaitu surat berharga negara (SBN) dan pinjaman dari dalam dan luar negeri.

SBN adalah instrumen utang yang diterbitkan oleh pemerintah untuk mendapatkan dana dari pasar keuangan. Pinjaman adalah dana yang dipinjam oleh pemerintah dari lembaga keuangan multilateral, bilateral, atau komersial.

SBN masih mendominasi utang pemerintah dengan nilai Rp7.013 triliun pada akhir Maret 2023. SBN terbagi menjadi dua jenis, yaitu SBN dalam mata uang rupiah (domestik) dan SBN dalam mata uang asing (valas).

SBN domestik mencapai Rp5.658 triliun, sedangkan SBN valas mencapai Rp 1.354 triliun.

Pinjaman hanya sebesar Rp865 triliun pada akhir Maret 2023.

Pinjaman terutama berasal dari luar negeri sebesar Rp844 triliun, yang terdiri dari pinjaman multilateral (misalnya Bank Dunia), bilateral (misalnya Jepang), dan bank komersial (misalnya Citibank). Pinjaman dari dalam negeri hanya sebesar Rp21 triliun.

Lalu, apa dampak dari utang pemerintah yang terus meningkat ini?

 

Salah satu dampaknya adalah beban bunga yang harus dibayar oleh pemerintah kepada para kreditur. Bunga adalah imbalan yang harus dibayar oleh peminjam kepada pemberi pinjaman sebagai kompensasi atas penggunaan dana.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, beban bunga utang pemerintah pada tahun anggaran 2023 mencapai Rp314 triliun.

Jumlah ini setara dengan 10% dari total belanja negara yang sebesar Rp3.137 triliun.

Artinya, setiap rupiah yang dibelanjakan oleh pemerintah, sepuluh sennya digunakan untuk membayar bunga utang.

Jika dihitung per detik, beban bunga utang pemerintah mencapai Rp9,9 juta. Jika dihitung per kapita, beban bunga utang pemerintah mencapai Rp1.150 per tahun.

Jumlah ini mungkin terlihat kecil bagi Anda yang berpenghasilan tinggi, tetapi bagi rakyat miskin yang hidup di bawah garis kemiskinan, jumlah ini sangat besar.

Beban bunga utang pemerintah ini akan semakin besar jika suku bunga global naik. Suku bunga global adalah tingkat imbal hasil yang ditawarkan oleh pasar keuangan internasional kepada para investor.

 

Suku bunga global dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kondisi ekonomi global, inflasi, kebijakan moneter, risiko geopolitik, dan lain-lain.

Saat ini, suku bunga global sedang mengalami kenaikan seiring dengan pemulihan ekonomi di negara-negara maju pasca pandemi Covid-19.

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa mulai menaikkan suku bunga acuan mereka untuk mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas ekonomi.

Kenaikan suku bunga global ini berdampak negatif bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki utang dalam mata uang asing. Karena nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika akan melemah seiring dengan kenaikan permintaan dolar oleh investor global.

Akibatnya, nilai utang dalam rupiah akan meningkat dan beban bunga juga akan meningkat.

Selain itu, kenaikan suku bunga global juga akan menurunkan minat investor untuk membeli SBN Indonesia.

Karena imbal hasil SBN Indonesia akan menjadi kurang menarik dibandingkan dengan imbal hasil aset keuangan lainnya di pasar global. Alhasil, harga SBN Indonesia akan turun dan yield atau tingkat imbal hasilnya akan naik.

Yield adalah tingkat imbal hasil yang diperoleh oleh investor jika membeli SBN pada harga pasar saat ini dan menyimpannya hingga jatuh tempo. Yield berbanding terbalik dengan harga SBN. Semakin rendah harga SBN, semakin tinggi yield nya dan sebaliknya.

Kenaikan yield SBN Indonesia ini akan meningkatkan biaya pembiayaan bagi pemerintah.

Karena pemerintah harus menawarkan yield yang lebih tinggi untuk menarik investor agar mau membeli SBN baru yang diterbitkan oleh pemerintah untuk mendapatkan dana segar. Akibatnya, beban bunga juga akan meningkat.***